Konsep
Dasar
Globalisasi
dan komputerisasi yang serba canggih dan modern ini, cepat atau lambat akan
mempengaruhi sikap dan pola perilaku masyarakat, termasuk bagaimana mereka
menyikapi segala persoalan kehidupan baik yang bersentuhan dengan ideologi,
hukum, ekonomi dan bahkan terhadap agama. Dari sinilah peradaban mengalami
perubahan dan perkembangan dari masa ke masa. Saat itulah,
hukum Islam (fiqih) akan dihadapkan pada dua pilihan.
Pertama,
fiqih akan diberlakukan secara absolut, kaku dan mutlak tanpa kenal kompromi
terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul, sehingga akhirnya fiqih akan
mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Hal itu dikarenakan fiqih belum dirasakan
sebagai pemberi solusi atas persoalan yang sedang terjadi, dengan kata lain,
fiqih kemudian menjadi sebuah aturan hukum yang “melangit” dan tidak membumi.
Kedua,
fiqih diberlakukan secara dinamis sekaligus mampu merespon permasalahan yang
terjadi dalam masyarakat sesuai dengan dinamika yang berlangsung. Pendapat
kedua inilah yang diikuti oleh KH MA Sahal Mahfudh.
Menurut
KH MA Sahal Mahfudh, bagaimanapun juga, sampai saat ini fiqih adalah
pilihan satu-satunya, dari
pada harus mengungkung masyarakat dalam lingkaran
klasisfikasi halal dan haram, dosa dan pahala dan akhirnya adalah pilihan surga
atau neraka. Sementara persoalan hidup yang menegasikannya semakin mengasingkan
masyarakat dari ajaran-ajaran yang terus-menerus kita ulang untuk kemudian terus-menerus dilibas persoalan yang semakin
berkembang dari waktu ke waktu.[1]
Untuk
melaksanakan tanggung jawab tersebut menururut KH. Sahal Mahfudh dibutuhkan
sosok ulama sebagaimana disyaratkan Imam Ghazali, lebih lanjut ia mengatakan;
Dalam
kerangka straregis ini, dibutuhkan peran ulama yang sebagaimana dipersyaratkan
Imam Ghazali, harus juga memenuhi persyaratan faqih fi masahalih al-khalq,
memahami dengan baik segi-segi kemaslahatan masyarakat. Persyaratan ini
disandingkan dengan pemahaman yang baik dalam ilmu-ilmu agama, akan meletakkan
seorang ulama dalam kedudukan pemberi inspirasi dan motivasi, pemberi pengaruh
bagi terciptanya kehidupan yang seimbang dari sisi material maupun spiritual
melalui motivasi keagamaan dan sosial yang bersinggungan langsung dengan
problem nyata masyarakatnya.[2]
Secara
singkat, pemikiran KH. Sahal Mahfudh jika dipahami dari tulisan, karangan,
fatwa dan pendapat-pendapatnya, dapat dikategorikan ke dalam pemikiran social histories approach,
yakni seorang yang merespon
persoalan-persoalan waqi’iyyah yang aktual dan berupaya menjawab persoalan-persoalan
dalam masyarakat dengan tanpa meninggalkan keotentikan teks-teks
klasik (kitab kuning) dan nilai historisnya,
tetapi juga mempetimbangkan dinamika yang terjadi dalam masyarakat yang sangat dinamis.[3]
Pemikiran
KH. Sahal Mahfudh juga digolongkan oleh Mujamil Qomar pada tipe pemikiran yang
eklektik, responsif, integralisrik dan divergen.[4] KH. Sahal Mahfudh dalam
fatwanya sering mengedepankan aspek maslahah. Lagi jika permasalahan
tersebut mengalami jalan buntu
di dalam menggunakan konsep fiqh
yang baku dan kaku.
Dengan
demikian KH. Sahal terkenal sebagai seorang kiai yang dinamis, modern,
sekaligus seorang yang tradisional, klasik dan karismatik. Maka wajar bila KH.
