BEBERAPA PEMIKIRAN KH. MA SAHAL MAHFUDH TENTANG DINAMIKA KEHIDUPAN


Masalah Krisis Ekologi

Bahwa manusia menjadi penguasa atas alam semesta tidak bisa ditawar lagi sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat manusia atas alam semesta menjadi designer yang mengatur dan merekayasa, dengan konstruk berdasarkan keinginan manusian sendiri. Bahkan mau dibawa kemanapun manusia punya kemampuan untuk itu. 

Penguasaan manusia atas alam semakin nyata.  Yang tampak dengan dihasilkannya perkembangan diberbagai bidang, seperti ekonomi dan Iptek. Di sisi lain, logika, analitik dan rasionalisme telah menjadikan manusia lupa akan existensi dirinya sebagai mahluk. Akal dianggap segala-galanya (raja diraja), sementara alam dianggap menjadi bagian lain dari manusia yang siap di ekploitasi terus-menerus tanpa batas.  Sesuai dengan kepentingan manusia.[1]

Akibat ekploitasi alam yang  semena-mena, kondisi alam menjadi tidak seimbang lagi. Dari itu banyak sekali dampak negatif yang ditimbulkan, mulai bencana alam sampai bencana sosial. Contoh kecilnya banyak terjadi polusi dan banjir disana-sini. 

Bagi KH. MA Sahal, krisis ekologi ini ditimbulkan karena salah persepsi  manusia terhadap alam atau apa yang oleh Fritjof Capra disebut “Krisis Persepsi”[2] manusia menganggap alam layaknya “prostitute”. Tubuhnya dieksploitasi dan setelah itu dicampakkan. Perbuatan apapun yang diambil tidak memperhitungkan resikonya terhadap moral masyarakat. Semuanya didasarkan atas hitungan untung  dan  rugi ekonomi.[3]

Persepsi yang salah akan selalu berdampak pada tindakan yang salah pula. Kiranya demikian yang ingin dikatakan KH. Sahal Mahfudh selaras dengan Firtcrof Capra dalam kaitan ini. Semua krisi berawal dari moral karenanya pendidikan yang ditawarkan, dalam kaitan ini khusus adalah pendidikan Islam. Bisa menjadikan manusia yang shaleh dan akram.

Masalah Pendidikan Integralistik

Pendidikan dalam rumusan KH. Sahal Mahfudh adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis terencana dan terarah.[4] Definisi ini akan berbeda sama sekali dengan rumusan pendidikan “Pendidikan Modern” saat ekarang yang memandang pendidikan dari sudut kepentingan instrumental, yakni sekedar menjawab tuntutan pasar bebas (free market). Dengan kata lain “pendidiakan instrumental” adalah sebuah pendidikan yang  menyiapkan tenaga-tenaga pabrik, yang siap bekerja untuk juragan.  Pendidikan yang dimaksud diibaratkan hanya menyiapkan “kapsul”, sudah siap pakai, ada mereknya dan dibungkus rapi. Ia tinggal menerapkan ke dalam sistem yang sudah jelas bentuknya.

Pandangan taktis ekonomis semacam itu, hampir-hampir aspek sosial menjadi terlupakan. Pola pikir yang berorientasi kebahagiaan tidak lagi  menjadi  tuntutan  pokok  dari  pendidikan, dan  lambat tapi pasti telah bergeser menjadi nilai kebendaan semata. Yang paling mendasar kita menemukan perubahan dalam watak. Mental dan karakteristik bangsa yang tengah membangun ini. Secara praktis ia tercermin pada bergesernya orientasi dasar prilaku masyarakat.

Bangsa Indonesia yang semula dikenal masyarakat yang memegang teguh prinsip hidup gotong-royong, secara perlahan-lahan tapi pasti mengganti prinsip itu dengan individualisme. Jika semula kita lebih mempercayai unsur-unsur kerohanian sebagai sesuatu yang harus  dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan, kita beralih pada sesuatu yang  bersifat kebendaan.[5]

Bagi KH. Sahal Pendidikan tidak hanya sekedar pemenuhan kebendaan ataupun pemenuhan tuntutan trend pasar bebas, meskipun pemenuhan kebutuhan pragmatis sebenarnya juga penting.   Pendidikan harus bernuansa pada terciptanya manusia yang sholeh dan akram.[6]

