Hukum
Islam yang mengatur tentang perkawinan atau pernikahan disebut dengan fiqih munakahat. Mengamalkan hukum yang diatur dalam fiqih munakahat merupakan bentuk
ibadah karena diambil dari sumber hukum Islam
Al Qur’an dan hadits. Melanggar hukum ini berarti melanggar pedoman yang ditetapkan
Allah SWT.[1]
Mayoritas
masyarakat Indonesia menganut agama Islam. Mereka menganggap bahwa agama adalah hukum pertama yang harus
dijunjung tinggi daripada peraturan
perundang-undangan yang hanya dibuat oleh manusia.
Khoirul
Hidayah menyatakan bahwa terdapat dualisme hukum di tengah masyarakat Indonesia.[2]
Apabila agama menyatakan keabsahan suatu tindakan hukum, maka masyarakat tidak
perlu mempermasalahkannya karena tidak terikat dengan dosa.
Berkaitan
dengan usia nikah, di dalam Islam tidak terdapat aturan pada usia berapa
seseorang dapat menikah. Jadi, meskipun masih di usia anak-anak bahkan balita sekalipun,
akad perkawinan tetap sah. Para ahli fiqih sepakat bahwa
seorang bapak berhak menikahkan anaknya, baik laki-laki maupun perempuan yang
masih kecil.[3]
Imam
Abu Hanifah juga mengatakan bahwa pernikahan anak yang masih kecil atas izin
walinya adalah sah.[4] Namun,
pada saat menginjak usia dewasa (baligh),
sang anak berhak untuk melanjutkan atau memutuskan ikatan perkawinan tersebut.[5]
Khoiruddin
Nasution menambahkan bahwa hak untuk menentukan meneruskan perkawinan atau tidak tersebut selama belum terjadi hubungan
seksual antara keduanya.[6]
Hal ini bersifat mutlak dan tidak ada seorang pun yang dapat mencampuri
keputusannya itu, bahkan orang tua atau kerabat yang lainnya.[7]
Pemberian hak penuh kepada anak yang sudah baligh untuk memutuskan melanjutkan perkawinannya
atau tidak itu menunjukkan bahwa Islam memperhatikan kedewasaan.
Seseorang yang belum dewasa tidak dianggap cakap berbuat hukum. Sebaliknya,
anak yang sudah dewasa dianggap mengerti apa yang baik untuk dilakukan dan apa yang seharusnya tidak perlu
dilakukan.
Jadi, kedewasaan berkaitan pula dengan kemampuan, yaitu kemampuan untuk
memposisikan diri berdasarkan perannya dengan melakukan tindakan-tindakan yang
seharusnya dilakukan. Rasulullah SAW bersabda:
“Dari Abdullah bin Mas’ud r.a.: sungguh telah
berkata Rasulullah SAW
kepada kami: “wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang telah mampu melakukan j1ma‟, maka menikahlah. Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaknya berpuasa, karena puasa dapat mengekang hawa nafsunya.” (H.R. Bukhari)[8]
Ada
dua pendapat mengenai makna kata “al ba’ah” dalam hadits di atas.
Pendapat
pertama kembali pada makna etimologi, yaitu j1ma’. Pendapat kedua menafsirkannya
sebagai kemampuan ekonomi. Selanjutnya Imam Nawawi berpendapat
dengan menggabungkan dua pendapat di atas, yaitu bahwa seseorang yang telah mampu melakukan j1ma dan telah siap secara ekonomi,
maka dia dianjurkan untuk menikah.[9]
Ahmad
Kosasih berpendapat bahwa hadits di
atas menganjurkan para pemuda untuk menikah, yaitu bagi mereka yang
telah sanggup melakukannya. Demikian ini adalah untuk menjaga
mereka dari perlakuan s3ksual yang menyimpang. Dengan menjaga kesucian diri
dengan menikah, mereka akan mendapatkan
ketenangan jiwa yang sesungguhnya.[10]
Ali
Engineer juga mengatakan bahwa sebenarnya di dalam Al-Qur’an tidak terdapat konsep
perkawinan anak-anak. Al-Qur’an hanya menekankan bahwa perkawinan
merupakan penyatuan laki-laki dan perempuan sebagai prokreasi dan hiburan di antara
keduanya. Di sana tidak disebutkan perkawinan harus dilaksanakan dengan siapa
dan kapan waktu pelaksanaannya.[11]
Mengenai
Siti Aisyah r.a. yang menikah
dengan Rasulullah SAW pada usia enam tahun,
Muhammad al Amin mengutip pendapat
Ibnu Syabramah, yaitu bahwa perkawinan Siti
Aisyah r.a. di usia
enam tahun tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum karena dikhususkan
bagi Rasulullah SAW.[12]
Seperti
halnya dengan menikahi perempuan lebih dari empat. Menurut
Maulana Umar tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pernikahan Rasulullah dengan
Siti Aisyah terjadi pada saat Siti Aisyah berusia enam tahun. Maka dari itu,
Maulana Umar berusaha membuktikan pernikahan Siti Aisyah terjadi
pada usianya yang menginjak 16 atau 17 tahun.[13]
Dalam
perkembangan hukum hingga saat ini, masa dewasa dianggap suatu hal yang urgen
dalam pembentukan keluarga yang kekal dan bahagia. Hanya saja, belum ada kejelasan definisi dewasa yang diharapkan untuk dianggap mampu menjalani masa berkeluarga.
