Perkawinan
merupakan salah satu syari’at yang dianjurkan oleh Rasulullah. Allah
mensyari’atkan perkawinan adalah untuk mengatur hubungan laki-laki dan
perempuan dalam suatu perkumpulan kekeluargaan yang penuh kasih sayang dan
berkah, yang dalam al-Qur’an disebut dengan mawaddah wa rahmah.
Sehingga
perkawinan mempunyai pengaruh yang sangat baik bagi kehidupan pelakunya,
masyarakat, lingkungan dan seluruh umat manusia. Karena itu perkawinan
merupakan sesuatu yang primer bagi manusia. Dengan demikian, tidak ada manusia
yang normal tidak akan dapat menhindarkan diri dari perkawinan. Jadi,
perkawinan sesungguhnya fungsinya sebagai berikut:
Sebagai
jalan terbaik bagi manusia untuk menyalurkan naluri seksualnya secara sah dan
benar serta terhormat. Naluri s3ks adalah naluri yang terkuat dalam diri
manusia dewasa yang karena kuatnya sulit dibendung dan selalu menuntut untuk
disalurkan. Apabila tidak ada jalan keluar untuk menyalurkan naluri s3ksual,
maka manusia akan mengalami kegoncangan dan kekacauan serta akan menerobos
jalan yang jahat atau keji dengan berz1na.
Perkawinan
merupakan jalan alami dan secara biologis yang paling baik dan paling benar
untuk menyalurkan dan memuaskan hasrat s3ksual. Dengan perkawinan manusia akan
terhindaaar dari perbuatan keji dan hina. Dengan perkawinan pula badan menjadi
segar dan jiwa menjadi tenang serta matapun akan menjadi terhindar dari
pandangan dan hal-hal yang diharamkan.[1]
Islam
menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan ibnatang adalah dalam hal penyaluran
naluri dan hasrat seksualnya. Manusia menyalurkan hasrat s3ksualnya dengan
perkawinan, sedangkan binatang tidak dengan perkawinan. Hal ini disyaratkan
oleh akal dalam Firman-Nya:
و
من آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها و جعل بينكم مودة و رحمة إن
في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir” (QS. ar-Rum: 21)[2]
Perkawinan
sebagai cara paling baik dan suci untuk mewujudkan dan mendapatkan anak secara
sah, memperoleh anak keturunan menjadi mulia. Perkawinan juga berfungsi untuk
melestarikan kehidupan (reproduksi) manusia, melaksanakan misi memakmurkan
bumi, serta memelihara nasab yang merupakan kebanggaan manusia yang oleh Islam
sangat diperhatikan. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat al-Kahfi
ayat 46 sebagai berikut:
المال
و البنون زينة الحياة الدنيا و الباقيات الصالحات خير عند ربك ثوابا و خير أملا
“Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal
lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan” (QS. al-Kahfi: 46)[3]
Satu-satunya
jalan untuk reproduksi dan mewujudkan hak anak, hak kedua suami istri dan juga
hak masyarakat adalah melalui perkawinan. Dengan kata lain perkawinan merupakan
jalan untuk memperbanyak keturunan yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. dalam
sabdanya:
عن
أنس قال كان النبي صلى الله عليه و سلم قال تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم
الأنبياء يوم القيامة
“Kawinlah
dengan perempuan pencipta lagi yang bisa mempunyai banyak anak, maka akan dapat
membanggakan jumlahmu yang banyak di hadapan para Nabi pada hari kiamat”
(HR. an-Nasa’i)[4]
Di
samping memang merupakan hal yang dianjurkan bagi mereka yang aman dari akibat
dorongan seksual, upaya untuk memperoleh anak juga sarana pendekatan diri
(taqarrub) kepada Allah SWT. sedemikian pentingnya sehingga membuat orang-orang
shaleh merasa enggan dengan menghadap Allah SWT. dalam keadaan masih membujang.
