Rujuk
adalah hak bagi suami atas isterinya selama dalam masa iddah talaq raj’i, tidak
disyaratkan adanya ridha dari isteri, maka seorang laki-laki berhak untuk merujuk
isterinya walaupun tanpa keridhaan isteri tersebut.[1]
Menurut
Imam al-Syafi’i, bila seorang laki-laki berkata kepada isterinya yang sedang
dalam iddah: “saya telah merujukmu hari ini atau besok atau sebelumnya’’ di
dalam iddah, lalu wanita mengingkarinya maka yang diterima adalah perkataan
laki-laki. Bila laki-laki ingin merujuknya dalam iddah maka laki-laki itu
memberi tahu bahwa ia telah melakukanya kemarin, dan kalau laki-laki berkata
sesudah selesai iddah: “saya telah merujukmu di dalam iddah’’ lalu wanita itu
mengingkari maka yang diterima adalah perkataan wanita dan laki-laki harus
mendatangkan bukti bahwa ia merujuknya di masa iddah.[2]
Hak
merujuk bekas suami terhadap isterinya yang di talaq raj’i, diatur berdasarkan firman Allah dalam
al Qur’an surat al Baqarah ayat 228 sebagai berikut.
“Dan
sumi-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) itu menghendaki islah (perbaikan)”. (Qs. Al Baqarah: 228).[3]
Firman
Allah tersebut memberi hak kepada bekas suami untuk merujuk bekas isterinya
yang ditalaq raj’i dengan batasan bahwa bekas suami itu dengan maksud baik dan
untuk mengadakan perbaikan. Tidak dibenarkan bekas suami mempergunakan hak
merujuk itu dengan tujuan yang tidak baik, misalnya untuk menyengsarakan bekas
isterinya itu atau untuk mempermainkanya sebab dengan demikian bekas suami itu
berbuat aniaya atau berbuat zhalim, sedangkan berbuat zhalim itu dikharamkan.
Firman
Allah dalam al Qur’an surat al Baqarah ayat 231 menyatakan:
“Apabila
kamu mentalaq isteri-isterimu, lalu dekat kepada iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma’ruf (baik), atau ceraikanlah mereka dengan cara yang
ma’ruf (baik) pula. Jangan kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan,
karena dengan demikian kamu menganiaya mereka, barang siapa berbuat demikian maka
sunggh ia telah berbuat dhalim terhadap dirinya sendiri”.(Qs. Al Baqarah:
231)[4]
Kemudian
dalam majhab al-Syafi’I, ia mengatakan, bahwa rujuk itu mengembalikan isteri
yang sudah ditalaq raj’i yang masih dalam iddahnya kepada keadaan semula.
Menurut mazhab al-Syafi’i, talaq raj’i
itu mengakibatkan isteri kharam dicampuri suaminya meskipun suami mempunyai hak
untuk rujuk tanpa kerelaan isterinya.
Atas
pertimbangan lebih maslahat berpisah dari pada terus merasa tersiksa hidup
dalam satu rumah tangga, maka Islam membolehkan talaq, akan tetapi perceraian
perkawinan dalam Islam belumlah putus sama sekali dikala suami mengikrarkan
lafal talaq kepada isterinya itu.
Dalam
masa iddah, status wanita itu tetap sebagai isteri, ia masih berhak menerima
nafkah dan tempat tinggal seperti biasa, bahkan apabila salah satu pihak
meninggal dunia maka pihak yang lain masih berhak menerima warisan, yang tidak
boleh dalam massa iddah itu ialah setempat tidur (kalau bukan untuk maksud
rujuk).
Massa
iddah itu, boleh dikatakan suatu masa untuk menghitung laba ruginya terhadap
keluarga dalam arti yang luas, apabila perkawinan mereka akan putus. Massa
iddah ialah massa berpikir panjang, merenungkan kesalahan diri sendiri, itulah
massa tenang, perang mulut sudah berhenti dan hati panas sudah mereda, catatan
peristiwa demi peristiwa rumah tangga yang sudah berlalu dapat dibaca dengan
pikiran yang sehat. Diharapkan dari peristiwa talaq yang sudah terjadi itu,
suami isteri mendapat pelajaran yang berharga.
