Iddah
adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata adda ya’uddu-‘iddatan
dan jamaknya adalah ‘idad yang secara arti kata (etimologi)
berarti: “menghitung” dan ”hitungan”.
Kata ini digunakan untuk maksud iddah karena dalam masa itu si perempuan yang
ber-iddah menunggu berlalunya waktu.[1]
Dalam
kitab fiqh ditemukan definisi iddah itu yang pendek dan sederhana di antaranya
adalah: (مدة تربص فيها المرأة) atau masa tunggu yang dilalui oleh seorang perempuan.
Al-Shan’aniy mengemukakan definisi tentang iddah yang lebih lengkap, sebagai
berikut:
اسم
المدة تتربص فيها المرأة عن التزويج بعد وفاة زوجها و فراقة لها
“Nama bagi suatu masa yang seorang
perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untukkawin lagi karena wafatnya
suaminya atau bercerai dengan suaminya.”
Untuk
menjawab pertanyaan untuk apa dia menunggu, ditemukan jawabannya dalam ta’rif
lain yang bunyinya:
مدة
تتربص فيها المرأة لتعرف برائة رحمها او للتعبد
“Masa
tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya
rahim perempuan itu atau untuk beribadah.”
Menurut
Sayyid Sabiq, iddah berasal dari kata ‘adada yang berarti menghitung.
Maksudnya, perempuan (isteri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.[2]
Iddah
dalam istilah agama menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (isteri) menunggu
dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah pisah dari
suaminya.[3] Iddah
ini juga sudah dikenal juga pada zaman Jahiliyyah. Mereka ini hampir tidak
pernah meninggalkan kebiasaan iddah. Tatkala Islam datang, kebiasaan itu diakui
dan tetap dijalankan karena ada beberapa kemaslahatan didalamnya.
Para
ulama sepakat bahwa iddah itu wajib hukumnya karena Allah S.W.T. berfirman:
و
المطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’[4]...”
(QS. al-Baqarah: 228)
Nabi
S.A.W. bersabda kepada Fatimah binti Qais :
حدثني
إسحق بن منصور حدثنا عبد الرحمن عن سفيان عن أبي بكر بن أبي الجهم قال سمعت فاطمة
بنت قيس تقول أرسل إلي زوجي أبو عمرو بن حفص بن المعيرة عياش بن أبي ربيعة بطلاقي
و أرسل معه بخمسة آصع تمر و خمسة آصع شعير فقلت أمالي نفقة إلا هذا اعتد في منزلكم
قال لا قالت فشددت علي ثيابي و أتيت رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال كم طلقت
قلت ثلاثا قال صدق ليس لك نقة اعتدي في بيت ابن عمك ابن ام مكتوم فإنه ضرير البصر
تقلي ثوبك عند فإذا انقضت عدتك فأذنيني قالت فخطبني خطاب منهم معاوية و ابو الجهم
فقال النبي صلى الله عليه و سلم ان معاوية ترب خفيف الحال و ابو الجهم منه شدة على
النساء (او يضرب النساء او نحو هذا) و لكن عليك بأسامة بن زيد (رواه مسلم)
“Telah
menceritakan kepadaku Ishaq bin Mansur menceritakan kepadaku Abdurrahman dari
Sufyan dari Abi Bakar bin Abi al-Jahm berkata, aku mendengarkan Fathimah binti Qays berkata suamiku mengutusku yakni Abu Amr, Ibn Hafsh bin
Mu’irah Ayyash bin Abi Rabi’ah dengan mentalakku, serta mengirimkan lima sho’
kurma dan lima sho’ gandum, kemudian berkata, apakah tidak ada bagiku nafkah? kecuali benda ini (lima sho’ kurma
dan gandum), dan aku tidak beriddah di
rumahmu, kemudian Abu Amr
berkata, tidak, Fathimah
berkata kemudian mengikat bajuku dan aku menemui Rasullullah, kemudian
Rasul bertanya, berapa thalaq yang dijatuhkan suamimu? Aku menjawab, tiga,
kemudian Rasul bersabda benar, kamu tidak berhak mendapatkan nafkah beriddahlah
di rumah sepupumu, yakni Ibn Ummi Maktum, karena dia adalah buta matanya,
taruhlah pakaianmu di rumahnya, dan
kalau sudah habis masa iddahmu, beritahulah aku, Fathimah berkata kemudian
melamarku beberapa orang, di antaranya Mu’awiyah dan Abu al-Jahm, kemudian
Rasul bersabda, sesungguhnya Mu’awiyah adalah miskin, minim dalam berusaha, sedangkan Abu al-Jahm adalah
laki-laki yang keras terhadap perempuan (memukul perempuan dan yan g sejenis
