FULLDAY SCHOOL (Model Alternatif Pembelajaran Bahasa Asing)


FULLDAY SCHOOL
(Model Alternatif Pembelajaran Bahasa Asing)

Nor Hasan


Abstrak : Tulisan ini akan memfokuskan kajian pada sistem pembelajaran fullday school yang selama ini disinyalir sebagai sistem yang efektif karena pembelajaran berlangsung secara aktif, kreatif, dan transformatif selama sehari penuh bahkan selama kurang lebih 24 jam. Melalui tulisan ini akan diekplorasi lebih jauh berkenaan dengan sistem pembelajaran fullday school, seperti asal usul sistem fullday school, pola pembelajar­an model fullday school, sisi keunggulan dan kelemahan apa yang terdapat pada sistem ini, prasyarat pendukung apa saja yang harus dipenuhi, serta bagaimana implikasinya dalam pembinaan kecakapan berbahasa asing. 

Kata kuncifullday school, pembelajaran, bahasa asing.


Pendahuluan

Eksistensi suatu bangsa ke depan--ditengah persaingan global-- ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Bangsa yang menya­dari peran SDM tersebut akan senantiasa berupaya secara optimal untuk mewujudkan human resources  yang qualified dengan senantiasa melakukan desain innovatif dalam pola pembinaan SDM serta membe­ri­kan pelayanan dan pembinaan terbaik. Dalam hal ini penataan lem­baga pendidikan formal (sekolah) mendapatkan prioritas utama, sebab diyakini bahwa sekolah merupakan lembaga efektif dalam transformasi peradaban.
Namun dalam batas tertentu, kurikulum sekolah didesain untuk mem­pertahankan status quo rezim tertentu, sehingga misi transformatif menjadi terpinggirkan. Inovasi yang dilaksanakan adalah inovasi semu (pseudo innovation) yang hanya menyentuh hal-hal instrumental, tidak menyentuh hal yang fundamental/substansial.
Salah satu kendala yang paling menyolok dari sumber daya manu­sia kita adalah minimnya penguasaan bahasa asing (seperti baha­sa Inggris dan Arab). Padahal penguasaan bahasa asing tersebut menjadi prasyarat mutlak untuk mengakses sumber informasi mutakhir yang banyak ditulis melalui bahasa-bahasa tersebut. Hal tersebut terjadi disamping mutu SDM pengelola pendidikan kurang memadai juga karena sistem pengelolaan pengajaran yang tidak diorientasikan pada penguasaan bahasa asing tersebut. Penguasaan siswa terhadap bahasa asing--dalam batas tertentu--lebih disebabkan oleh usahanya sendiri (belajar mandiri).
Menyadari bahwa bahasa asing tersebut merupakan akses pokok dalam mewujudkan SDM berkualitas--paling tidak ditinjau dari segi akses informatif--para pemikir dan praktisi pendidikan mulai berikhtiar guna meningkatkan kemampuan berbahasa asing para siswanya. Salah satunya adalah merintis fullday school dengan mengembangkan sistem asrama yang tersentralisir dengan mengadaptasi sistem pesantren seperti Gontor, Al-Amin, dan pesantren lain yang dianggap berhasil dal­am menerapkan bahasa asing sebagai bahasa komunikasi sehari-harinya.