Dengan
i’tikad baik dan penuh kesadaran, suami melangkah kembali kepada isterinya
untuk merujuk, isterinyapun dengan hati terbuka menerima dengan gembira
kedatangan suaminya.
Dengan
adanya sistem rujuk dalam perkawinan menurut ajaran Islam berarti telah membuka
pintu untuk memberi kesempatan melanjutkan pembinaan keluarga bahagia yang di
idam-idamkan oleh setiap orang yang berkeluarga.[5]
1.
Hak Rujuk Menurut Imam al-Syafi’i
Di
dalam kitab Al Umm dijelaskan bahwa rujuk adalah hak suami atas
isterinya dan ia tidak boleh menolak suami untuk merujuknya, ungkanpan tersebut
adalah sebagai berikut:
“Imam
Syafi’i berkata ketika Allah Azzawajala menjadikan rujuk sebagai hak suami atas
isterinya selama dalam masa iddah maka bagi isteri tidak punya hak untuk
menolak dan tidak punya hak untuk mengganti atas rujuk suaminya karena rujuk
adalah hak suami atas isterinya dan rujuk bukan hak isteri atas suaminya. Ketika
ada firman Allah Azzawajala ‘’Dan sumi-suami mereka berhak merujuknya dalam
masa menanti itu’’ adalah menjelaskan bahwa mengembalikan itu didasari dengan
perkataan atau pernyataan bukan didasari dengan perbuatan, semisal jimak dan lain-lainya,
karena hal tersebut suatu pengembalian yang didasari tanpa pernyataan terlebih
dulu maka hukum rujuk bagi seorang laki-laki pada wanitanya itu tidak sah
sebelum ada pernyataan keduanya itu. Ketika seorang laki-laki tiada pernyataan
mengenai rujuk dalam masa iddah maka baginya sudah tetap sah contoh pernyataan
‘’saya mau rujuk sama kamu, atau saya telah merujuknya atau saya telah
merujuknya untukku atau sungguh saya telah merujuk bagi saya. Sampai seorang
laki-laki mengatakan pernyataan itu maka seorang wanita itu menjadi isterinya
kembali, meskipun sesuatu itu mati atau hilang akalnya maka seorang wanita itu
tetap menjadi isterinya apabila seorang laki-laki dari proses rujuk ini ada
sesuatu kemudian diamenyatakan saya tidak akan melakukan rujuk maka wanita itu tetap
dihukumi rujuk kecuali terjadi perceraian”.[6]
Begitu
juga menurut fuqaha bahwa seorang laki-laki tidak mempunyai gugurnya hak
walaupun suami telah mentalak isterinya dengan talak raj’i, seperti ungkapan
‘’saya tidak akan merujuk kamu atau saya gugurkan hakku dalam merujuk kamu’’.