Sahal Mahfudh menjadi bagian dari “proyek” Neo-modernisme Islam Indonesia.[5] Maksudnya adalah,
pemikiran KH. Sahal Mahfudh berusaha memadukan antara otentitas teks dengan
realitas sosial yang dinamik dan antara wahyu yang transenden dengan konteks
yang profan, pemikirannya pun disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat pada
masa sekarang
Dan
jika dipahami, semua aktifitas sosial dan intelektualitas KH. Sahal Mahfudz
tidak bisa lepas dari koridor fiqih. Artinya, apa yang dilakukanya mempunyai
landasan normatif yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Perjumpaan
dialektik antara agama dan kenyataan memang suatu hal yang tidak dapat
dihindari.
Maka, penghindaran perjumpaan
dengan realitas sosial akan membuat agama stagnan dan kehilangan relevansi
kemanusiaannya. Karenanya KH. Sahal Mahfudh memakai “jalan lain” dan harus
merombak “doktrin” dan “tradisi” yang selama ini melekat dalam tubuh NU. Atau
dalam bahasa fiqihnya diperlukan tajdid (pembaharuan). Telah menjadi
diktum bahwa tajdid mempunyai wilayah yang sangat terbatas. Artinya,
kualitas tajdid mesti dinilai dari konteks historisitas dan
lokalitasnya.
Bagi
KH Sahal, fiqih itu sudah semestinya bersifat sosial, karena ia merupakan hasil
konstruksi fuqaha atas realitas sosial yang bertumpu pada sumer-sumber hukum.
Oleh karena fiqih itu produk ijtihad, dengan sendirinya berdimensi sosial.[6]
Dalam
proses pengambilan hukum oleh beliau (KH Sahal) mendasarkan tipologi pemikiran
hukumnya pada dua pemikiran yaitu:
a. Metode tekstualis (madzab qauli).
b. Metode kontekstualis/metodologis (madzab
Manhaji).
Dari
kedua tipologi pemikiran tersebut dalam operasional praksisnya, KH. Sahal
Mahfudh selalu mempertimbangkan medan dakwahnya. Artinya ketika masyarakat yang
diberi dakwah adalah masyarakat kebanyakan (masyarakat awam). Beliau
menggunakan tipologi pemikiran yang pertama. Karena dianggap lebih operasional
dan bisa memahamkan dari audien yang diajak bicara. Contoh, fatwa yang
diberikan KH. Sahal Mahfudh yang ditulis diharian umum suara merdeka.
Sementara
untuk tipologi pemikiran yang kedua beliau gunakan dalam konteks masyarakat
ilmiah seperti (forum batsul masail). Sebelum mempraksiskannya dalam dunia riel.
Sebenarnya
pemikiran KH. Sahal Mahfudh sangat dipengaruhi oleh dua kubu pemikiran yaitu
antara Syafi’i dan Syathibi (Yang
berhaluan Maliki).
a. Tradisi pemikiran Syafi’i bayak
diwarisi oleh warga NU. Yang kemudian sampai sekarang masih menjadi aikon bagi
pemikiran hukum ulama’-ulama’ Nu itu sendiri.
Tidak terkecuali KH. Sahal Mahfudh.
Pemikiran
ini menempatkan kemutlakan wahyu (Al-Qur’an), sehingga rasionalitas sosial
harus tunduk padanya secara
menyeluruh. Al Qur’an dalam rumusan imam
Syafi’i, telah meliputi segala sesuatu.
Sedangkan sunnah dalam hal
ini berposisi sebagai
“pelaksana teks Al Qur’an oleh nabi sebagaimana yang
dikehendaki Allah”. Tidak ada jalan lain untuk mengetahui salah dan benar tanpa
teks al Qur’an dan sunnah. Tidak ada hak untuk memutuskan sesuatu itu halal
atau haram tanpa petunjuk nyata dari Al Qur’an dan sunnah. Rasionalitas manusia
(Ra’yu) diterima dan mendapatkan tempat di ushul asal mengalir
dari sumber “keagamaan”, yakni
al Qur’an, sunnah
atau Ijma’.