Pengertian Fullday School

Secara bahasa/etimologi fullday school berarti sekolah sehari penuh. Berakar dari arti etimologi itulah, dapat diajukan makna defi­nitif, fullday school sebagai suatu proses pembelajaran yang berlang­sung secara aktif, kreatif, dan transformatif selama sehari penuh bahkan selama kurang lebih 24 jam. Ada dua kata kunci dari pengertian  di atas yang perlu dielaborasi lebih lanjut, yaitu :
1.  Proses pembelajaran yang berlangsung secara aktif, kreatif, tran­s­formatif sekaligus intensif. Sistem persekolahan dan pola fullday school mengindikasikan proses pembelajaran yang aktif, dalam arti mengoptimalisasikan seluruh potensi untuk mencapai tujuan pem­be­lajaran secara optimal. Sisi kreatif sistem pembelajaran dengan sistem fullday school terletak pada optimalisasi pemanfaat­an sarana dan prasarana sekaligus sistem untuk mewujudkan proses pembe­lajaran yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi siswa. Adapun sisi transformatif proses pembelajaran sistem fullday school adalah proses pembelajaran itu diabdikan untuk mengem­bangkan seluruh potensi kepribadian siswa dengan lebih seimbang. Singkat kata, proses pembelajaran dalam sistem ini berusaha mengembangkan secara integral; jiwa eksploratif, suka mencari, bertanya, menyelidiki, merumuskan pertanyaan, mencari jawaban, peka menangkap gejala alam sebagai bahan untuk menghubungkan diri; kreatif; suka menciptakan hal-hal baru dan berguna, tidak mudah putus asa ketika berhadapan dengan kesulitan, mampu melihat alternatif ketika semua jalan buntu, serta integral;  kemam­puan melihat dan menghadapi beragam kehidupan dalam keter­paduan yang realistis, utuh, dan mengembangkan diri secara utuh.[1]         
2. Proses pembelajaran selama sehari penuh atau sistem 24 jam untuk melaksanakan proses pembelajaran yang berlangsung aktif. Untuk melaksanakan proses pembelajaran  yang berlangsung aktif, kreatif, transformatif, intensif, dan integral diperlukan sistem 24 jam. Ini tidak berarti bahwa selama 24 jam secara penuh siswa belajar mengkaji, menelaah, dan berbagai aktivitas lainnya tanpa mengenal istirahat. Jika demikian yang terjadi, maka proses tersebut bukanlah proses edukasi. Siswa bukanlah robot, mereka mem­butuhkan  relak­sasi, santai, dan lepas dari rutinitas yang mem­bo­sankan. Sistem 24 jam dimaksudkan sebagai ikhtiar bagaimana selama sehari semalam siswa melakukan aktivitas bermakna edukatif.

Asal Usul Sistem Fullday School

Penerapan sistem fullday school di sejumlah lembaga pendidikan akhir-akhir ini diilhami oleh rasa keprihatinan atas sistem persekolahan konvens­ional yang dipandang memiliki banyak kelemahan karena, sebagaimana dinyatakan A.Qodri Azizy, sistem persekolahan lebih intelectual oriented, sementara nihil dalam segi afektif dan psikomo­toriknya.[2] Hal demikian terjadi antara lain dise­babkan karena sangat terbatasnya jumlah waktu yang diberikan oleh sekolah dan interaksinya yang serba  formal mekanistis. Kendati demikian, sistem se­ko­lah model konvensional dalam batas tertentu telah menberikan kontribusi  besar bagi pendidikan kita, yakni: a) sekolah melaksanakan tugas mendidik maupun mengajar anak serta memperbaiki  dan memperluas tingkah laku si anak didik yang dibawa dari keluarga; b) sekolah mendidik mau­pun mengajar anak didik menjadi pribadi dewasa susila sekaligus warga negara susila; c) sekolah mendidik maupun mengajar  anak didik menerima dan memi­liki kebudayaan bangsa; d) lewat bidang penga­ja­ran sekolah membantu anak didik mengembang­kan kemampu­an intelektual dan keterampilan kerja, sehingga anak didik memiliki keah­lian untuk bekerja dan ikut membangun bangsa negara.[3]
Hingga saat ini sistem fullday school telah menjadi kecende­rungan  kuat dalam proses edukasi di negara kita. Banyak lembaga pen­di­dikan yang menerapkan sistem ini dengan model yang sangat variatif. Istilah yang digunakan juga beragam, seperti; fullday school, boarding school, dan program ma’had. Beberapa lembaga yang mene­rapkan sistem pembelajaran fullday school antara lain; SMU Taruna Nusantara di Magelang, SMU Plus Muthahhari di Bandung, SMU Madania Parung Bogor, lembaga kursus bahasa asing di Pare Kediri, UIN Malang (melalui program ma’had)[4], dan MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus).[5]
Dari perspektif historis, sistem pembelajaran sehari penuh (fullday school) sesungguhnya bukan hal baru. Sistem ini telah lama diterapkan dalam tradisi pesantren melalui sistem asrama atau pondok, meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana.[6] Bahkan jika ditarik ke belakang, sistem asrama telah dipraktikkan sejak masa pengaruh Hindu-Budha pra-Islam.[7] Sistem asrama dalam tradisi pe­san­tren sangat kaya dengan pen­didikan utuh dan integral yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan formal lainnya. Lebih jelas Qodri Azizy menilai: “Di dalam lembaga pendidikan pada umumnya sering dikecewakan lantaran hanya mampu mewujudkan segi kognitif, se­men­tara sangat lemah dan terkadang nihil segi afektif dan psiko­motoriknya. Di pesantren ketiga bidang tersebut akan selalu dapat di­prak­tikkan dengan modal sistem 24 jam tadi. Justru sangat meng­utamakan pengamalan, oleh karena suatu ilmu tanpa ada pengamalan dicap sebagai yang tak bermanfaat”.[8]