Ungkapan seperti ini merupakan suatu ungkapan yang mengubah ketetapan yang di
syari’atkan oleh Allah SWT. Dalam kitab
fiqih muqaren liakhwalusyah Syiyyah sebagai berikut:
“Rujuk adalah hak bagi suami atas istrinya
selama dalam masa iddah talak raj’i, tidak di syaratkan adanya ridha dari
isteri maka seorang laki-laki berhak untuk merujuk isterinya walaupun tanpa keridhaan
isteri tersebut, ini adalah hak yang ditetapkan syara’ bagi suami maka dia
tidak memiliki gugurnya hak walaupun suami telah mentalak isterinya dengan
talak raj’i, seorang laki-laki berkata ‘’saya tidak akan merujuk kamu, atau
saya gugurkan hakku dalam merujuk kamu’’, maka hak merujuknya tetap tidak gugur
karena yang demikian itu merupakan suatu ungkapan yang mengubah ketetapan yang
di syari’atkan oleh Allah SWT. Dalam irmanya; ‘’talak yang dapat dirujuki dua
kali setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik, dan tidak ada seorangpun yang dapat merubah ketetapan
atau ketentuan yang di syari’atkan oleh Allah SWT.”[7]
2. Istinbath Hukum Imam al-Syafi’i
Seperti
Majhab yang lainya, Imam al-Syafi’i juga menentukan Thuruq al Istinbath al
Ahkam tersendiri, adapun langkah-langkahnya secara hirarki ialah Asal adalah al
Qur’an dan al Sunnah, beliau menempatkan al Qur’an dan al Sunnah semartabat,
karena al Sunnah merupakan penjelasan dari al Qur’an, apabila tidak ditemukan
dalam al Qur’an dan al Sunnah maka beliau menggunakan ijma’ fuqaha yang memiliki
ilmu khasah,[8] beliau juga mengambil
pendapat sahabat yang telah disepakati dan juga pendapat sahabat yang masih
dipertentangkan dengan mengambil salah satunya yang dianggap paling dekat
dengan al Qur’an dan al Sunnah, apabila tidak ditemukan dalam al Qur’an, al
Sunnah dan ijma’ beliau melakukan Qiyas terhadap al Qur’an dan al Sunnah.[9]
Untuk
lebih jelasnya Thuruq al Istimbath Imam al-Syafi’i akan dijelaskan satu
persatu sebagai berikut:
a. Al Qur’an
Imam
al-syafi’i menegaskan bahwa al Kitab atau al Qur’an merupakan pembawa petunjuk,
menerangkan yang halal dan yang haram, menjanjikan balasan surga bagi yang taat
dan neraka bagi yang durhaka, serta memberikan perbandingan dengan kisah-kisah
ummat terdahulu. Semua yang diturunkan Allah dalam al Qur’an adalah hujjah (dalil,
argumen) dan rahmat.
Tingkat keilmuan seseorang erat kaitanya dengan
pengetahuannya tentang isi al Qur’an. Setiap penuntut ilmu perlu berupaya keras
untuk mengetahui ilmu al Qur’an baik yang diperoleh dari nash (penegasan
ungkapan) maupun melalui istinbath (penggalian
hukum). Menurutnya setiap kasus yang terjadi pada seseorang pasti mempunyai
dalil dan petunjuk dalam al Qur’an.[10]
Imam
al-Syafi’i memandang al Qur’an dan al Sunnah berada dalam satu tingkatan,
keduanya merupakan sumber pokok hukum Islam, sumber-sumber yang lain harus
didasarkan pada keduanya. al Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al
Qur’an, namun tidak memberikan pengertian bahwa semua al Sunnah yang
diriwayatkan dari Nabi mempunyai faidah yakin, oleh karena itu apabila ada al
Sunnah yang menyalahi al Qur’an hendaklah al Qur’an yang didahulukan.
Menurutnya
seluruh al Qur’an itu terdiri dari bahasa Arab, tidak terdapat satu katapun
didalamnya yang berbahasa Arab. Sejalan dengan itu ia menegaskan bahwa setiap
umat Islam diharuskan mempelajari bahasa Arab sedapat mungkin, sehingga ia
dapat mengucapkan syahadah, membaca al Qur’an dan berdhikir yang wajib seperti
takbir atau yang diperintahkan seperti
tasbih, tasyahud dan sebagainya.
