Semua huruf yang berharakat
diwaqafkan dengan sukun, seperti yang telah kita ketahui, dan diperbolehkan
juga atas sebagian huruf yang berharakat untuk diwaqafkan dengan ha’ yang
disukun yang bernama Ha’ Saktu.
Ha’ tersebut tidak boleh ditambahkan,
untuk diwaqafkan dengannya, kecuali dalam fi’il mudlari’ yang mu’tal akhir yang
dijazemkan dengan membuang huruf akhirnya, dalam fi’il amar yang mu’tal akhir
yang dimabnikan membuang huruf akhirnya, dalam (مَا) istifhamiyyah dan dalam kalimah huruf yang dimabnikan dengan
harakat yang kemabniannya adalah asli. Pewaqafan dengan menggunakan ha’ saktu
pada selain bentuk-bentuk tersebut adalah syadz.
Penjelasan dari bentuk-bentuk
tersebut adalah seperti dibawah ini,
a. Ketika
kita mewaqafkan fi’il mudlari’ yang mu’tal akhir yang huruf terakhirnya tidak
bertemu dengan sesuatu (dlamir alif tatsniyyah, waw jama’ atau ya’ mu’annats
mukhathabah), maka kita waqafkan dengan menetapkan huruf terakhirnya dengan
disukun, pada saat rafa’ dan nashab.
Namun, ketika kita menjazemkannya,
maka kita boleh untuk mewaqafkan sesuai dengan keadaan huruf terakhirnya,
seperti (لَمْ تَمْشَ), (لَمْ تَدْعُ) dan (لَمْ تَخْشَ), atau kita waqafkan dengan ha’
saktu, supaya pewaqafan menjadi lebih mudah dan itu adalah yang lebih baik,
seperti (لَمْ
تَمْشَهْ), (لَمْ
تَدْعُهْ) dan (لَمْ
تَخْشَهْ).
Begitu juga fi’il yang mu’tal akhir
yang dimabnikan dengan membuang huruf akhirnya, maka diucapkan (اِمْشَ), (اُدْعُ) dan (إِخْشَ), kita
waqafkan dengan sukun sesuai dengan keadaan huruf akhirnya, dan boleh juga kita
ucapkan (اِمْشَهْ), (اُدْعُهْ) dan (إِحْشَهْ), dengan kita waqafkan dengan
menggunakan ha’ saktu.
Kecuali, ketika huruf yang tersisa
bagi fi’il amar hanyalah satu huruf, seperti (فِ), (عِ) dan (قِ), yaitu fi’il amar dari (وَفَى يَفِي), (وَعَى يَعِي) dan (وَقَى يَقِي), maka ketika itu diwajibkan untuk
me-waqafkannya dengan ha’ saktu, seperti (فِهْ), (عِهْ) dan (قِهْ).
b. Ketika
kita mewaqafkan (مَا) istifhamiyyah
yang menempati lafal yang dijerkan, maka alifnya wajib dibuang, seperti (عَلَى مَا
فَعَلْتَ؟), (حَتَّامَ
تَسْكُتُ؟) dan (إِلاَ
مَ
تَمِيْلُ؟).
Kemudian ketika kita ingin
mewaqafkannya, maka jika dia dijerkan dengan idlafah, maka kita wajib
mewaqafkannya dengan ha’ saktu, seperti (حَجِيءَ مَهْ؟) dan (تَمْرُ مَهْ؟), dan jika
pengejerannya dengan huruf jer, maka yang lebih baik adalah diwaqafkan dengan
huruf jer, seperti (عَمَّهْ؟), (فِيْمَهْ؟), (حَتَّامَهْ؟) dan (إِلاَ مَهْ؟), dan diperbolehkan untuk
mewaqafkannya pada mim yang disukun, seperti (عَمَّ؟), (فِيْمَ؟), (عَلاَمَ؟) dan (حَتَّامَ؟). Terkadang, pada saat washal, mim
disukun karena memberlakukannya seperti waqaf, seperti perkataan penyair,
لِهُمُومٍ طَارِقَاتٍ
وَ
ذِكْرٍ * يَا
أَبَا
الأَسْوَدِ
لِمْ
خَلَيْتَنِيْ
Yang haknya adalah diucapkan (لِمَ).