Sholeh berarti manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, terampil dan berguna dalam kehidupan sesama mahluk. Sedangkan akram, merupakan pencapaian kelebihan dalam relevansinya dengan makhlik terhadap khaliq. Lebih dari itu kata akram juga mencakup etika pergaulan dengan masyarakat dalam segala aspek kehidupan.[7]

Pandangan KH  MA  Sahal Mahfud  ini  didasarkan pada hadits shohih yang diriwayatkan Imam Baihaqi dan Imam at-Thabrani,

 “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bersih (fitrah), kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani  atau Majusi.”[8]

Dari hadis ini KH. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa pendidikan, tidak sekedar meningkatkan kualitas hidup fisik seseorang –sebagaimana falsafah pendidikan modern— tetapi, lebih dari itu, pendidikan merupakan media pembentuk watak dan perilaku  manusia.[9] Sholeh dan akrom ini kemudian diharapkan menjadi landasan  setiap  tindakan  manusia.

Memberikan taraf keseimbangan dalam menjalankan hidupnya, dalam konteks vertikal (beribadah pada Allah) ataupun secara horizontal (kepada sesamanya dan lingkungan). Hendaknya selalu dicari jalan tengah untuk mencapai kemaslahatan bersama. Dengan berprinsip Aswaja  sebagai manhajul fiqr (metode berfikir).

Maslahah Ammah

Dalam mengambil keputusan hukum dan fatwa, KH. Sahal Mahfudh tidak hanya menggunakan pendekatan tekstual saja, tetapi beliau juga menekankan maslahah. Bahkan pertimbangan maslahah inilah yang beliau jadikan pertimbangan terdepan dalam proses pengambilan keputusan. Gagasan ini juga, dalam muktamar NU di Cipasung dikukuhkan bahwa maslahah dijadikan pendekatan dalam pengambilan keputusan dalam masail diniyyah.

Bagi KH MA Sahal Mahfudh, maslahah yang dimaksud adalah maslahat ammah yang sebenarnya belum mempunyai konsep yang baku dan konkret. Maka dari sinilah tidak jarang orang yang mengatas-namakan perbuatannya atas dasar maslahat ammah, tetapi justru bertentangan dengan maslahat ammah itu sendiri. 

Oleh karena itu KH. Sahal Mahfudh menyarankan agar para ulama mengembangkan wawasan keagamaan Islam dan wawasan sosial di kalangan masyarakat muslim agar mampu menentukan ukuran-ukuran maslahat yang  baku, baik yang berhubungan dengan masalah diniyyah maupun masalah dunyawiyah yang tidak menyimpang dari kaidah umum yang lima (al-kulliyah  al-khams) sebagaimana yang diungkapkan oleh Syatibi.[10]

Masalah zakat dan Pengentasan Kemiskinan

Zakat menurut KH. Sahal Mahfudh merupakan salah satu masalah yang amat mendasar dalam agama Islam. Bahkan zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Sehingga orang yang mengingkari status hukum wajibnya dapat di hukumi kafir. 

Lain halnya apabila meninggalkannya semata-mata hanya merasa enggan dan rugi -menurut KH MA Sahal  Mahfudh–  sementara  dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih tertanam iktikad atau kepercayaan bahwa zakat  adalah salah satu kewajiban bagi semua umat Islam– meskipun tidak membuatnya keluar dari Islam, tetapi sikap ini sangat tercela dan tidak dibenarkan, dan kelak pelakunya akan disiksa dengan azab yang pedih, sebagaimana  yang  disebutkan  dalam Al-Qur’an, surat At-Taubah; 53, demikian KH. Sahal Mahfudh memberikan komentarnya tentang wajibnya zakat.[11]

Dalam prakteknya KH. Sahal Mahfudh menganggap zakat dalam pelaksanaannya saat ini belum maksimal. Dalam hal ini harus dikembangkan, ditata kembali dan perlu mendapatkan bimbingan, baik dari segi syari’ah dan perkembangan zaman. Hal tersebut dimaksudkan agar zakat tidak hanya berdimensi ta’abbudi saja, tetapi juga mampu berdaya guna dalam rangka mengentaskan orang-orang yang tidak mampu, lemah ekonomi.