Ini merupakan ferdhu ‘ain yang berlaku secara umum, sedangkan penguasaan bahasa
Arab secara mendalam diwajibkan secara terbatas (fardhu kifayah) atas para
ulama’.[11]
Imam
al-Syafi’i menekankan pentingnya penguasaan itu karena tidak seorangpun yang
dapat menjelaskan kandungan al Qur’an tanpa menguasai bahasa Arab karena bahasa
tersebut terkenal dengan keluasa ungkapannya. Hal ini dapat dilihat misalnya,
penggunaan lafadh ‘amm (ungkapan yang bersifat umum). Pada sebagiannya dapat
dipastikan bahwa lafadh ‘amm itu
dimaksudkan untuk menunjukan pengertian umum, tetapi pada penggunaan lainnya ia
mengandung kemungkinan tahsis (pembatasan pada cakupannya). Selain itu pada
lafadh ‘amm pula yang digunakan untuk pengertian khusus, baik yang diketahui
secara jelas maupun yang diperoleh melalui petunjuk susunan redaksinya (siyaq).[12]
b. Al Sunnah
Dengan
pendidikan yang diperolehnya dari kalangan Ahl al Hadits, Imam al-Syafi’i sangat kuat berpegang pada hadits sebagai
dalil hukum. Sikap pendirian dan pandangannya terhadap Sunnah dinyatakan dengan
sangat jelas dalam kitab-kitabnya. Dengan berbagai argumentasi, ia mendukung
kehujjahan sunnah, sehingga ia mendapatkan gelar Nashir al Sunnah
(pembela sunnah) ketika berada di Bagdad.[13]
Sunnah
menurutnya adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara
murni yang meliputi perkataan, perbuatan atau taqrir (ketetapan), ia selalu
memilih antara Sunnah Nabi dengan perkataan, pendapat atau putusan para sahabat
atau yang lainnya. Ia juga banyak menekankan bahwa hujjah yang wajib diikuti umat adalah Khabar yang berasal dari Rasulullah SAW bukan
yang lainnya. Pernyataan ini mengandung konsekwensi logis untuk mengadakan penelitian
secara sistematis dengan tolak ukur tertentu
sehingga segala hal yang disandarkan kepada Nabi tidak bisa lepas begitu saja
dari kritik pembuktian keotentikannya.[14]
Imam
al-Syafi’i menegaskan bahwa Sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti, sama
halnya dengan al Kitab, ia meletakka Sunnah dalam satu peringkat dengan al
Kitab. Ini menunjukan derajat al Sunnah secara keseluruhan, bukan satuan dimana
penggunaannya sebagai dalil, dan hukum penolakan terhadapnya sama dengan al
Kitab. Untuk mendukung pendapatnya ia mengajukan beberapa dalil, ia mengemukakan
bahwa Allah secara tegas mewajibkan manusia mentaati Rasulullah SAW.[15]
Pada
beberapa ayat perintah itu disebutkan bersamaan dengan perintah mentaati Allah
(misalnya Qs. Al Nisa’: 59) dan sebagiannya dikemukakan terpisah (Qs. Al Nisa’:
65). Selain itu ada ayat yang menyatakan bahwa taat kepada Rasulullah SAW pada
hakikatnya adalah adalah taat kepada Allah SWT (Qs. Al Fath: 10). Sehingga
jelaslah bahwa menerima petunjuk Rasulullah SAW berarti menerimanya dari Allah
SWT.[16]
Menurutnya kata al hikmah yang beberapa kali disebutkan
bersamaan dengan al Kitab (Qs. Al Nisa’: 113) tidak mungkin ditafsirkan kecuali
dengan al Sunnah.[17]
Secara
umum, Sunnah adalah penjelas bagi al Qur’an. Oleh karena itu ia senantiasa
mengikuti dan tidak mungkin menyalahi al Qur’n. bila al Qur’an telah mengatur
hukum secara nash, maka Sunnah pun akan berbuat demikian. Jika al Qur’an
memberikan aturan secara global, maka Sunnah akan memberikan penjelasan tentang
maksudnya. Kemudian penjelasan Sunnah tidak mungkin keluar dari lingkkup alternative
yang diberikan oleh al Qur’an.[18]
Dalam
rincian lebih lanjut tentang hubungan Sunnah dengan al Qur’an, Imam al-Syafi’i
mengemukakan bahwa fungsi Sunnah adalah sebagai berikut:
1) Sebagai turutan bagi hukum yang
telah diatur dalam al Qur’an.