dengan hal itu) dan baik bagimu Usamah bin Zayd”. (H.R Muslim)[5]
Berdasarkan
ketentuan di atas, maka bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib
baginya melaksanakan iddah serta ihdad, iddah merupakan masa penantian seorang
perempuan sebelum menikah lagi, setelah bercerai dari suaminya atau setelah
suaminya meninggal dunia. Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disusun hakikat dari iddah
tersebut sebagai berikut: “masa yang harus ditunggu oleh seorang perempuan yang telah bercerai dari suaminya supaya dapat kawin lagi untuk
mengetahui bersih rahimnya
atau untuk melaksanakan perintah
Allah”.[6]
Sedangkan,
ihdad secara etimologi adalah menahan atau menjauhi. Secara definitif,
sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab fikih, adalah “menjauhi sesuatu yang
dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa iddah”. Pembicaraan di
sini menyangkut: untuk siapa dia berbuat, kenapa dia berbuat, apa yang tidak
boleh diperbuat dan hukum berbuat.[7]
Adapun
mengenai untuk siapa, atau atas dasar apa seseorang melakukan ihdad, hampir
semua ulama berpendapat bahwa ihdad
hanya dilakukan untuk suami yang menikahinya dengan nikah yang sah dan
yang meninggal dalam masa perkawinannya dan tidak berlaku untuk lainnya.
Masa
berkabung (ihdad) bagi perempuan yang diatur oleh syari’at.[8]
Perempuan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari,
berdasarkan firman Allah SWT, yang berbunyi:
و
الذين يتوفون منكم و يذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر و عشرا
“Orang-orang
yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya[9]
(beriddah) empat bulan sepuluh hari…”
(QS. al-Baqarah: 234)
Mengenai
kenapa seseorang harus berkabung, maka dalam hal ini menjadi bahasan di kalangan ulama. Adapun
pendapat yang disepakati adalah, bahwa
ihdad atau berkabung hanya berlaku terhadap
perempuan yang bercerai dari suaminya karena kematian suaminya. Inilah maksud semula dari ditetapkannya
berkabung dalam Islam. Tujuannya ialah untuk menghormati dan mengenang suaminya
yang meninggal. Dasar dari kewajiban berkabung untuk suami yang meninggal itu
adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi:[10]
حدثنا
محمد بن مثنى حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن حميد بن نافع قال سمعت زينب بنت ام
سلمة قالت توفي حميم لأبي حبيبة فدعت بصفرة فمسحته بذراعيها و قالت إنما أصنع هذا
لأني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لا يحل لامرأة تؤمن بالله و اليوم
الآخر ان تحد فوق ثلاث إلا على زوج أربعة أشهر و عشرا و حدثته زينب عن أمها و عن
زينب زوج النبي صلى الله عليه و سلم او عن امرأة من بعض أزواج النبي صلى الله عليه
و سلم (رواه البخاري)
“Menceritakan
padaku Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan
padaku Ja’far, menceritakan padaku Syu’bah dari Humaid bin Nafi’ berkata
aku mendengarkan Zainab binti Umm Salamah berkata Hamim (saudara laki-lakinya)
meninggalkan Ummi Habibah, kemudian Umi
Habibah memakai wangi-wangian berwarna kuning, kemudian mengusapnya dengan dua tangannya, dan Ummi Habibah berkata sesungguhnya aku memakai
wangi-wangian ini karena aku mendengarkan Rasulullah S.A.W bersabda,
“Tidak boleh seorang perempuan yang
beriman kepada Allah dan hari akhir berkabungdi atas tiga hari, kecuali untuk
suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Dan Ummi Habibah memberitahukan tentang
ibunya dan tentang Zainab isteri Rasulullah, dan tentang seorang perempuan yang
menjadi bagian istri Rasul.” (HR. Muslim)
Sedangkan
makna ihdad secara etimologi adalah: mencegah, dan di antara pencegahan itu
adalah mencegah perempuan dari berhias. Hal yang termasuk dalam pengertian ihdad adalah menampakkan kesedihan.
