Allah
SWT. berfirman :
و
الله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا و جعل لكم السمع و الأبصار و الأفئدة
لعلكم تشكرون
Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.
(Q.S. an-Nahl :
78)[1]
Al
Qurthuby dalam menafsirkan ayat tersebut
menyebutkan bahwa penciptaan pendengaran dan penglihatan itu agar manusia dapat
mengetahui sesuatu, pendengaran dan penglihatan itu sendiri di ciptakan sejak
bayi masih dalam kandungan.[2]
Penafsiran
al Qurthuby tersebut menjelaskan bahwa pendengaran dan penglihatan di ciptakan
sejak bayi masih dalam kandungan, sehingga sangat mungkin sekali bahwa bayi
yang masih dalam kandungan bisa mendengarkan, apalagi yang sudah dilahirkan tentu
pendengaran sudah tidak terhalang lagi. Sesaat setelah dilahirkan rangsangan
yang utama dan pertama di rasakan oleh bayi adalah rangsangan suara, sedangkan
rangsangan cahaya yang ditangkap oleh mata baru benar-benar sempurna pada bayi
usia 6 bulan.[3]
Dengan
demikian mengumandangkan ażan di telinga bayi yang baru dilahirkan sangatlah
mungkin di lakukan karena sejak dalam kandungan bayi tersebut sudah bisa
mendengar dan setelah di lahirkan tentunya pendengaran akan lebih bisa
digunakan secara optimal, sehingga ażan di telinga bayi yang baru lahir itu
akan dapat di terima oleh bayi sebagai informasi pertama sebelum dia mendengar
informasi yang lainnya.
Dalam
hadīs Nabi Muhammad SAW. bersabda :
حدثنا
حاجب بن الوليد حدثنا محمد بن حرب عن زبيدي عن الزهري أخبرني سعيد بن المسيب عن
أبي هريرة رضي الله عنه أنه كان يقول قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما من
مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه و ينصرانه و يمجسانه (رواه مسلم)
(Imam
Muslim berkata :) Hajib bin al-Walid menyampaikan hadīs kepada kami, (Hajib
bin al-Walid berkata :) Muhammad bin
Harbin menyampaikan hadīs kepada kami dari al-Zubaidi, (al-Zubaidi berkata :)
Sa’id bib al Musayyab menyampaikan hadīs kepadaku dari Abu Hurairah r.a.
berkata : Rasulullah SAW bersabda : Tiada seorang anakpun yang lahir kecuali ia
dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia
beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi.[4]
Mastuhu
dalam bukunya Dinamika Sistem
Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren,
mengungkapkan bahwa pengertian fitrah adalah berarti asli, bersih dan suci,
bukan kosong tetapi berisi daya-daya yang wujud dan perkembangannya tergantung
pada manusia itu sendiri.[5] Pendapat ini dilandaskan
pada firman Allah dalam surat al A’raf ayat 172 berikut :
و
إذ أخذ ربك من بني آدم من ظهورهم ذريتهم و أشهدهم على أنفسهم ألست بربكم قالوا بلى
شهدنا أن تقولوا يوم القيامة إنا كنا عن هذا غافلين
Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah
Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Q.S. al-A’rāf
: 172)[6]
Jadi
sesungguhnya anak yang dilahirkan itu bukannya kosong tanpa isi sama sekali
tetapi yang dimaksud fitrah itu adalah suci yang mengandung daya-daya yang
berupa fitrah illahiyah yang telah mengakui bahwa Allah adalah Tuhan
yang Maha Esa yang ditandai ikrar manusia sejak masih dalam kandungan sehingga
tidak ada alasan bagi manusia untuk menghindar bahwa dia tidak tahu tentang
keesaan Allah.