2) Sebagi penjelas berupa rincian atau
batasan-batasan atas hukum al Qur’an.
3) Sebagai tambahan dalam arti
mengatur hukum yang tidak diatur dalam nash al Qur’an.[19]
Imam
al-Syafi’i membagi al Sunnah atau al Hadits menjadi dua macam yaitu, Khabar
‘Ammah (hadits mutawattir) dan Khabar Khassah (hadits ahad). Selanjutnya ia
memandang kebenaran hadits mutawattir itu pasti sehingga hadits tersebut mutlak
harus diterima sebagai dalil akan tetapi hadits ahad hanya wajib diamalkan
apabila hadits itu sahih. Kesahihan suatu hadits dapat diketahui melalui
penelitian dengan menggunakan kriteria tertentu.
Pada
pokoknya, persyaratan yang ditetapkan oleh Imam al-Syafi’i agar suatu hadits
dapat diamalkan sama dengan persyaratan yang dikemukakan oleh para ahli hadits dan
ushul fiqh pada masa kemudian yang menyangkut tsiqah (‘adallah dan dhabit) yang
harus terpenuhi pada setiap perawi dan kesinambungan sanad yang
meriwayatkannya, serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits tersebut.[20]
Mengenai
hadits ahad (hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja) al Syafi’i
menerangkan, “maka saya katakan, khabar yang diriwayatkan oleh seorang dari
seorang sehingga sampai kepada Nabi SAW atau kepada sumber pertama tersebut.”[21]
Menurut
Imam al-Syafi’i suatu hadits yang diriwayatkan secara bersambung melalui sanad
yang terpercaya haruslah diterima sebagai hujjah meskipun hanya diriwayatkan
oleh seorang (hadits ahad).
Keterpercayaan
dan kesinambungan sanad sudah cukup menjadi dasar tanpa harus terkait dengan
jumlah perawinya. Dari sini jelas bahwa Imam al-Syafi’i berpendapat, hadits ahad
wajib diamalkan sebagai hujjah yang berkekuatan mengikat dan berdiri sendiri.[22]
Mengenai
hadits mursal (hadits yang dalam periwayatannya tidak tersebut nama sahabat
yang menerimanya dari Rasulullah SAW), pada prinsipnya Imam al-Syafi’i tidak
menerima hadits mursal sebagai hujjah, sebagaimana yang disimpulkan dari
dialaog Imam al-Syafi’i dalam al Risalah kecuali mendapatkan dukungan dari luar
berupa:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh
perawi lain secara isnad.
2. Hadits mursal dari sumber yang
lain.
3. Qaul sahabi.
4. Pendapat kebanyakan ulama’.
5. Kebiasaan perawi tidak meriwayatkan
hadits dari sumber yang cacat, karena majhul atau sifat lainnya, dan riwayatnya
selalu sama atau lebih baik dari pada riwayat hufadz yang lain.[23]
c. Al Ijma’
Imam
al-Syafi’i tidak merumuskan pengertian ijma’ secara definisi, namun dari
berbagai uraiannya dapat disimpulkan bahwa pada pokoknya ijma’ adalah
kesepakatan para ulama’ (ahl ilmi)[24] tentang suatu hukum
syari’ah. Kesepakatan disini haruslah merupakan kesatuan pendapat dari seluruh
fuqaha’ yang hidup pada suatu masa tanpa membedakan lingkungan, kelompok atau
generasi tertentu. Dengan demikian rumusan Imam al Syafi’i berbeda dengan
rumusan Imam Malik yang menganggap kesepakatan penduduk Madinnah sebagai ijma’ dan
rumusan kaum Zhahiriyah yang membatasinya hanya pada kesepakatan para sahabat.