Ijtihad
dilakukan dengan persyaratan “bagi orang yang mengetahui dalil-dalilnya dari al
Qur’an, sunnah dan ijma’ yang dioperasionalkan dengan qiyas. Qiyas sendiri artinya
menganalogikan dengan apa yang sudah ada dalam al Qur’an, sunnah dan ijma’.
Dalam logika ushul Syafi’i semua itu
tetap berjalan karena al Qur’an
itu sudah lengkap. Metodologi pemikiran seperti ini oleh Ulama yang konsen dengan
hermeneutika dirasakan sebagai kendala ketika berhadapan dengan realitas sosial
yang ada. Untuk mewujudkan idealitas fiqih sebagai perangkat hermeneutika itulah, NU mau tidak mau harus
“merangkul” metodologi di luar syafi’i.
b. Pemikiran Syathibi
Munculnya
pemikiran Syathibi dalam percaturan wacana fiqih Indonesia kontemporer, dapat
dikatakan sebagai fenomena yang menarik jika dilihat dari paralelisme watak
sosial politik yang melatar-belakanginya, menyangkut problem akut hubungan
agama-negara. Dengan mengambil kembali
konsep-konsep kunci seluruh hukum dalam
Islam, Mashalih al ammah (memperhatikan kepentingan umum), syathibi berusaha meluaskan teori kaku dari
ushul fiqih dengan merumuskan Maqasid
al-syari’ah (tujuan syari’at). Dalam rumusannya, maqasid al-syari’ah
dirinci dalam tiga varian yang disebut al-kulliyat al-syariah yaitu: dharuriyat,
hajjiyat, tahsiniyat.
Di
dalam dharuriyat ditunjukkan tujuan syari’ah adalah menjaga lima hal (dharuriyah
al-khams) yakni; al-din (agama), al-nafs (jiwa), al-nasl (keturunan),
al-mal (harta benda) dan al-‘aql (akal pikiran).[7] Medan perjuangan yang maha
luas terletak pada hajjiyat dan tahsiniyat dalam rangka merealisasikan dan
mengelaborasikan dharuriyat al khams itu. Rumusan Syatibi inilah yang menolong
verifikasi mana yang ushul dan mana yang
furu’ yang diagendakan fiqih baru di kalangan NU kontemporer.
Dari
kedua pemikiran yang mempengaruhi dari dua tipologi pemikiran yang dihasilkan
terlihat seakan KH. Sahal Mahfudh plin-plan dalam menjalankan pemikiranya.
Mengingat bahwa beliau termasuk dalam proyek pembaharuan fiqih yang setidaknya
memenuhi beberapa hal :
1. Selalu diupayakan interpretasi
ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru.
2. Makna bermadzab berubah dari
bermadzab secara tekstulis (madzab qauli) ke bermadzab secara metodologis
(madzab manhaji).
3. Verifikasi mendasar mana ajaran
pokok(Ushul) dan mana yang cabang (furu’).
4. Fiqih dihadirkan sebagai etika
sosial, bukan sebagai hukum positif negara.
5. Pengenalan metodologi pemikiran
filosofis terutama dalam masalah budaya dan sosial.
Hal
seperti itu juga pernah dilakukan oleh Imam Syaf’i yang terkenal dengan qaul
qodim (pendapat lama) dan qaul jaded-nya (pendapat baru). Karena
sekali lagi bahwa segala sesuatunya dilaksanakan atas dasar kemaslahatan
bersama (Maslahah Ammah). Dengan
berpedoman, jangan tinggalkan semua yang lama ambil yang baru yang lebih baik.