Adapun ihdad secara terminologi adalah antisipasi seorang perempuan dari berhias dan termasuk di dalam
pengertian tersebut adalah masa tertentu
atau khusus dalam kondisi tertentu, dan yang
demikian adalah ihdad atau tercegahnya seorang perempuan untuk tinggal
pada suatu tempat kecuali tempat
tinggalnya sendiri.
Untuk
kematian orang selain suaminya, perempuan yang berkabung selama tiga hari,
tidak boleh lebih. Ketika seorang perempuan berkabung atas kematian orang lain,
maka itu tidak boleh lebih sampai menghalangi suaminya untuk menyetubuhinya.
Selama
berkabung, perempuan tidak boleh memakai wewangian, celak pacar (pewarna kuku),
bedak, pakaian berwarna dan perhiasan. Namun dari sisi lain, para ulama
memandang bahwa perempuan boleh
mengenakan pakaian berwarna putih dan boleh memotong kuku, mencabut bulu
ketiak, mandi dan meminyaki rambut, dengan tujuan menjaga kesehatan, bukan untuk berhias.[11]
Menurut
Abu Yahya Zakaria al-Anshary, ihdad berasal dari kata ahadda, dan
kadang-kadang bisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari kata hadda.
Secara etimologis (lughawi) ihdad berarti al-Man’u (cegahan atau
larangan). Sedangkan menurut Abdul Mujieb, bahwa yang dimaksud dengan ihdad
adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati suaminya. Masa
tersebut adalaha empat bulan sepuluh hari disertai dengan larangan-larangannya,
antara lain: bercelak mata, berhias
diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa.[12]
Yang
dimaksud dengan ihdad (masa berkabung) adalah masa di mana seseorang harus
memiliki rasa, yaitu; 1) Mempersiapkan. 2) Menata mental. 3) Menambahkan
kesabaran bagi orang yang ditinggal. Di
mana tiga poin di sini adalah merupakan tawaran hukum agar seseorang melakukan
hal yang sesuai dengan (مبادئ الشريعة) (dasar syari’at) dari dasar syari’at tersebut antara lain,
dengan kompromi, keserasian dan keadilan.
Sedangkan
menurut hadits bahwa ihdad adalah:[13]
عن
ابو الربيع الزهراني عن حماد عن أيوب عن حفصة عن أم عطية قالت أن رسول الله صلى
الله عليه و سلم قال لا تحد امرأة علي ميت فوق ثلاث إلا غلى زوج أربعة أشهر و عشرا
و لا نلبس ثوبا مصبوغا إلا ثوب عصب و لا نكتحل و لا تمس طيبا إلا إذا طهرت نبذة من
قسط او إظفار. متفق عليه و هذا لفظ مسلم و لأبي داود و النسائي من الزيادة (و لا
نختضب) و للنسائي (و لا تمتشط)
“Dari
Abu Rabi’ al-Zuhry sesungguhnya aku dari Hammad dari Ayyub dari Hafshah dari Ummi Athiyyah dia
berkata sesungguhnya Rasulullah S.A.W
bersabda tidak boleh berkabung bagi seorang
perempuan atas satu mayit lebih dari tiga malam kecuali atas suami
(boleh) empat bulan sepuluh hari dan janganlah memakai pakaian (yang
dimaksudkan untuk perhiasan, sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain
tersebut ditenun, atau kain itu menjadi kasar/kesat (setelah
dicelup).” dan janganlah bercelak, memakai wangai-wangian kecuail ia bersih dari qusth dan adzfar.”