Imam
al-Syafi’i menegaskan bahwa ijma’ merupakan dalil yang kuat, pasti, serta
berlaku secara luas pada semua bidang. ‘’ijma’ adalah hujjah atas segala
sesuatunya karena ijma’ itu tidak mungkin salah.’’[25]
Untuk menegakkan kehujjahan ijma’, ia
mengemukakan dalil-dalil naqli yang diambil dari Qs. Al Nisa’ ayat 115 dan
hadits yang diriwayatkan ibn Mas’ud dan Umar Ibn Khattab yang menerangkan tentang
perintah agar tetap bersama jama’ah umat Islam.
Menurutnya
satu-satunya penafsiran yang benar bagi perintah itu adalah kesamaan pendirian
dalam masalah halal dan haram bukan kebersamaan secara fisik. Jadi siapa yang
berpandangan sama dengan umat, itulah dianggap jama’ah sesuai dengan perintah
tersebut. Kelalaian hanya mungkin terjadi dalam perpecahan, sedangkan jama’ah
secara keseluruhan tidak mungkin melalaikan makna kitab, sunnah dan qiyas.[26]
Imam
al-Syafi’i menempatkan ijma’ pada urutan ketiga, setelah al Kitab dan al
Sunnah. Namun ia mendahulukan hadits ahad atas ijma’ yang disendikan ijtihad,
kecuali ada keterangan bahwa ijma’ disendikan naql dan diriwayatkan secara
mutawattir hingga sampai kepada Rasulullah SAW.[27]
d. Al Qiyas
Imam
al-Syafi’i telah menegaskan beberapa pokok pikirannya tentang qiyas adalah
sebagai berikut,
1. Bahwa setiap kasus yang terjadi
atas orang muslim pasti ada hukumnya, kalaupun hukum itu tidak dinyatakan
secara tegas pasti ada petunjuk kearahnya, dan hukum itu dapat dicari dengan
ijtihad yaitu qiyas.
2. Bahwa pengetahuan yang diperoleh
melalui qiyas itu adalah benar secara dhahir dan hanya berlaku bagi orang yang
menemukannya, tidak bagi semua ulama’, sebab hanya Allah yang mengetahui
hal-hal yang ghaib.
3. Qiyas itu ada dua tingkatan. Pertama,
sesuatu yang diqiyaskan itu tercakup oleh pengertian ashl (kasus pokok)
sehingga tidak akan ada perbedaan dalam mengqiyaskan. Kedua, sesuatu itu
mempunyai kesamaan dengan beberapa ashl, dalam hal ini ia harus diqiyaskankepada
ashl yang paling mirip dengannya.
4. Hukum masalah yang tidak ada
nashnya harus dicari dengan qiyas, namun kita dibebani dengan apa yang kita
anggap benar (Al haq ‘Indana) dan kebenaran itu bertingkat-tingkat sesuai
dengan kekuatan tunjukan dalil-dalinya.
5. Jika terjadi perbedaan pendapat,
para mujtahid harus mengamalkan hasil ijtihadnya masing-masing sebab pada
lahirnya itulah yang benar baginya, walaupun pada hakikatnya dua pendapat yang berbeda
tentang sesuatu tidaklah mungkin sama-sama benar.
6. Sekalipun dalam keadaan tidak mampu
mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya, orang tetap tidak boleh bertindak
hanya berdasarkan Ra’yu semata-mata tanpa didasari dalil.[28]
Qiyas
merupakan upaya menemukan sesuatu yang dicari melalui dalil-dalil sesuai dengan
khabar yang ada pada al Kitab dan al Sunnah, ijtihad adalah mencari sesuatu
yang telah ada tapi tidak tampak (‘ain qa’imah mughayyah) sehingga untuk
menemukannya diperlukan petunjuk dalil-dalil atauu upaya mempersamakan sesuatu
dengan sesuatu yang ada. Imam al-Syafi’i menegaskan dua kata, ijtihad dan qiyas
itu adalah dua nama satu makna (ismani li ma’na wahid).[29]
Pada
prinsipnya, Imam al-Syafi’i memandang bahwa qiyas berlaku secara umum pada
semua bidang hukum yang ‘illahnya dapat diketahui selain ruang lingkup ibadah,
karena ibadah telah cukup sempurna dari al Qur’an dan al Sunnah.[30] Dan dalam tataran
aplikasi terdapat beberapa kasus yang hukumnya telah ditetapkan dengan nash didukung
oleh alasan tertentu dengan jelas, namun mengingat kedudukannya sebagai
pengecualian atau penyimpangan, maka qiyas tidak diberlakukan kepadanya. Seperti
hudud, taqdirat dan rukhsah.
