BUDAYA SPIRITUAL JAWA RELEVANSI DAN PERANANNYA BAGI MASYARAKAT



Banyak anggapan bahwa budaya spiritual dan ritual Jawa sebagai primitif  penuh  ketahayulan. Anggapan yang demikian sesungguhnya terlalu tergesa-gesa dan lebih berdasarkan keengganan untuk melakukan kajian mendalam tentang sistim religi,  spiritualisme, dan filsafat hidup Jawa yang melandasi adanya budaya spiritual dan berbagai  ritual  Jawa. Setiap bangsa manusia tercipta dengan diberi kelengkapan spiritual yang azali kodrati (build-in) dan sesuai  jumlah  jiwa,  untuk menjalani  hidup  pada keadaan habitat lingkungan alam mukimnya masing-masing. Kenyataannya, bahwa ada perbedaan situasi dan kondisi alam (termasuk nuansa spiritualnya) pada bagian-bagian bumi. Setiap bangsa  melahirkan  budaya  dan  peradabannya.

Pada budaya dan peradaban setiap bangsa terkandung unsur-unsur budaya: sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup masing-masing bangsa tersebut yang azali kodrati. Universal atau tidak sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup suatu bangsa sifatnya relatif. Permasalahannya, ada pengaruh kondisi habitat lingkungan alam semesta setiap bangsa tersebut mukim.[1]

Bahwa Jawa merupakan bagian bumi yang tropis, vulkanis, maritim (bahari), subur makmur lengkap flora dan fauna (plasma nutfah)-nya, tetapi penuh dengan bencana alam. Situasi dan kondisi alam  semesta Jawa yang demikian tersebut mendasari sistim religi,  spiritualisme, filsafat hidup, tata kehidupan, budaya (tradisi/adat), bahasa, sistim ilmu pengetahuan, seni, karya, sastra, dan karakter dasar bangsa Jawa. Kesuburan bumi Jawa dengan ragam yang lengkap menjadikan orang Jawa tercukupi kesediaan bahan  pangannya. Maka  tidak  ada  konflik  dan  persaingan  mendasar  untuk  berebut  pangan.

Ketersediaan bahan pangan oleh habitat alam melahirkan mata pencaharian utama wong Jawa pada bidang pertanian dan kebaharian. Jenis pekerjaan yang butuh kerjasama banyak orang sehingga menjadikan hubungan antar manusia menjadi berkeadaban dengan pijakan nilai rukun dan selaras, gotong-royong. Banyaknya bencana alam, menjadikan  wong  Jawa sadar dan paham akan pekerti alamnya. Juga melahirkan pemahaman adanya hubungan manusia dengan alam semesta (jagad  raya) berikut segala isinya.

Kesadaran adanya hubungan manusia dengan alam menjadikan karakter wong Jawa bersahabat dengan alam. Dari sini lahir ritual dan budaya spiritual Jawa yang berhubungan dengan alam dan seluruh isinya. Olah cipta rasa wong Jawa melahirkan pemahaman adanya maha kekuatan yang murba wasesa (mengatur dan menguasai) seluruh jagad  raya. Maka lahir kesadaran hakiki tentang adanya realitas tertinggi untuk disembah. Kesadaran ini melahirkan ritual dan budaya spiritual panembah kepada sesembahan.[2]

Dengan alur pemikiran  sebagaimana diuraikan di atas, maka  bisa  kita pahami bahwa ritual dan budaya spiritual Jawa mengandung unsur-unsur hakiki: sebagai panembah kepada Sesembahan, sebagai  hubungan  manusia dengan alam semesta dengan seluruh isinya, dan sebagai ekspresi berkeadabannya manusia. Peradaban Jawa ke banyak bangsa yang mengenalnya tersebut di jaman kuno. Landasan berpikirnya, bahwa bangsa Nusantara (termasuk Jawa) adalah bangsa bahari yang mampu  berkelana melalui samudra, sementara banyak bangsa yang menulis Jawa dalam catatan sejarahnya bukan bangsa pelaut. Wacana pemikiran bahwa bangsa Jawa di jaman kuno memiliki kedaulatan  penting  artinya untuk  melakukan  tinjauan mendalam tentang sistim religi, spiritualisme dan filsafat hidup Jawa guna menelusur Budaya Spiritual Jawa yang  sejati. Bagaimanapun, secara logika, dikenalnya Jawa oleh bangsa-bangsa lain di banyak penjuru dunia, merupakan bukti  ada yang  lebih pada budaya dan peradaban  Jawa yang sejati  tersebut.