Kemudian
untuk menyuburkan fitrah illahiyah itu diantaranya yaitu dengan
mengumandangkan ażan di telinga bayi yang baru lahir sebagai wujud tanggung
jawab orang tua dalam rangka menjaga dan mengembangkan fitrah illahiyah
yang telah tertanam dalam diri anak. Dalam Hadīs yang lain Rasulullah SAW
bersabda :
حدثني
عبد الله بن محمد حدثنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن الزهري عن سعيد بن المسيب عن
أبي هريرة رضي الله عنهم أن النبي صلى الله عليه و سلم قال ما من مولود يولد إلا و
الشيطان يمسه حين يولد فيستهل صارخا من مس الشيطان إياه إلا مريم و ابنها (رواه
البخاري)
(Imam
Bukhari berkata :) telah meriwayatkan hadīs kepadaku Abdullah bin Muhammad,
(Abdullah bin Muhammad berkata: Abdurrazzaq telah meriwayatkan hadīs kepadaku,
(Abdurrazzaq berkata: Mu’ammar telah memberikan habar kepadaku dari al Zuhri dari
Sa’id ibn al Musayyab dari Abi Hurairah r.a., Bahwa Nabi SAW. bersabda : “Tidak
ada anak keturunan Adam yang dilahirkan kecuali setan akan menyentuhnya ketika
dia lahir, maka syaitan memeras memeras perutnya sehingga bayi tersebut
menjerit karena sentuhan syaitan, kecuali Maryam dan putranya”.[7]
Hadīs
tersebut menyebutkan bahwa setiap anak yang dilahirkan akan selalu disertai oleh
syaitan dan kemudian syaitan akan meremas perutnya dengan keras sehingga anak
itu akan menjerit kesakitan, dengan kata lain syaitan tersebut juga akan
menggoda anak tersebut. Maka untuk
menghindari hal tersebut tindakan untuk mengażani anak yang baru lahir adalah
suatu upaya untuk mencegah syaitan agar tidak mengganggu anak lebih jauh lagi.
Tentang
kualitas hadīs ini ada suatu penguatan pendapat sebagaimana dikutip oleh
Fatchurrahman, Abu Daud berkata : “Saya tidak meletakkan sebuah hadīs yang
telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkannya. Saya jelaskan dalam
kitab tersebut nilainya dengan shahih, semi shahih (yusybihuhu),
mendekati shahih (yuqaribuhu), dan jika dalam kitab saya tersebut
terdapat Hadīs yang wahmun syadidun (sangat lemah) saya jelaskan.[8]
Dalam
kalimat tersebut tersirat pernyataan yang menjamin bahwa seluruh hadīs yang
terdapat di dalam kitab Abu Daud adalah hadīs-hadīs yang dapat di pertanggung
jawabkan secara kualitas, minimal hadīs-hadīs tersebut bukanlah hadīs yang
disepakati oleh seluruh ahli hadīs untuk ditinggalkan, kalaupun ada hadīs-hadīs
yang sangat lemah maka oleh beliau diberikan catatan khusus karena sangat lemahnya
riwayat hadīs tersebut.
[1] R.H.A. Sunarjo, dkk. , Al Qur'an al Karim wa Tarjamatu Ma’anihi ila
al Lughah al Indunisia (al Qur'an dan Terjemahnya), (Madinah al Munawwarah :
Mujamma’ Malik Fahd li Thiba’at al Mushhaf asy Syarif, 1418 H.), hlm. 413.
[2] Abi Abdullah Muhammad Ibnu
Ahmad al Anshary al Qurthuby, Al Jami’ Liahkail Qur’an, Juz 10 (Bairut :
Darul Kutub al Ilmiyyah, 1993), jilid V, hlm. 100.
[3] K.H.O. Gajahnata, Beberapa
Aspek Pemikiran tentang Kesehatan dan Kelahiran dalam Islam, (Jakarta : PT.
Media Sarana Press, 1987), hlm. 124.
[4] Imam Abi al Husain Muslim bin
al Hajjaaj al Qusairy al Naisabury,
Shahih Muslim, Juz II, (Bairut :
Dar al Kutub al Ilmiyyah, t.t.), hlm. 458.
[5] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem
Pendidikan Pesantren, (Jakarta, INIS : 1994), hlm. 15.
[6] R.H.A. Sunarjo, dkk. ,
op.cit., hlm. 250.
[7] Imam Abi Abdillah Muhammad bin
Isma’il Ibnu Ibrahim bin al Mugirah Barizabah al Bukhari, Sahih al Bukhari, Juz
V (Bairut : Dar al Kutub al Ilmiyyah,
1992), hlm. 199.
[8] Fatchur Rahman, op.cit.hlm.
332.
No comments:
Post a Comment