Dengan diilhami oleh kelebihan sistem pondok/asrama dalam tradisi pesantren, sejumlah sekolah mulai melakukan inovasi perse­ko­lahan melalui perintisan fullday school yang dalam hal-hal tertentu sangat mirip dengan pesantren dengan sejumlah modifikasi. Dengan demikian, konsep fullday school merupakan modernisasi, bahkan sis­tema­tisasi atau modifikasi dari tradisi pesantren, yang dalam batas tertentu pesantren kurang menyadari substansi pola kependidikan yang diaplikasikannya karena sudah menjadi sebuah tradisi yang melekat--secara inhern--dalam proses transformasi keilmuanya. Karena­nya,  fullday school dalam aplikasinya bisa saja tetap memper­tahankan    for­mat tradisi pesantren, namun tradisi yang telah tersadar­kan akan substansinya. 


Pola Pembelajaran dalam Fullday School

Fullday school dapat dilaksanakan dengan sarana dan prasarana yang relatif terbatas. Yang sangat dibutuhkan sesungguhnya adalah ting­kat komitmen dan kesungguhan pengelola dalam mewujudkan sis­tem demikian. Hal ini tidak berarti prasarana dan sarana tidak penting. Keberadaan prasarana dan sarana--apalagi lengkap dan memadai--amat menentukan terhadap efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran.
Sistem fullday school terutama yang lebih berorientasi pada penguasaan bahasa asing paling tidak membutuhkan komponen (pe­rang­kat) sebagai berikut: a) perangkat lunak (soft were). Perangkat lunak yang dibutuhkan dalam pelaksanaan fullday school antara lain adalah komitmen dan kesungguhan pengelola yang diwujud-nyatakan  dalam tata aturan yang ditegakkan secara kon­sisten  dan aplikasi sanksi yang juga konsisten sekaligus tegas; b) perangkat keras (hard were). Perangkat keras yang dibutuhkan dalam sistem fullday school adalah adanya sarana yang sangat memungkinkan diaplikasikan pengawasan komitmen siswa terhadap aktivitas siswa yang diarah­kan sesuai dengan misi lembaga pendidikan yang bersang­kutan.
Adapun pola pembelajarannya dapat saja menggunakan sistem kelompok (klasikal) sesuai dengan tingkat pengawasan siswa seperti tingkat pemula, tingkat  menengah, dan tingkat mahir,  yang ditempat­kan dalam satu asrama tertentu dimana siswa diwajibkan menggunakan bahasa asing dalam berkomunikasi dengan  sesama siswa maupun de­ngan pengasuh  dan jika melanggar diberikan sanksi secara konsisten.
Bagi siswa yang telah diklasifikasikan berdasarkan kemampuan­nya itu diberi kesempatan untuk naik pada jenjang berikutnya tanpa terikat  waktu, sehingga mereka diberi kesempatan  untuk mengop­timalisasi­kan kemampuan, waktu, dan kapasitas intelektualnya masing-masing untuk meraih prestasi tertinggi. Dengan kata lain, siswa diberi peluang belajar mandiri (individual), namun tetap berada dalam pengawasan pengasuh. Pendek kata, dengan kemandiriannya pengasuh dapat mengoptimalisasi idealismenya dalam wujud strategi fullday school terbaik, setelah--sudah tentu--melihat kondisi dan kapasitas  lembaga dan siswanya.