Kelebihan tersebut kemudian mengundang bangsa-bangsa lain migrasi  ke Jawa dan seluruh penjuru Nusantara.[3] Maka kemudian Jawa sebelum masuknya agama-agama diposisikan sebagai animisme dan menyembah arwah leluhur. Malahan ada yang kemudian menganggap budaya spiritual Jawa sebagai upaya menggapai kesaktian semata. Tak kurang pula yang menganggap budaya spiritual Jawa sebagai ritual bersekutu dengan setan untuk  mendapatkan  kesaktian  tersebut.

Salah paham yang demikian perlu diklarifikasi dengan mengemukakan landasan utama budaya spiritual Jawa yang sejati. Barangkali kemungkinan  penggunaan konsep pembentukan tradisi dapat dipertimbangkan untuk mencapai maksud ini. Sebagai suatu yang diturunkan dari masa lampau, tradisi tidak hanya berkaitan dengan landasan legitimasi tetapi juga dengan sistem otoritas atau kewenangan. Sebagai suatu konsep sejarah, tradisi dapat dipahami sebagai suatu paradigma kultural untuk melihat dan memberi makna terhadap kenyataan.[4]

Sampailah  kajian kita  terhadap  relevansi dan peran  ‘Budaya  Spiritual Jawa’ bagi masyarakat. Untuk itu, perlu dipahami bahwa proses meng-Indonesia pada seluruh unsur-unsurnya (termasuk Jawa) belum selesai. Masih terjadi kerancuan pemahaman membangun jati diri Indonesia dengan penguatan identitas unsur-unsur. Dalam hal berkaitan dengan Jawa, maka terjadi nilai-nilai untuk meng-Indonesia dan penguatan identitas Jawa. Bahkan nilai-nilai tersebut  bertambah rumit dengan masuknya nilai-nilai budaya dan peradaban dari agama yang dipeluk, serta nilai-nilai budaya dan peradaban modern Barat. Maka diperlukan suatu kecermatan, kehati-hatian, dan kearifan dalam mengangkat wacana-wacana Jawa dan keJawaan. Dengan demikian tidak mengganggu proses mengIndonesia secara tuntas. 
Budaya Spiritual Jawa melekat erat pada SDM wong Jawa  karena bersumber dari wujud spiritual yang kodrati pemberiaan Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula, sepanjang sejarah Nusantara, budaya spiritual Jawa selalu relevan terhadap eksistensi negara-negara (kerajaan) yang pernah ada. Bahkan mempunyai peran positif menjadikan jaya kerajaan-kerajaan tersebut. Bukti empirisnya berupa peninggalan monumen bangunan berupa candi-candi (Hindu dan Buddha) di Jawa  yang lebih dibanding peninggalan di tempat agama  Hindu  dan  Buddha  berasal.
Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa budaya spiritual Jawa memiliki karakter: ngemot, momong, dan mangkat (meninggikan derajat  hingga  berjaya) semua  kerajaan  yang ada meskipun berbeda budaya dan peradaban. Karena azali kodrati, maka  meskipun  telah dan akan bersinggungan, dan bersinergi, dengan banyak budaya spiritual yang lain, budaya spiritual Jawa masih tetap eksis tidak banyak berubah. Persoalan utamanya, bahwa budaya spiritual Jawa tetap memiliki aras dasar (tempat kedudukan (tahta) Allah Swt) kuat pada kesadaran: ber-Tuhan, kesemestaan, dan keberadaban. Ketiga aras kesadaran tersebut merupakan dasar universalitas budaya spiritual Jawa. Di banyak bagian dunia, konflik  antar manusia  lebih disebabkan oleh perbedaan sistim  religi  yang  terperangkap kepada sikap para pemeluknya, dan tidak mempersoalkan berbagai bentuk ritual panembah menjadi tali perekat persatuan antar manusia yang berbeda-beda. Benarlah kiranya pernyataan Mpu Tantular (wong Jawa jaman Majapahit): “Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa”. 



[1] Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, Uin-Malang Press, Malang, 2008, hlm. 46.
[2] Nor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2007, hlm. 3.
[3] Ibid.
[4] Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, 1988, hlm. 61

No comments:

Post a Comment