KONSEP PENDIDIKAN PRENATAL DALAM ISLAM





Islam sangat unggul dalam memperhatikan anak-anak pada setiap fase kehidupan mereka, baik ketika masih janin, menyusui dan masa muda hingga dewasa. Dalam ajaran Islam, umat Islam diwajibkan untuk memelihara diri dan keluarganya dari kesengsaraan, kehancuran, atau kebinasaan api neraka, baik didunia maupun di akhirat. Cara pemeliharaan itu adalah dengan mematuhi ajaran dan hukum-hukum Islam mengenai pergaulan muda-mudi, perkawinan, pergaulan suami-istri, pendidikan anak, pemilikan/penguasaan harta dan lain-lain yang berkaitan dengannya.  

Keluarga merupakan pusat pendidikan pertama, tempat anak berinteraksi dan memperoleh kehidupan emosional, sehingga membuat keluarga mempunyai pengaruh yang dalam terhadap anak. Keluarga merupakan lingkungan alami yang memberi perlindungan dan keamanan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok anak. Keluarga juga merupakan lingkungan pendidikan yang urgen, tempat anak memulai hubungan dengan dunia sekitarnya serta membentuk pengalaman-pengalaman yang membantunya untuk berinteraksi dengan lingkungan fisik dan sosial.[1]

Pada dasrnya ada dua tujuan pokok lembaga keluarga yang secara otomatis akan menciptakan pula kesehatan mental keluarga. Kedua tujuan pokok itu ialah: 

1. Mendapatkan ketentraman hati, terhindar dari kegelisahan dan kebimbangan yang tidak berujung pangkal. 

2. Melahirkan keturunan yang baik (saleh).[2]

Modal pertama untuk itu ialah naluri rasa cinta terhadap lawan jenisnya, yang makin lama makin berkembang dalam bentuk yang makin konkret. Inilah yang disebut mawaddah, yaitu hal-hal yang membangkitkan kemauan dan menimbulkan kehendak untuk memadu kasih sayang, mengundang cumbu-rayu yang akhirnya memadukan hati dan jiwa. Mawaddah banyak yang membutuhkan segala yang serba duniawi: rumah, kendaraan dan jaminan masa depan. Melalui perkawinan, mawaddah atau cinta ini akan berkembang menjadi rahmah, yaitu rasa saling menyantuni antara suami-istri lantaran jalinan kasih sayang; bukan karena daya tarik fisik. 

Hal ini sesuai dengan Firman Allah surat Ar-Rum, ayat 21;

و من آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها و جعل بينكم مودة و رحمة إن في ذلك لآيت لقوم يتفكرون

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tetram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Qs.Ar-Rum, ayat 21).[3]

Tujuan perkawinan yang kedua ialah mendapatkan keturunan yang baik. Fungsi kedua ini merupakan akibat dari fungsi yang pertama, bertujuan untuk melestarikan spesies manusia melalui reproduksi huingga menghasilkan keturunan.[4]

Perkawinan itu diharapkan akan mampu melahirkan keluarga yang sakinah (tentram dan damai), untuk mewujudkan hal itu diperlukan kemampuan memfungsikan tujuh fungsi keluarga sebagai berikut; 

1. Fungsi ekonomis: keluarga merupakan satuan sosial yang mandiri, yamg disitu anggota–anggota keluarganya mengkonsumsi barang-barang yang diproduksi. 

2. Fungsi sosial: keluarga memberikan prestis dan status kepada anggota-anggotanya. 

3. Fungsi edukatif: keluarga memberikan pendidikan kepada anak-anak dan juga remaja. 

4. Fungsi protektif: keluarga melindungi anggota-anggotanya dari ancaman fisik, ekonomis dan psiko-sosial. 

5. Fungsi religius: keluarga memberikan pengalaman keagamaan kepada anggota-anggotanya. 

6. Fungsi rekreatif: keluarga merupakan pusat rekreasi bagi anggota-anggotanya.
7. Fungsi afektif: keluarga memberikan kasih sayang dan melahirkan keturunan.[5]

Islam adalah agama Allah, baik mengenai akidah maupun hukum, yang diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad dan telah diwajibkan rasulullah ini untuk menyeru umat manusia kepada agamanya itu. Rasulullah Muhammad telah menerima wahyu itu dan telah menyampaikannya kepada umatnya persis seperti wahyu yang diterimanya. Rasulullah Muhammad melalui wahyu, telah memberi nama bagi agama yang dibawanya itu dengan dinnullah, dinnul Islam, yaitu agama Allah, atau agama Islam.[6]

Islam memandang pendidikan sebagai proses yang terkait dengan upaya mempersiapkan manusia untuk mampu memikul taklif (tugas hidup) sebagai khalifah dimuka bumi. Untuk maksud tersebut, manusia diciptakan dengan potensi berupa akal dan kemampuan belajar. 