Keunggulan  dan Kelemahan Sistem Fullday School

Fullday school sebagai sebuah konsep yang inovatif yang lahir dari keprihatinan sistem persekolahan  konvensional, mempunyai sisi-sisi keunggulan antara lain sebagai berikut:
Pertama, sistem fullday school lebih memungkinkan terwujud­nya pendidikan utuh. Benyamin S. Bloon menyatakan bahwa sasaran (objectives) pen­didikan meliputi tiga bidang yakni kognitif, afektif, dan psiko­motorik. Pada lembaga pendidikan konvensional, sering di­kecewakan karena hanya mampu membentuk segi kognitif, namun sangat lemah--bahkan nihil--pada segi afektif dan psiko­mo­torik­nya.[9] Melalui sistem asrama dan pola fullday school, tendensi kearah penguatan pada sisi kognitif saja dapat lebih dihindarkan, dalam arti aspek afektif siswa dapat lebih diarahkan. Demikian juga aspek psikomotoriknya. Dalam konteks demikian inilah sistem pendidikan yang selama ini diterapkan di pesantren menemukan titik sig­ni­fikansinya. Sehubu­ng­an dengan hal tersebut Qodri Azizy menge­mukakan: “Sikap totalitas santri[10]… sering tampak segi positifnya. Dengan sikap seperti itu kiai dengan mudah membina, membimbing, bahkan mencetak karakter santri. Disana konsep ibadah ada pada diri santri dan kiai. Santri merasa beribadah bila mematuhi sekaligus mengabdi kepada kyai. Demikian pula kiai merasa melakukan ibadah untuk membina atau melayani santrinya. Sikap seperti itu sangat mendukung mewujudkan sistem pendidikan 24 jam. Artinya penciptaan sistem 24 jam itu sangat mudah dilaksanakan setelah terwujudnya seperti di atas, sementara tempat tinggal santri  berada disamping kiai yang sewaktu-waktu bisa secara langsung dibina oleh kiai”.[11]
Kedua, sistem fullday school lebih memungkinkan terwujudnya intensifikasi dan efektivitas proses edukasi. Fullday school dengan pola asrama yang tersentralisir dan sistem pengawasan 24 jam sangat memungkinkan bagi terwujudnya intensifikasi  proses pendidikan dalam arti siswa lebih mudah diarahkan dan dibentuk sesuai dengan missi dan orientasi lembaga bersangkutan, sebab aktivitas siswa lebih mudah  terpantau karena sejak awal sudah diarahkan.
Ketiga,  sistem fullday school merupakan lembaga yang terbukti efektif dalam mengaplikasikan kemampuan berbahasa asing, seperti dibuktikan di sejumlah lembaga semisal pesantren Gontor Ponorogo, al-Amin Sumenep, dan lembaga kursus bahasa asing di Pare Kediri.
Selama ini sering didengar bahwa kemampuan ber­bahasa asing (Arab maupun Ingris) pada siswa di lembaga pen­didikan persekolahan konvensional sangat lemah--untuk mengata­kan tidak ada sama sekali.  Hal demikian terjadi disamping karena kelemahan SDM juga antara lain disebabkan oleh kesalahan proses pembelajaran sehingga terjadi anggapan bahwa belajar bahasa asing sangat sulit, kurang bermanfaat, dan kesan-kesan steriotype lainnya. Sistem fullday school sangat sadar bahwa hal itu merupakan suatu kesalahan. Dengan sistem yang dikembang­kan­nya, fullday school berusaha mendekatkan siswa dengan berbahasa asing, melalui pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari yang diim­bangi dengan penerapan sanksi yang tegas dan konsisten.
Namun demikian sistem pembelajaran model fullday school tidak terlepas dari kelemahan dan kekurangan, misalnya:
Pertama, sistem fullday school acapkali menimbulkan rasa bosan pada siswa. Sistem pembelajaran dengan pola fullday school membu­tuhkan kesiapan baik fisik, psikologis, maupun intelektual yang bagus. Jadwal kegiatan pembelajaran yang padat dan penerapan sanksi yang konsisten, dalam batas tertentu  akan menyebabkan siswa men­jadi je­nuh. Namun demikian, bagi mereka yang telah siap, hal tersebut bukan suatu masa­lah, tetapi justeru akan mendatangkan keasyikan tersendiri. Oleh karenanya, kejelian dan improvisasi pengelola dalam hal ini sangatlah dibutuhkan. Keahlian dalam merancang fullday school se­hingga tidak membosankan--bahkan meng­asyikkan—sangat­lah pen­ting. Demikian juga kerjasama dengan semua pihak, yakni pa­kar pendidikan, psikolog, dan expert-expert lainnya sangat perlu diga­lakkan.
Kedua, sistem fullday school memerlukan perhatian dan kesung­guhan manajemen bagi pengelola. Agar proses pembelajaran pada lem­­baga pendidikan yang berpola fullday school  berlangsung optimal, sangat dibutuhkan perhatian dan curahan pemikiran terlebih dari pengelolanya, bahkan pengor­ban­an baik fisik, psikologis, material, dan lainnya. Mengelola fullday school--apalagi dengan misi  memperkuat ilmu alat (penguasaan bahasa asing)--jelas sangat membutuhkan kerapi­an manajerial dan ketajaman--sekaligus kepekaan—konsep­tual, yakni bagaimana agar pada satu sisi terdidik merasa enak belajar, berdisiplin, dan merasa at home di tengah ketegasan dan keketatan sanksi dan kepadatan proses edukasi. Tanpa hal demikian, fullday school tidak akan  mencapai hasil optimal bahkan boleh jadi hanya sekedar rutinitas yang tanpa makna.