Secara biologis, seseorang
dikatakan dewasa jika sudah mimpi bagi laki-laki, dan telah
haid bagi perempuan. Namun, tanda-tanda dewasa atau baligh tersebut tidak
menjamin adanya kemampuan seseorang dalam berpikir dan bersikap dewasa.
Menurut
Ramulyo, calon mempelai haruslah berakal
dan baligh, yaitu mampu
mempertanggungjawabkan suatu perbuatan dan mampu memerankan dirinya sebagai suami atau istri. Menurutnya, seorang laki-laki sudah dikatakan
dewasa pada usia 25 tahun, sedangkan perempuan usia 20 tahun, atau minimal 18 tahun. Namun, usia nikah ini bukanlah batasan yang mutlak karena kedewasaan seseorang itu tergantung dari individu
masing-masing dengan melihat pada kondisi fisik dan psikisnya.[14]
Namun,
Soemiyati mengatakan bahwa umur tetap menjadi penentu kedewasaan seseorang.
Menurutnya, untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, suami istri
harus sudah matang
jiwa dan raganya.[15]
Usia anak-anak, apalagi di bawah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun
bagi laki-laki dalam ketentuan UU No. Tahun 1974 belum bisa dikatakan dewasa dan belum matang dari jiwa dan raganya. Kalaupun ada anak di usia tersebut sudah mampu berpikir dewasa karena faktor lingkungan, dalam arti mampu dari aspek kejiwaan, tetapi secara biologis (jasmani), dia tetap anak-anak. Hal ini sangat
berbahaya bagi perempuan, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan
reproduksinya.
[1] Amir Syarifuddin,
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 5.
[2] Khoirul Hidayah,
Dualisme Hukum Perkawinan di Indonesia, 89.
[3] Muhammad bin Ahmad
bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al Qurthuby al Andalusy, Bidayah al Mujtahid
wa Nihayah al Muqtashid Juz II (Surabaya: Hidayah; TT), 5.
[4] Abu Abdillah Muhammad
bin Abdurrahman al Dimasyqi al Utsmani al Syafi’i, Rahmah al Ummah fi Ikhtilaf
al Aimmah (Surabaya: Hidayah; TT), 27.
[5] Asghar Ali
Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam. diterjemahkan oleh Farid Wajidi dan Cici
Farikha Assegaf, Cet 1 (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya; 1994), 94.
[6] Khoiruddin
Nasution, Fazlur Rahman tentang Wanita, 229.
[7] Asghar Ali
Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam., 94.
[8] Abu Abdullah
Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim bin al Mughirah bin Bardizbah al Bukhary al Ju‟fy,
Shahih al Bukhary Juz 6 (Beirut: Dar al Fikr; 1991), 143.
[9] Ahmad bin Ali bin
Hajar al Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahih al Bukhary Juz 9 (Beirut: Dar
al Ma‟rifah: TT), 108
[10] Ahmad Kosasih, HAM
dalam Perspektif Islam: Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan
Barat (Jakarta: Salemba diniyah; 2003), 88.
[11] Ibid., 156.
[12] Muhammad al Amin
bin Abdullah al Harary al Syafi‟i, al Kaukab al Wahhaj wa Raudh al Bahhaj fi
Syarhi Shahihi Muslim bin al Hajjaj, Jilid 15 (Jeddah: Dar al Minhaj; 2009),
260.
[13] Maulana Ahmad
Usmani, Fiqh Al Qur‟an Jilid I (Karachi: 1980), 533.
[14] Moh. Idris Ramulyo,
Hukum Perkawinan Islam, 51.
[15] Soemiyati, Hukum
Perkawinan Islam, 30.
No comments:
Post a Comment