Sesungguhnya sah jika dikosongkan dari makna tafdlil, ketika dia dikosongkan dari (ال) atau diidlafahkan kepada isim nakirah[1] dan tidak bersama (مِنْ) tafdliliyyah,[2] seperti yang telah kalian lihat. Jika bebarengan dengan (ال) atau diidlafahkan kepada isim nakirah atau disambung dengan (مِنْ), maka tidak diperbolehkan mengosongkannya dari makna tafdlil.
Pengosongan
isim tersebut dari makna tafdlil adalah sama’i, sehingga apa yang telah datang
darinya, dijaga dan tidak boleh diqiyaskan menurut pendapat yang ashah.
Ketika
dikosongkan dari makna tafdlil, maka ketika dikosongkan dari (ال) dan idlafah, maka menurut qaul ashah yang paling masyhur
adalah tidak tidak adanya kesesuain dengan lafal sebelumnya, artinya isim itu
harus menetapi keadaan mufrad dan mudzakar, seperti ketika yang diinginkan
dengannya adalah makna tafdlil, seperti yang telah kalian lihat dalam bait di
atas.
Ketika
diidlafahkan kepada isim ma’rifat,[3]
maka diwajibkan untuk mencocoki lafal sebelumnya, sehingga kita ucapkan (هَذَانِ أَعْلَماَ اَهْلِ الْقَرْيَةِ) yang artinya
(هُمَا عاَلِماَهُمْ) ketika di daerah itu tidak ada
orang yang menyekuti keduanya dalam hal keilmuannya. Dan tidak sah jika
diucapkan (هُماَ أَعْلَمُهُمْ), kecuali
ketika yang diinginkan adalah makna mengunggulkan keduanya atas yang lainnya,
demikian itu dengan sekiranya didaerah itu terdapat orang yang menyekutui
keduanya dalam hal keilmuan. Karena jika disitu terdapat orang yang meyekutui
keduanya dalam keilmuan, maka maknanya akan untuk tafdlil, dan jika seperti itu
maka sah jika diucapkan (هُماَ
أَعْلَماَ أَهْلِ الْقَرْيَةِ وَ أَعْلَمُهُمْ) dengan mencocoki lafal sebelumnya
atau tidak mencocoki, karena isim itu diidlafahkan kepada isim ma’rifat yang
diinginkan dengannya adalah makna tafdlil, dan maknanya akan menjadi (هُماَ أَعْلَمُ مِنْ جَمِيْعِ اَهْلِ الْقَرْيَةِ).
Ketika
diperbolehkan untuk mengira-ngirakan (مِنْ), maka maknanya untuk tafdlil, dan ketika tidak diperbolehkan
mengira-ngirakannya, maka maknanya untuk selain tafdlil, artinya berupa isim
tafdlil yang dikosongkan dari makna tafdlil.
Termasuk juga perkataan mereka, (النَّاقِصُ وَ الأشَجُّ
أَعْدَلاَ بَنِي مَرْوَانَ) yang artinya (هُماَ عاَدِلاَهُمْ), dan tidak sah jika diucapkan (أَعْدَلُ بَنِي مَرْوَانَ) akan tetapi diwajibkan untuk mencocoki lafal sebelumnya.[4]
Terkadang isim tafdlil yang dikosongkan dari makna
tafdlil yang dikosongkan dari (ال) dan idlafah dijama’kan, ketika maushufnya berupa jama’,
seperti perkataan syair,
إِذَا غَابَ عَنْكُمْ أَسْوَدُ الْعَيْنِ كُنْتُمْ
* كِرَاماً وَ أَنْتُمْ ماَ أَقَامَ أَلاَئِمُ
Ketika sah menjama’kannya karena dia
dikosongkan dari makna tafdlil, maka diperbolehkan juga untuk memu’annatskannya,
dan dia dikosongkan dari (ال), sehingga
perkataan Ibnu Hani’ adalah shahih bukanlah lahn, seperti yang telah
mereka ucapkan,
كَأَنَّ صُغْرَى وَ كُبْرَى مِنْ فَقَاقِعِهاَ
* حَصْبَاءُ دُرٍّ عَلَى أَرْضٍ مِنَ الذَّهَبِ
Karena (صُغْرَى) dan (كُبْرَى) dalam syair tersebut dengan makna
(صَغِيْرَةٌ) dan (كَبِيْرَةٌ), dan keduanya dikosongkan dari
makna tafdlil, sehingga keduanya tidak diwajibkan untuk berbentuk mufrad dan
mudzakar, akan tetapi diperbolehkan, seperti halnya diperbolehkan adanya
kesesuain, meskipun yang pertama adalah yang lebih fasih dan lebih masyhur.
Orang yang menganggapnya lahn
mengatakan, “Haknya adalah diucapkan (كَأَنَّ أَكْبَرَ وَ أَصْغَرَ) atau (كَأَنَّ الْكُبْرَى وَ الصُّغْرَى),” dengan menganggap kalau isim
tafdlil, ketika dikosongkan dari (ال) dan idlafah, maka diwajibkan untuk memufradkan dan memudzakarkannya.
Dia lupa kalau kewajiban itu adalah ketika yang diinginkan dengan isim tafdlil
itu adalah makna tafdlil.
[1] Adapun jika diidlafahkan kepada isim ma’rifat, maka
terkadang dia didatangkan untuk selain tafdlil, seperti yang nanti akan
dijelaskan.
[3] Adapun jika diidlafahkan kepada isim nakirah, maka tidak
diperbolehkan dikosongkan dari makna tafdlil, seperti penjelasan diatas.
[4] Karena tafdlil yang menuntut adanya penyekutuan dalam
sifat adalah tidak diinginkan disini, karena yang diinginkan orang yang
mengucapkannya adalah dia tidak menyekutui keduanya seseorangpun dari Bani
Marwan dalam hal keadilan. Oleh karenanya, tidak masuk dalam maksud mereka
adalah kalau keduanya adalah yang paling adil dari seluruh Bani Marwan, akan
tetapi yang diinginkan adalah keduanya adalah dua orang adil dari mereka.
Maksud dari (النَّاقِصُ) adalah Yazid bin Walid bin Abdul
Malik bin Marwan, dan (الأشَجُّ) adalah Umar bin Abdul Aziz bin
Marwan.
No comments:
Post a Comment