Arti kafa’ah adalah serupa, seimbang atau serasi. Maksudnya keseimbangan dan keserasian
antara calon istri
dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa
berat untuk melangsungkan pernikahan. Sayyid
Sabiq mengartikan kafa’ah dengan spadan, sebanding dan sederajat yakni
laki-laki sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam tingkat sosial,
akhlak dan kekayaan. Tidak diragukan lagi
bahwa kedudukan calon mempelai laki-laki dengan
calon mempelai wanita sebanding, merupakan faktor yang menentukan dalam
kehidupan rumah tangga.[1]
Untuk
terciptanya sebuah rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah, Islam menganjurkan agar ada keseimbangan dan keserasian, kesepadanan dan kesebandingan antara
kedua calon suami istri
tersebut.
Tetapi
hal ini bukanlah merupakan satu hal yang mutlak, melainkan satu hal yang harus
diperhatikan untuk mencapai tujuan pernikahan yang bahagia dan abadi. Pada prinsipnya
Islam memandang sama kedudukan umat manusia hanya dibedakan
oleh takwa.
Firman Allah:
يأيها الناس إنا خلقناكم كن ذكر و أنثى و جعلناكم
شعوبا و قبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesunggunya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara
kamu”. (QS: al-Hujarat: 13)[2]
Sabda
Nabi:
الناس سواسية كأسنان المشط الواحد لا فضل لعربي على
أعجمي إلا بالتقوى (رواه ابو دلود)
“Manusia itu sama seperti
gigi sisir yang satu, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang selain Arab,
kecuali dengan takwa”. (HR. Abu Dawud).[3]
Dengan
ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa takwa yang membedakan manusia satu dengan
lainnya menurut pandangan Allah dan Rasulnya,
bukan masalah kebangsaan, kebangsawanan, harta ataupun kecantikan. Berbicara masalah takwa berarti berbicara tentang agama
dan akhlak. Dengan demikian, bobot utama dalam masalah kafa’ah atau kufu
ini adalah masalah agama dan akhlak. Adapun yang selain itu merupakan bobot pelengkap.
Adapun
pendapat jumhur ulama fiqih tentang kafa’ah adalah sebagai berikut:
a.
Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa sesungguhnya kafa’ah adalah persamaan antara seorang calon laki-laki
dengan calon wanita dalam beberapa masalah tertentu seperti:
1. Keturunan.
2. Pekerjaan.
3. Merdeka.
4. Agama.
5. Harta.[4]
b.
Golongan Malikiah berpendapat bahwa kafa’ah dalam nikah adalah sebanding
dengan dua urusan:
1.
Masalah agama, dalam arti orang tersebut muslim yang tidak fasik.
2.
Calon pria bebas dari cacat yang besar yang dapat mengakibatkan wanita tersebut
dapat melaksanakan hak khiyar atau hak pilihnya, seperti penyakit supak,
gila atau penyakit kusta.
3.
Kafa’ah dalam harta, merdeka, keturunan, dan pekerjaan merupakan pertimbangan
saja.[5]
c. Golongan
Syafiiyah berpendapat bahwa kafa’ah itu adalah dalam masalah tidak adanya
aib. Kalau salah satu di antaranya ada aib, maka yang lain dapat membatalkan perkawinan itu (fasakh). Yang perlu dipertimbangkan dalam masalah ini adalah
keturunan, agama merdeka, dan pekerjaan.[6]
Sedangkan
yang berhak atas kafa’ah itu adalah wanita dan yang berkewajiban harus ber-kafa’ah adalah pria. Jadi, yang dikenal
persyaratan harus kufu atau harus setaraf itu adalah laki-laki terhadap
wanita. Kafa’ah ini merupakan masalah yang harus diperhitungkan dalam melaksanakan suatu pernikahan, bukan untuk sahnya suatu pernikahan. Kafa’ah ini adalah hak wanita dan wali, oleh karena itu
keduanya berhak untuk menggugurkan kafa’ah.
Kesimpulannya,
kafa’ah itu diperhitungkan sebagai syarat sah nikah, ketika wanita tidak rela,
tetapi apabila ia rela maka kafa’ah
tidak menjadi persyaratan sah atau tidaknya pernikahan.
No comments:
Post a Comment