c. Ketika
kita mewaqafkan kalimah huruf yang dimabnikan dengan harakat, seperti (رُبَّ), (لَعَلَّ), (إِنَّ) dan (مُنْذُ), maka di-waqafkan dengan sukun,
dan jika kita ingin maka diwaqafkan dengan ha’ saktu, seperti (رُبَّهْ), (لَعَلَّهْ), (إِنَّهْ) dan (مُنْذُهْ).
Termasuk juga nun taukid tsaqilah,
seperti (لاَ
تَذْهَبَنَّ) dan (اِذْهَبَنَّ), maka kita
diperbolehkan untuk mewaqafkannya dengan sukun atau dengan ha’ saktu, seperti (لاَ تَذْهَبَنَّهْ) dan (اِذْهَبَنَّهْ), dan mewaqaf-kan dengan ha’ saktu
adalah yang paling baik.
Termasuk juga nun-nun yang masuk
pada isim tatsniyyah, jama’ mudzakar salim dan af’alul khamsah, seperti halnya
kita mewaqafkannya dengan sukun, maka kita diperbolehkan untuk mewaqafkannya
dengan ha’ saktu, sehingga diucapkan (جَاءَ الرَّجُلاَنِهْ), (اَكْرِمِ
الْمُجْتَهِدُونَهْ) dan (الْمُجْتَهِدُونَ
يُكْرَمُونَهْ).
d. Isim
mabni, adakalanya kemabniannya adalah ‘aridli (tidak asli) karena suatu
sebab yang bisa hilang ketika sebab itu hilang, seperti (قَبْلُ), (بَعْدُ) dan isimnya (لا) nafyil jinis
yang mabni. Isim yang keadaannya seperti itu, maka tidak diperbolehkan
diwaqafkan dengan ha’ saktu.
Dan adakalanya kemabniannya adalah
tetap pada semua keadaannya (seperti dlamir, isim isyarah, isim istifham dan
semisalnya), maka isim yang seperti itu, dan huruf terakhirnya adalah
berharakat, maka kita waqafkan dengan sukun atau ha’ saktu, seperti (اَيْنَ), (أَيَّانَ), (كَيْفَ), (الَّذِيْنَ), (حَذَارَ) dan (حَيْثُ). Jika kita
ingin, maka kita waqafkan dengan mensukun huruf akhirnya, atu kita
mewaqafkannya dengan ha’ saktu, seperti (أَيْنَهْ), (أَيَّانَهْ), (كَيْفَهْ), (اَلَّذِيْنَهْ), (حَذَارَهْ) dan (حَيْثُهْ).
Begitu juga dlamir yang berharakat,
maka bisa diwaqafkan dengan mensukunnya atau kita tambahi dengan ha’ saktu,
sehingga kita ucapkan (أَكْرَمْتْ) atau (أَكْرَمْتُهْ), (قُمْتْ) atau (قُمْتُهْ), (أَنْتْ) atau (أَنْتَهْ), (يَجْتَهِدْنْ) atau (يَجْتَهِدْنَهْ), (أَنْتُنّ) atau (أَنْتُنَّهْ), (هُنّ) atau (هُنَّهْ) dan (أَكْرَمْتُهُنّ) atau (أَكْرَمْتُهُنَّهْ).
Adapun (أَناَ) dlamir mutakallim wahdah, maka
orang yang mengatakan kalau alifnya yang terakhir adalah zaidah karena untuk
menjelaskan pada harakatnya nun ketika diwaqafkan, maka dia akan memperbolehkan
mewaqafkannya dengan menetapkan alif, dan dia juga memperbolehkan membuangnya
dan mewaqafkannya dengan ha’ saktu, seperti (أَنَهْ). Namun, bagi orang yang mengatakan kalau alif tersebut adalah
asli, maka dia hanya mewaqafkan dengan alif saja.
No comments:
Post a Comment