Taqarrub
dalam hubungannya dengan upaya memperoleh anak ini meliputi empat aspek:
a. Mencari keridlaan Allah dengan
memperoleh anak demi mempertahankan kelangsungan jenis manusia.
b. Mencari keridlaan Rasulullah dengan
memperoleh banyak umat beliau yang kelak pada hari kiamat akan menjadi
kebanggaan di antara umat-umat lain.
c. Mengharap berkah dari do’a
anak-anaknya yang shalih sepenuhnya.
d. Mengharap syafa’at dari anaknya
apabila meninggal sebelumnya yakni belum mencapai usia dewasa.[5]
Perkawinan
sebagai sarana untuk menyalurkan naluri kebapakan dan keibuan. Naluri ini akan
tumbuh dan berkembang secara bertahap dan mulai dari masa kanak-kanak sampai
dewasa. Naluri kebapakan dan keibuan akan saling melengkapi dalam suasana hidup
berkeluarga dan akan menumbuhkan perasaan ramah, cinta dan sayang merupakan
bangunan pokok untuk membangun masyarakat yang kuat dan kokoh.
Manusia
tidak akan merasa sempurna apabila naluri kebapakan dan keibuannya tidak
disalurkan dengan sebaik-baiknya. Perkawinan sebagai sarana untuk menumbuhkan
dan memupuk rasa tanggung jawab akan beristri dan beranak, memelihara dan
mendidik anak. Dengan adaanya rasa tanggung jawab ini, dalam diri suami akan
tumbuh motivasi yang kuat untuk mengembangkan bakat dan bekerja guna untuk
memperoleh harta sebagai salah satu sarana kebahagiaan keluarga. Sedangkan bagi
diri istri akan menumbuhkan kesungguhan untuk mendidik anak menjadi anak yang
shaleh yang pada gilirannya akan memperkokoh masyarakat.
Perkawinan
sebagai pengikat hubungan suami istri yang di dalamnya ada pembagian tugas
antara suami, istri dan anak-anak. Istri bertugas untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga, memelihara, mendidik anak-anak, menyiapkan dan menciptakan
suasana yang kondusif, dan damai demi kesejahteraan keluarga. Sementara suami
bertugas untuk bekerja, berusaha mendapatkan harta guna membiayai keperluan
rumah tangga, bertanggung jawab atas rasa aman dan nyaman bagi semua anggota
keluarga. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 32
sebagai berikut:
الرجال
قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و بما أنفقوا من أموالهم
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ….” (QS. al-Nisa’: 34)[6]
Perkawinan
sebagai pengikat tali kekeluargaan. Perkawinan mempertemukan dua keluarga,
sehingga akan memperteguh kelangsungan rasa cinta antar keluarga, memperkuat
hubungan kemasyarakatan, memperlancar hubungan hubungan silaturrahim yang akan
membuahkan sikap saling menyayangi dan menghormati antar keluarga. Perkawinan
juga akan memperkuat keberadaan masyarakat, karena secara sosiologi manusia
yang sudah kawin diperhitungkan kedudukannya dalam masyarakat dengan diberinya
hak-hak kemasyarakatan seperti hak pilih dan lainnya.[7]
[1]
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah
6, (Bandung: al-Ma’aarif, 1980), hlm. 18.
[2]
Departemen Agama RI, op.
cit., hlm. 572.
[3]
Ibid., hlm. 408.
[4]
Abu Abdurrahman ibn Suaib
ibn Abi al-Nasa’i, Juz 5-6, Sunan al-Nasa’i, (Kairo: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 158.
[5]
Al-Ghazali, Menyikap Hakikat Perkawinan, terj. Muhammad
Bagir, (Bandung: Karisma, 1992), hlm. 25.
[6]
Departemen Agama RI, op.
cit., hlm. 108.
[7]
Sayid Sabiq, op. cit.,
hlm. 21.
No comments:
Post a Comment