Dalam wayang Jawa,
punakawan terdiri dari : Semar Badranaya, Petruk, Bagong, dan Nala Gareng.
Semar Badranaya
Dalam cerita, dia adalah pengasuh utama para
Pandawa. Bila didampingi olehnya, maka yang didampingi tidak akan menghadapi
malapetaka.
Wujudnya jelek : wajah tua namun berkuncung
seperti anak kecil, tidak jelas laki perempuannya, mulut tersenyum tetapi matanya
mbrebes mili (menitikkan airmata) yang perlambang keseimbangan.
Semar berasal dari kata bahasa Arab yakni Ismar
(pernah saya ulas sedikit lewat cerpen saya yang berjudul ISMAR ) yang dalam
lidah Jawa menjadi Semar. Sedang Ismar sendiri berarti paku, dimana fungsinya
adalah sebagai pengokoh dan melambangkan pedoman hidup manusia.
Apakah pedoman hidup manusia itu? Tiada lain
tiada bukan adalah agama. Oleh karenanya, Semar bukanlah tokoh yang harus
dipuja bahkan didewakan sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok kepercayaan,
namun penciptaan lakon ini didasarkan pada pelambangan agama sebagai pedoman
hidup manusia.
Sedang kata Badranaya berasal dari kata Badra
yang berarti kebahagiaan dan Naya berarti kebijaksanaan. Maksudnya adalah
memimpin dengan bijaksana serta menggiring masyarakat untuk beribadah kepada
Allah SWT. Negara akan stabil bila Semar bersemayam di Pertapaan Kandang Penyu,
dimana maksudnya adalah penyu (wunan) atau permohonan kepada Allah SWT. Dimana
makna dakwahnya sangat jelas dan dijabarkan oleh penciptanya yakni para Wali.
Petruk
Kata Petruk sendiri berasal dari kata Fatruk
yang dicukil dari kalimat Tasawuf Fat-ruk kulla maa siwallahi yang
artinya tinggalkan semua apapun selain Allah. Wejangan atau petuah semacam
inilah yang menjadi watak para wali dan mubaligh pada masa itu.
Petruk juga dijuluki sebagai kantong bolong
(kantung berlubang) yang bermakna setiap manusia harus berzakat dan menyerahkan
jiwa raganya kepada Allah semata secara ikhlas, tanpa pamrih seperti
berlubangnya kantung tanpa penghalang.
Bagong
Bagong sendiri berasal dari kata Baghaa
yang berarti memberontak melawan kelaliman dan kezaliman, yang dalam versi lain
berakar dari kata Baqa’ yang bermakna kelanggengan atau keabadian,
dimana setiap manusia tempatnya adalah di akhirat dan dunia adalah tempat
mampir ngombe (tempat menumpang minum belaka).
Gareng
Gareng atau Nala Gareng berasal dari kata Naala
Qariin yang bermakna memperoleh banyak teman, dimana maksudnya adalah
sesuai dengan dakwah para wali dalam memperoleh teman (umat) sebanyak-banyaknya
untuk kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Dari sekian sudut pandang tentang para
punakawan ini, saya cenderung lebih memilih sisi pandang para Wali. Ini
dikarenakan punakawan dipercaya adalah buatan para Wali Songo khususnya Sunan
Kalijaga dalam menyebarkan Islam didalam masyarakat Jawa pada masa itu, karena
dimasa-masa tersebut, dalam mendakwahkan untuk masyarakat Jawa yang masih
kental animisme-dinamismenya, harus menggunakan trik budaya dalam menyampaikan
Islam.
Memang ada yang memandang Semar –misalnya-
adalah Dewa asli orang Jawa dengan nama Hyang Bambang Ismaya. Namun bagi saya
secara pribadi, makna Islami sangat kuat –yang barangkali kurang disetujui
lainnya- dalam setiap watak punakawan, dan saya tidak melihat harus ada sesaji
tidaknya, karena bukan kapasitas saya membicarakan hal tersebut. Mungkin ada
yang anti wayang karena dianggap berbau mistik, tapi itu bebas merdeka terserah
mereka. Tentu saja terbungkus samar dalam konteks Jawa.
Barangkali peran punakawan harus dikembangkan
lagi dalam wujud dakwah yang sesuai dengan masa sekarang, karena bagaimanapun
itulah sumbangan budaya yang besar bagi perkembangan Islam khususnya di tanah
Jawa.
Sumber Don't Cry
No comments:
Post a Comment