Peluang Pembinaan Kecakapan Berbahasa Asing melalui Sistem Fullday School

Kemampuan dan kecakapan dalam hal apapun termasuk berba­hasa dapat diperoleh dengan pembiasaan (habitualization). Terwujud­nya pembiasaan terjadi karena mekanisme yang disengaja. Untuk mencapai kebiasaan, pada awalnya sangat diperlukan adanya pene­kanan dan pemaksaan yang diimbangi dengan aplikasi sanksi  yang konsisten. Demikian pula halnya dalam proses belajar bahasa asing, sangat dibutuhkan pembiasaan, sehingga bahasa asing itu tidak menjadi bahasa yang “asing” lagi, tetapi telah menjadi sesuatu yang melekat dalam tradisi keseharian.
Fullday school  dengan mekanisme pembelajarannya yang tersen­tralisir merupakan wadah paling efektif dalam menanamkan kemam­puan berbahasa asing pada terdidiknya. Melalui interaksi pembelajaran yang aktif, kreatif, intensif, integratif yang dikemas dalam sistem asrama tersentralisir dan sistem pengawasan--atau lebih tepatnya pembinaan--24 jam, fullday school  akan menjadi sistem pembelajaran yang sangat signifikan untuk dikembangkan dalam proses transformasi pendidikan.
Pemantapan penga­jaran bahasa asing, yang dalam batas tertentu tidak berhasil dikembangkan melalui sistem persekolahan konven­sional. Bahasa asing--baik Ingris, Arab, dan yang lainnya--merupakan media yang sering digunakan dalam transformasi keilmuan mu­takhir. Karenanya merupakan suatu keniscayaan untuk mema­hami­nya agar tidak ketinggalan informasi. Dan pada  sisi yang lain, bahasa asing  meru­pakan akses informatif yang sangat bernilai dalam memacu dinamika keilmuan sekaligus mengangkat mutu peradaban. Sistem persekolahan konvensional selama ini kurang mementing­kan penga­wasan bahasa asing tersebut. Hal ini terjadi disamping karena human resources yang kurang memadai, juga sering terjadi anggapan bahwa belajar berbahasa asing sangat sulit, kurang penting, dan atribut-atribut lainnya yang bersifat menghambat, bahkan memudarkan semangat belajar bahasa asing. 
Fullday school lahir sebagai upaya pembenahan terhadap ke­mam­­­puan berbahasa asing dari siswa. Melalui mekanisme (pola kerja) tertentu, di desain sistem sedemikian rupa sehingga siswa senang kepa­da bahasa asing, menyadari nilai signifikansi bahasa asing, termotivasi untuk menggunakan bahasa asing dalam aktivitas kese­harian, sehingga bahasa asing bukan menjadi sesuatu yang asing, tetapi menjadi sesuatu yang dekat dan inhern dalam dina­mika hidup keseharian.