Dalam
al Risalah Imam al-Syafi’i mengatakan:
“Kasus
yang hukumnya ditetapkan Allah dengan nash tetapi kemudian Rasulullah
memberikan rukhsah pada bagian-bagian tertentu darinya, maka rukhsah tersebut
hanya berlaku sebatas yang beliau tetapkan itu dan bagian lain tidak dapat
diqiyaskan kepadanya. Demikian pula bila Rasulullah SAW sendiri menetapkan
suatu hukum secara umum, tetapi ia kemudian menetapkan Sunnah ynag menyimpang
darinya.’’[31]
e. Al Aqwal Al Sahaby
Al
Aqwal al Sahaby atau yang sering disebut dengan Qaul Sahabat ialah fatwa-fatwa
yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi SAW menyangkut hukum masalah-masalah yang
tidak diatur di dalam nash, baik Kitab maupun Sunnah.
Tentang
Qaul Sahabat, Imam al-Syafi’i membaginya menjadi tiga kelompok yaitu:
1. Pendapat sahabat yang memperoleh
kesepakatan (ijma’) dikalangan mereka. Pendapat yang seperti ini mempunyai
kekuatan mengikat dan harus dijalankan sebagai hujjah.
2. Pendapat sahabat yang beragam dan
tidak mencapai kesepakatan tentang pendapat yang seperti ini harus dilakukan
tarjih dengan mempedomani dalil-dalil dan yang harus diambil adalah pendapat yang
sesuai dengan Al Kitab, Al Sunnah, Ijma’ atau didukung oleh qiyas yang lebih
shahih.
3. Pendapat yang dikeluarkan oleh
seorang sahabat saja tanpa dukungan ataupun bantahan dari sahabat lain.[32]
Qaul
sahabat yang tidak termasuk lapangan ijtihad adalah qaul yang disepakati
(ijma’) dikalangan mereka. Maka qaul seperti ini harus dijadikan hujjah dan tidak memerlukan adanya sandaran ijma’ atau adanya nash. Sedangkan
qaul sahabat yang merupakan lapangan ijtihad adalah qaul yang beragam tidak
mencapai kesepakatan, dalam hal ini Imam al-Syafi’i memilih salah satunya.
Misalnya dalam masalah radd Imam al-Syafi’i mengambil pendapat sahabat Zaid Ibn
Tsabit dan masalah mirats jad (warisan kakek) bersama saudar baik
sekandung ataupun bukan, ia mengambil pendapat yang menjadikan kakek sebagai penghalang
saudara.[33]
[1] Badrun, Fiqih Muqaren, al-Fiqh
al-Muqaranu li al-Akhwal al-Syahsiyyah, juz.1, Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah, tt..
hlm. 366.
[2] Muhammad Ibn Idris al-Syafi,i,
Al Umm, Juz. V, Dar al Fikr, tt. Hlm. 263.
[3] Depag R.I. Al qur’an dan
Terjemahanya, Surabaya: Cv Karya Utama, 2000, hlm. 55.
[4] Ibid. hlm.56.
[5] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan
Islam; Suatu Study Perbandingan dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-negara
Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988, cet.1., hlm. 387-389.
[6] Al-syafi'i, Al-umm. Juz.V., (terj)
Ismail Yakub (et.el), jilid. VIII, Jakarta: CV. Faizan, cet.1., 1984, hlm. 260.