[14]
Sedangkan
menurut Sayyid Abu Bakar al-Dimyati, definisi ihdad adalah: “Menahan diri dari bersolek/berhias
pada badan.” Dengan redaksi sedikit berbeda, Wahbah al-Zuhaili memberikan
definisi tentang makna ihdad:
“Ihdad
ialah meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata dan minyak, baik minyak
yang mengharumkan maupun yang tidak.”
Selanjutnya,
sebagaimana definisi kedua di atas, Wahbah al-Zuhaili menegaskan maksud
meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak adalah khusus
yang berkaitan dengan anggota badan perempuan. Karena itu, perempuan yang
sedang dalam keadaan ihdad tidak dilarang memperindah tempat tidur, karpet,
gorden dan alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk di atas kain
sutera.[15]
Ali al-Salusi, dalam hal ini juga
mendefinisikan ihdad, antara lain sebagai berikut:[16]
“Di
antara makna ihdad secara etimologi adalah mencegah, dan di antara pencegahan
tersebut adalah pencegahan seorang perempuan
dari bersolek, dan termasuk dalam kategori makna ihdad secara bahasa adalah menjelaskan kesedihan, adapun ihdad menurut terminologi adalah
pencegahan atau menjaganya seorang perempuan dari bersolek dan termasuk dalam
makna ihdad adalah suatu masa tertentu di
antara masa-masa yang dikhususkan, begitu juga di antara makna ihdad
adalah mencegahnya seorang perempuan dari tempat tinggalnya yang bukan tempat
tinggalnya.”
[1] Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Mun akahat dan Undang-Undang
Perkawinan , (Jakarta: Kencana, 2007), hal 303
[2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah
Jilid 3, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hal 223
[3] Permulaan iddah dihitung mulai
adanya talak atau kematian
[4] Quru’ bisa
berarti haid atau
bersih dari haid,
sebagaimana pendapat imam
syafi’iy, yang menyatalkan quru’ddengan makna suci
karena melihat dari
segi kebahasaan, bahwa lafadz tsalatsatu quru’in lafad
tersebut adalah adad mufrod atau tunggal
yang dalam aturan bahasa arab harus
berlawanan antara adad (hitungan) dan ma’dud
(yang dihitung), sehingga akrena lafad tsalatsatu berbentuk mu’annats/perempuan yang pasti haid, sedangkan
lafad Quru’ adalah merupakan
bentik mudzakkar. Laki-laki yang dalam hal ini tidak pernah mengalami haid,
sehingga Imam Syafi’iy menyatakan bahwa quru’ bermakna suci
[5] Muslim bin Al-Hajjaj, al-Jami’
Al-Sahih, Juz III, (Lebanon: Dar al-Fikr Beirut, t.t ), hal 199
[6] Op.Cit. Amir Syarifuddin, hal
304
[7] Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), hal 320
[8] ’Athif Lamadhoh, Fikih Sunnah Untuk
Remaja, (Jakarta: Cendekia Sentra Musliam, 2007), hal 258
[9] Berhias, atau bepergian, atau
menerima pinangan.
[10] Op.Cit, Muslim bin Hajjaj, hal
202-203
[11] ‘Athif Lamadhoh, Fikih Sunnah
Untuk Remaja, (Jakarta: Cendekia Sentra
Musliam, 2007), hal 258
[12] Tihami dan Sohari
Sahrani, Fikih Munakahat:
Kajian Fikih Nikah Lengkap,
(Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal 342
[13] Ibn Hajar al-Atsqalani, Bulugh
al-Maram, (Surabaya: al-Hidayah, t.t), hal 284
[14] Qusth dan Adzfar adalah dua
macam jenis wangi-wangian yang biasa dipakai perempuan untuk membersihkan bekas
haidnya, Ahmad Hassan, Tarjamah Bulugh al-Amaram, (Bandung:
CV. Diponegoro, 1991), hal 585
[15] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal 343
[16] Ali al-Salusi (guru besar
kulliyyah al-Syari’ah wa al-Ushul Universitas Qatar), Mausu’ah al-qadzaya
al-Fiqhiyyah al-Mu’asharah, al-Maktabah al-Syamilah, (Maktabah Dar al-Qur’an
Qatar, Cet 7, Juz II, 2002), hal 72
No comments:
Post a Comment