Penutup

      Fullday school adalah sebagai salah satu--jika tidak mau menyatakan sebagai satu-satunya—model alternatif sistem pembelajar­an bahasa asing, yang  menerapkan proses pembelajaran yang berlangsung secara aktif, kreatif, dan transformatif, berlangsung selama sehari penuh bahkan selama kurang lebih 24 jam. Proses pembelajaran dalam sistem ini berusaha mengembangkan secara integral: jiwa eks­plo­ratif, suka mencari, bertanya, menyelidiki, merumuskan pertanyaan, mencari jawab­an, peka menangkap gejala alam sebagai bahan untuk meng­hubungkan diri, kreatif: suka menciptakan hal-hal baru dan ber­guna, tidak mudah putus asa ketika berhadapan dengan kesulitan, mam­pu melihat alternatif ketika semua jalan buntu, serta integral:  kemam­puan melihat dan menghadapi beragam kehidupan dalam keter­paduan yang realistis, utuh, dan mengembangkan diri secara utuh.
Memperhatikan sejumlah keunggulan sistem fullday school dan ke­berhasilan sejumlah lembaga yang telah menerapkan sistem ini, maka—dengan tidak menutup mata atas kelemahan yang dimiliki—sangat wajar apabila sistem ini menjadi model alternatif pembelajaran bahasa asing. Wa Allâhu a’lam bi al-shawâb. *



[1]Paul Suparno SJ., et.al., Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm., 40.
[2]A. Qadri Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar (Yogyakarta : LKiS, 2000), hlm., 106.
[3]Driyarkara, Driyarkara Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1980) hlm., 12.
[4] Di Universitas Negeri Malang, melalui program ma’had, seluruh mahasiswa baru—selama dua semester—diwajibkan tinggal di asrama di bawah bimbingan sejumlah dosen. Tujuannya untuk mempermudah pembinaan moral, pendalaman agama, dan pembinaan penguasaan bahasa asing (Arab).
[5] MAPK merupakan wujud inovatif dari MAN dengan kurikulum 70% agama dan 30% pengetahuan umum. Berdiri tahun 1987 berdasar Keputusan Menteri Agama Nomor 73/1987. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara fullday school. Siswa wajib tinggal di asrama di bawah bimbingan guru senior. Bahasa komunikasi sehari-hari adalah bahasa Arab dan/Inggris. Program ini berakhir sekitar tahun 1994 setelah pemberlakuan kurikulum 1994 bagi Madrasah Aliyah sebagai implementasi dari UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[6]Dan karena keseder­ha­na­annya--ditambah sejumlah alasan lain--pesantren se­ring dipan­dang inhern dengan tradisionalitas, keterbelakangan, kekumuhan, dan steriotype lainnya. Baca lebih lanjut; Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), hlm., 128-131.
[7]Karel A. Steembrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen (Jakarta : LP3ES, 1994), hlm. 20.
[8]Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial, hlm. 105.
[9]Ibid., hlm. 106-107.
[10]Sikap penghormatan secar total dan tulus dari santri pada kyai bukan hanya sekedar bermakna sopan santun, namun mempunyai nilai agama yang wajib dikerjakan . Bahkan konsep ini ditopang oleh konsep barokah yang sangat memberikan nuansa esoteris dalam sikap penghormatan itu. Lebih lanjut baca: Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1986).
[11] Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial, hlm. 104. 

No comments:

Post a Comment