[7] Badrun, Al fiqhu Al Muqaranu
li Ahwalusyahsiyyah, op.cit. hlm. 366
[8] Imam Syafi’i membagi ilmu
menjadi dua bagian, pertama: ilmu amah yaitu ilmu yang harus diketahui oleh
ummat secara umum kecuali orang gila, seperti hokum sholat lima waktu, puasa ramadhan,
haji zakat, haram zina, haram membunuh, mencuri dan minum miras. Bagian ini diterangkan
dengan tegas didalam al Qur’an dan al
Sunnah mutawatir, ilmu ini dapat dengan mudah dapat dipelajari oleh sipa saja.
Kedua: ilmu khassah yaitu hukum-hukum syari’at
yang tidak dinashkan dalam al Qur’an dan al Sunnah atau ada nashnya tapi
mungkin di tak’wil, ilmu ini hanyalah orang-orang tertentu saja yang harus mengetahuinya,
karena orang yang mengetahui ilmu ini merupakan orang yang menguasai ilmu al
Kitab dan al Sunnah, mengetahui Aqwal al Sahabat dan mengetahui
pendapat-pendapat ulama’, orang yang menguasai ilmu inilah yang memegang
otoritas untuk ijtihad. TM Hasbi As Sidiqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab
dalam Membina Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jilid ke-2., 1973, hlm. 12.
[9] Al-Syafi’I Al Umm, juz VII,
op. cit., hlm. 246.
[10] Muhammad Ibn Idris Al syafi’i,
Al Risalah. Beriut: Dar Al Fikr, tt, hlm. 17-20.
[11] Ibid. hlm. 42-49.
[12] Lahmudin Nasution, Pembaharuan
Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001,hlm.66
[13] Ibid, hlm. 73
[14] M. Alfatih Suuryadilaga, (ed),
Setudi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003, hlm.287.
[15] Al Syafi’i, Al Risalah,op.
cit., hlm.79-85.
[16] Al Syafi,i, Al Umm, juz VII, op. cit., hlm. 301.
[17] Penafsiran ini dikaitkan
dengan beberapa ayat yang menyebutkan kata ‘’al hikmah’’ bersama ‘’al Kitab’’,
secara bersama-sama, iman kepada Allah dengan iman kepada Rasulnya, kewajiban
taat kepada rasul, serta fungsi sunnah sebagai penjelas bagi al Kitab. Al
Syafi’i, Al Risalah, op. cit., hlm. 78.
[18] Al Syafi’i, al Umm, juz VIII,
op. cit., hlm.623.
[19] Al Syafi’i, al Risalah, op.
cit., hlm. 22.
[20] Mengenai persyaratan suatu
hadits, secara rinci dapat dilihat pada al Syafi’i, al Risalah, hlm.370-372.
[21] Ibid.
[22] Al Syafi’i, al Umm, juz VIII,
op. cit., hlm. 591. lihat juga Lahmudin Nasutian, op. cit., hlm. 81.
[23] Al Syafi’i, al Risalah, op.
cit., hlm. 464.
[24] Ahl Ilmi yang dimakudkannya
ialah para ulama’ yang dianggap sebagai faqih dan fatwa serta keputusannya
diterima oleh penduduk di suatu negeri. Al Syafi’i, al Umm, juz VII, op. cit., hlm.
293.
[25] Ibid.
[26] Al Syafi’i, al Risalah, op.
cit., hlm. 401-402.
[27] TM Hasbi Ash Siddiqi, op.
cit., hlm. 28.
[28] Al Syafi’i, al Risalah, op.
cit., hlm. 477-502.
[29] Ibid, hlm. 504&477.
[30] M. Ali Hasan, Perbandingan
Majhab, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. IV, 2002, hlm. 212.
[31] Al Syafi’I, Al Risalah, op.
cit., hlm.545.
[32] Al Syafi’i, Al Risalah, op.
cit., hlm.597.
[33] TM Hasbi Ash Shiddiqi, Op. Cit,
hlm. 43.
No comments:
Post a Comment