Secara sederhana, istilah pendidikan dalam Islam, adalah proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam.[7]

Dapat dipahami bahwa pendidikan prenatal dalam Islam adalah pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah, mendapatkan justifikasi dan perwujudan secara operasional dalam proses pembudayaan dan pewarisan serta pengembangan ajaran agama, budaya dan peradaban Islam dari generasi kegenerasi yang berlangsung sepanjang sejarah umat Islam yang dilakukan ketika anak masih dalam kandungan. 

Tujuan yang hendak dicapai dalam paedagogis Islami adalah mendapatkan keturunan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, berilmu dan beramal saleh, berbudi luhur, berbakti kepada orang tua, memiliki ketrampilan, cakap memimpin, cakap mengolah isi bumi untuk kemakmuran hidup didunia dan mampu bertanggung jawab terhadap perjuangan pembangunan agama, bangsa, dan Negara.[8]

Tujuan tersebut tidak dapat dicapai kecuali melalui upaya pendidikan yang terencana, terpadu dan terarah sesuai dengan ajaran Islam tentang pendidikan. Untuk itu, setiap orang tua harus memulainya dengan langkah-langkah sebagai berikut; 

Pertama : Persiapan 

Menurut Islam permulaan pendidikan Islam diklasifikasikan menjadi dua, yakni permulaan pendidikan Islam secara tidak langsung, yang dimulai semenjak seseorang menentukan jodohnya dan permulaan pendidikan secara langsung, yang dimulai saat bayi berada dalam kandungan sampai akhir hayat.[9]

Mastuhu dalam disertasinya yang berjudul Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren yang diterbitkan INIS telah menyinggung mengenai pendidikan itu telah dimulai pada waktu pemilihan jodoh dengan istilah penuh kehati-hatian dan penuh instrospeksi terhadap orang yang dijadikan sebagai pendamping.[10]

Dalam memilih jodoh, Rasulullah memberikan petunjuk dalam hadis riwayat Muslim dan Thirmidhi, sebagai berikut; 

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال تنكح المرأة لأربع لمالها و لحسبها و لجمالها و لدينها فاظفر لذات الدين تربت يداك

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW; beliau bersabda: Wanita dinikahi karena empat perkara: kekayaannya, keturunannya, kecantikannya dan keagamaannya. Ambillah yang beragama (maksudnya: mengamalkannya), niscaya anda akan beruntung.” (H.R. Muslim)[11]

Sedangkan untuk memilih calon mempelai laki-laki, seorang perempuan melalui orang tuanya diberi petunjuk oleh Nabi Muhammad untuk memilih, dalam hadis riwayat Tirmidhi,

عن أبي حلتم المزني قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا جاءكم من ترضون دينه و خلقه فنكحوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض و فسادا

Dari Abi Hatim Al-Muzanni, Rasulullah saw bersabda: Jika kepadamu datang (meminang) seorang pemuda yang kamu senangi akan agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah putrimu dengannya, jika kamu tidak melakukannya maka akan terjadilah fitnah dan bencana yang banyak.” (H.R Tirmidzi)[12]

Persiapan mendidik anak menurut paedagogis Islami, yaitu memilih istri yang terutama taat mengamalkan agama dan memilih suami yang taat beragama (mengamalkan agama) dan akhlak yang baik, serta bukan termasuk saudara dekat. 

Sebelum melakukan pernikahan seorang calon suami maupun istri harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang sudah diatur oleh agama dan adanya kematangan untuk berumah tangga. Kematangan untuk berumah tangga dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu kematangan jasmani dan rohani. Kematangan rohani ditentukan  berdasarkan tingkat usia kronologis, minimal sudah akil-baligh. Sedangkan kematangan rohani ditentukan berdasarkan kesiapan mental untuk berumah tangga.[13]

Kedewasaan dalam bidang fisik-biologis, sosial dan ekonomi, emosi dan tanggung jawab, pemikiran dan nilai-nilai kehidupan serta keyakinan atau agama, akan menyebabkan keluarga yang terbentuk akan mempunyai saham yang besar untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan dalam keluarga.  

Adapun menurut Dadang Hawari, dalam memilih calon suami maupun istri dalam persiapan perkawinan meliputi berbagi faktor, yaitu; faktor biologik atau fisik, mental atau psikologik, psikososial dan spiritual.[14]

Persiapan perkawinan yang meliputi aspek fisik/ biologik antara lain; (1) usia ideal menurut kesehatan dan juga program KB, usia antara 20-25 tahun bagi wanita dan usia antara 25-30 tahun bagi pria. (2) menjaga kesehatan jasmani dan rohani. 