Selanjutnya ia berpendapat:

“……Penataan itu menyangkut aspek-aspek pendataan, pengumpulan, penyimpanan, pembangian dan aspek yang menyangkut kwalitas manusianya. Lebih dari itu aspek yang berkaitan dengan syari’ah tak bisa kita lupakan. Ini berarti kita memerlukan organisasi yang kuat dan rapi.[12]

Karena itulah KH. Sahal Mahfudh menawarkan pemikiran tentang penanganan zakat, yang meliputi hal-hal: aspek syari’ah, aspek manjemen. Zakat dalam aspek syari’ah,  menurutnya belum banyak memberikan pendapat baru terutama mengenai benda yang wajib dizakati, nisab dan haul dan mustahiq. 

Untuk menjawab berbagai masalah yang bekenaan dengan zakat KH. Sahal Mahfudh mencoba mengakomodasikan dan mengkomparasikan berbagai pendapat masalah zakat dalam madzhab empat yang dianggap masih relevan. Jadi KH. Sahal Mahfudhmasih tetap memegang teguh pendapat para ulama dengan sedikit perubahan yang disesuaikan dengan kondisi sosial negara Indonesia. Ia berkata:

“…….. ketentuan-ketentuan  barang  yang  wajib  dizakati  tersebut, menurut  hemat  saya  relevan  dan  masih  bisa  diterapkan  dalam situasi dan kondisi negara kita.”

KH. Sahal Mahfudh melihat bahwa, meskipun telah telah terjadi kesepakatan dikalangan ulama tentang status hukumnya, namun dalam menentukan barang apa saja yang wajib dikenakan zakat, terjadi perbedaan yang semuanya karena perbedaan dalam memandang nash-nash yang ada. 

Sedangkan pengumpulan, penyimpanan zakat menurut KH MA Sahal Mahfudh –mengutip pendapat Imam Syafi’i- harus dalam bentuk barang yang dizakati. Dalam arti untuk zakat hasil bumi maka yang harus diberikan muzaki dan diterima/dikumpulkan oleh pengumpul zakat tidak bisa diganti dengan uang, misalnya, mesti senilai barang yang dizakati. 

Namun dalam barang dagangan zakat harus berupa uang. Pedagang konveksi misalnya tidak boleh mengeluarkan zakat dalam bentuk barang-barang konveksi. Dalam hal pembagian (penyerahan) zakat kepada mustahiq sama saja, haruslah dalam barang yang dizakati. Zakat hasil bumi harus dibagi berupa hasil bumi, zakat  hewan  harus dalam bentuk hewan ternak dan begitu seterusnya. 

Ditinjau dari kepraktisannya, hal ini tidak praktis. Sebab  sekarang ini barang sebesar apapun bisa dilipat dan dimasukkan dalam  kantong, sebab bisa diwujudkan menjadi lembaran-lembaran uang. Bahkan sekarang uang pun bisa diringkas lagi menjadi cheque.

Hukum zakat dalam ketentuan fiqh masyarakat yang belaku di Indonesia ini, menurut KH MA Sahal Mahfudh, secara tektual tampak belum bisa mengimbangi pekembangan ekonomi disektor pruduksi dan jasa yang memperluas bidang dan jenis pekerjaan. Sekarang ini secara kuantitatis perputaraan lebih besar berada di sektor monoagraria, seperti perniagaan dan jasa  profesi.  Berbagai bentuk perniagaan dan perjasaan muncul demikian pesatnya sesuai dengan makin beragamnya kebutuhan dan  kepentingan masyarakat. Semua itu menuntut  adanya rumusan fiqh yang jelas yang pada gilirannya zakat memungkinkan  tumbuhnya mobilisasi dana ekonomi dikalangan kaum muslim dan  sekaligus merupakan sarana pemerataan keadilan sosial. hal tersebut dilakukan agar zakat secara mandiri mampu menjadi wahana rehabilitasi terhadap kerawanan ekonomi masyarakat serta  berangsur-angsur  mengurangi kemiskinan.[13]

Kemudian dalam hal aspek menejerial, KH. Sahal Mahfudh banyak memberikan pendapat. Hal yang disingung antara lain: pendataan, pengumpulan, penyimpanan, pembagian dan kualitas personal pengelola. Secara umum bahwa muzakki, mustahiq zakatnya, hendaknya didata dengan cermat dan teliti sehingga zakat benar-benar tepat dan efektif.

Pengelola zakat secara profesional memerlukan tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur dan amanah. Lebih-lebih bila pengelola zakat tidak jujur dan amanah. Kemungkinan yang akan terjadi adalah zakat tidak akan sampai kepada mustahiq dan mungkin pula hanya dipakai untuk kepentingan pribadi. 