Upaya ini dilakukan KH. Sahal Mahfudh dengan
berprinsip Aswaja sebagai manhajul Fikr (Metodologi berpikir).
Ruang
Lingkup
Munculnya
negara-bangsa (nation-state) merupakan kebutuhan yang tidak bisa
dihindarkan dalam pergulatan komunitas masyarakat dunia. Karenanya banyak
memunculkan realitas baru seperti Keluarga Berencana, Bank, dan sebagainya,
tapi juga hal ini sekaligus menepis teori-teori negara Islam secara utuh. Dan
mau tidak mau harus ada penyelarasan dengan ideologi yang dianut oleh negara
(Indonesia), seperti halnya munculnya ideologi pancasila.
Konsep
hubungan agama dan negara kadang menempatkan negara sebagai kuasa penuh untuk
menundukkan segala sesuatunya tanpa terkecuali. Sementara secara “teoritik”,
negaralah yang seharusnya berada dibawah kontrol agama. Sehingga tidak jarang
hubungan antara keduanya seperti terpolakan dalam Agama Vis a Vis Negara.
Dan akan melahirkan sejarah yang sangat
defensif, seperti peristiwa DI/TII,
munculnya teror bom disana-sini, dan lain sebagainya.
Hal
demikian sangat bertentangan dengan keinginan manusia yaitu mencapai
kemaslahatan. Kemaslahatan yang dimaksud adalah kesejahteraan manusia lahir dan
batin dunia akhirat. Bahwa “keselamatan” diri sebagai individu, dan
keselamatan umat. Tidak bisa lepas dari dua bidang garapan yaitu, dunia
dan akherat. Bukan kebahagian dunia semata ataupun akherat semata yang
dicari. Melainkan keduanya
saling mempengaruhi.[8] Baik kebahgian
dunia maupun akheratnya (sa’dad
ad daraini). Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qashas, ayat 77,
“Dan
carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan/kebahagiaan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, danjanganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi.” (al-Qashas. 77)
Dari
ayat di atas tampak bahwa tujuan syariat Islam adalah terciptanya kebahagiaan
manusia di dunia dan akherat (sa’dad al darain). Untuk memperoleh
kebahagiaan itu manusia harus
melakukan dua hal yaitu berbuat
baik (Ihsan) dan larangan berbuat destruktif seperti merusak alam.
Beberapa
komponen fiqih, merupakan teknis operasional dari tujuan prinsip syari’at Islam
(maqasid al-syari’ah). Memelihara dalam arti yang luas yaitu: Memelihara keutuhan
keimanan (hifdz al-din), kelangsungan hidup (hifdz al-nafs), kelestarian
hidup (hifdz al-nazl), harta benda (hifdz al-mal), kecerdasan
akal (hifdz al-aql), martabat.[9]
[1] Sahal Mahfusdh,
Re-orientasi Pemahaman Fiqih,
Menyikapi Pergeseran Perilaku Masyarakat. Makalah yang disampaikan
dalam Diskusi Dosen Institut Hasyim Asy’ari, Jombang, tanggal 27 Desember 1994,
hlm. 3-5.
[2] Ibid., hlm 5
[3] Sumantho Alqurtuby, Op. Cit.,
hlm. 83.
[4] Untuk lebih
jelasnya, paparan tentang
tipologi pemikiran cendekiawan
NU, baca selengkapnya di Mujamil
Qomar, NU Liberal, Op. Cit. hlm. 248-262.
[5] Ibid, hlm. x
[6] Ibid, hlm162
[7] Abu Ishaq al-syatibi,
al-Muwaqat fi ushul al-fiqh, I&II (Beurut; dar al Fikr, 1969), hlm 15 dan 2
[8] Sahal Mahfudh, Nuansa, Op.
Cit., hlm 5
[9] Alie yafie, Menggagas Fiqih
Sosial, Bandung, Mizan, 1994. hlm111
No comments:
Post a Comment