Dilihat dari fungsinya, zakat menurut KH MA Sahal Mahfudh, disamping berfungsi utama sebagai sarana untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah (li al taqarrub) dengan kata lain kesalehan individu, juga memiliki fungsi sosial yang amat besar, yaitu sebagai salah satu  cara  mempersempit  jurang  perbedaan  pendapatan  dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi kesenjangan atau  kecemburuan sosial, yang pada ahirnya akan menganggu keharmonisan dalam bermasyarakat.[14]

Masalah Hubungan Agama dan Negara

Bagi KH MA Sahal Mahfudh, politik adalah realitas historis atau sunnatullah yang tak bisa terelakkan. Dia mengatakan:

Manusia dalam proses hidupnya memang tidak bisa lepas dari pengaruh watak politis. Karena memang telah menjadi sunnatullah, bahwa setiap kelompok manusia tentu ada yang dikuasai dan yang  menguasai, ada yang diperintah dan ada yang memerintah dan ada yang mempengaruhi dan ada yang dipengaruhi.”[15]

Dari pendapat tersebut, terlihat bahwa KH. Sahal Mahfudh melihat bahwa politik (negara) dikaitkan dengan aspek ketuhanan, yakni dengan sunnatullah (agama). 

Dalam pandangan KH. Sahal  Mahfudh bahwa  negara  dan  agama tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lain. Kedua hal itu adalah entitas yang tak dapat terpisahkan. Namun bukan berarti bahwa negara beserta semua yang berkaitan dengan negara harus berlabelkan simbol-simbol agama. Dan juga bukan negara yang sekuler, di mana agama benar-benar dipisahkan dari urusan negara.

Menurut KH MA Sahal Mahfudh, hubungan antara agama dan negara  harus mengacu pada pola hubungan mutualisme. Keduanya saling membutuhkan  dalam  rangka  mencapai  kebahagiaan  di  dunia  dan  akhirat (sa’adat al-daraini). 

Pemimpin menurut KH. Sahal Mahfudh ada dua macam, yaitu pemimpin struktural dan pemimpin kultural. Pemimpin struktural adalah mereka yang menjalankan pemerintahan menurut hirarki formal struktural, atau sering disebut dengan istilah umara’. Sedangkan pemimpin kultural adalah mereka yang sering disebut ulama’.[16] Kedua  pemimpin ini harus berjalan beriringan agar benar-benar dapat  mewujudkan negara yang makmur dan sejahtera. (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur)


[1] Sumanto  Al  Qurtuby,  KH.  MA  Sahal  Mahfudh  Era  Baru  Fiqih  Indonesia,  (Jogjakarta; Cermin 1999) hlm 94
[2] Fritjof  Capra,  Titik  Balik  Peradapan,  (Yogyakarta,  Yayasan  Bentang  Budaya,  1997), hlm xx
[3] Sahal Mahfudh, Pendekatan Dakwah untuk Kaum dhuafa, Mimbar Ulama, hlm43
[4] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta, pustaka Pelajar, 1994) hlm 257
[5] Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna ( Jakarta, Pustaka Ciganjur, 1999) hlm.42
[6] Sahal Mahfudh, Nuansa, Op.cit., hlm.295
[7] Ibid, hlm. 286
[8] Sahal  Mahfudh,  Pendidikan  Islam  Dalam  Era  Industrialisasi,  Makalah  disampaikan pada Kuliah Umum INISNu. Jepara, 21 Oktober 1995, hlm 1
[9] Sumanto Al Qurtubi, Op., Cit, hlm. 103.
[10] Ibid., hlm. 243.
[11] Sahal  Mahfudh,  Dialog  dengan  K.H.  MA  Sahal  Mahfudz;  Telaah  Fikih  Sosial, Semarang, Yayasan Karyawan Suara Merdeka, 1997, hlm. 39
[12] Sahal Mahfudh, “Pengelolaan Zakat secara Profesional”, makalah yang disampaikan pada Seminar dan Loka karya Zakat oleh P3M, di PKBI Jakarta, tanggal 2 Desember 1986.
[13] Sahal Mahfudh. Fungsi Zakat dan .., op.cit.
[14] KH. Sahal Mahfudh, Dialog dengan K.H. MA Sahal Mahfudz; .., op.cit., hlm. 40
[15] Sahal Mahfudh, “Orpolisasi NU dan NU-isasi Orpol, Makalah, t.th. t.d.hlm 2
[16] Sumanto, Op. Cit., hlm. 88-89.

No comments:

Post a Comment