Persiapan perkawinan yang meliputi aspek mental psikologik, antara lain; (1) kepribadian, kematangan kepribadian merupakan faktor utama dalam perkawinan. Pasangan berkepribadian “mature” dapat memberikan kebutuhan afeksional, yaitu kasih sayang yang sangat penting untuk keharmonisan keluarga. (2) pendidikan, taraf kecerdasan dan pendidikan perlu di perhatikan, serta latar belakang pendidikan agama. 

Persiapan perkawinan yang meliputi aspek psiko sosial dan spiritual, antara lain; (1) agama, faktor persamaan agama penting bagi stabilitas rumah tangga. (2) latar belakang sosial keluarga, sebab latar belakang keluarga berpengaruh pada kepribadian anak yang dibesarkan. (3) latar belakang budaya, faktor adat-istiadat perlu diketahui untuk saling menghargai. (4) pergaulan. 

Selain pemilihan jodoh, persiapan  pendidikan janin, ditunjang pula oleh ajaran-ajaran lain yang terkait dengan pernikahan,

1.  Pada waktu akad nikah 

  Sebelum melaksanakan akad nikah, calon pengantin disegarkan penghayatannya dalam beragama. Keduanya dituntun memohon ampun  kepada Allah dengan memgucapkan syahadatain, dan berdoa kepada Allah agar dilindungi dari perbuatan maksiat, dan sebelumnya penghulu membacakan khutbah nikah,[15] yang didalamnya tedapat hikmah berupa pendidikan akidah, rasa syukur,ayat tentang ketaqwaan, perbuatan baik, ampunan, serta kebahagiaan, tentang perjalanan nasab dan pemberian rizki dari Allah, dan tentunya tentang kebahagian suami istri.[16]

2. Pada saat berjima’ 

Perkawinan atau pernikahan mempunyai lima faedah, seperti yang diterangkan oleh Imam Al-Ghazali dalam karya besarnya, Ihya’ Ulumuddin. Faedah-faedah pernikahan antara lain adalah untuk memperoleh keturunan, menyalurkan gejolak syahwat, menghibur hati dan melepas rindu, mengatur rumah tangga, dan melakukan mujahadah (melakukan tugas kewajiban sebagai suami atau istri dan perjuangan melawan nafsu).[17]

Menurut Islam, dalam suatu pernikahan melakukan sanggama antara suami-istri merupakan bagian dari ibadah yang akan memperoleh pahala jika bertujuan untuk mensyukuri nikmat Allah, memelihara kesinambungan insani, serta mencurahkan cinta dan kasih sayang yang dapat dinikmati oleh masing-masing pihak secara adil. 

Agama Islam tidak hanya membatasi materi petunjuk tentang moral perkawinan, tetapi juga menetapkan petunjuk tentang sopan santun melakukan hubungan kelamin dengan istri. Adapun sopan-santun sanggama sebagaimana petunjuk Rosullullah diantaranya; berwudhu, melakukan shalat sunnah dua raka’at secara berjamaa’ah, mengajak berbicara dengan lemah-lembut dan bercengkrama, membangkitkan syahwat istri dengan cumbuan dan rayuan sebelum melakukan hubungan seksual, membaca do’a ketika suami-istri akan melakukan senggama, hendaknyalah menutupkan selimut diatas tubuh mereka (tidak telanjang bulat), menyempurnakan hajad suami maupun istri, jika telah selesai bersuci sebelum tidur.[18]

3.  Mengkonsumsi makanan halal dan baik 

Diharapkan persiapan tubuh sebelum hamil kurang lebih tiga sampai enam bulan sebelum hamil, suami juga ikut bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang sehat, pemenuhan kebutuhan dan menjaga kesehatan. Pada seorang wanita yang sedang hamil, makanan yang dimakan sebagian diperuntukkan bagi pertumbuhan bakal anak yang dikandungnya, baik pertumbuhan fisik maupun pertumbuhan jiwanya. 

Maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan secara seksama, yaitu; 

a. Mutu makanan 

Makanan yang bermutu secara sederhana dapat dikatakan makanan yang memenuhi standar kesehatan, 

1)  Memiliki kandungan gizi, vitamin yang cukup.

2)  Bebas dari pencemaran.

3)  Tidak kadaluarsa.

4)  Jumlah yang cukup sesuai dengan aturan makanan yang lazim.

5)  Dalam hal makanan itu perlu dimasak terlebih dahulu.

b.  Sumber dan cara perolehan makanan

Sumber dan caraperolehan makan tidak melanggar hukum, baik hukum agama, hukum negara, maupun hukum-hukum lain yang mengatur kehidupan manusia.[19]

Kedua : Pelaksanaan Pendidikan 

Pendidikan anak secara aktif, menurut ajaran paedagogi Islam, harus dimulai sejak masa diketahui bahwa anak tersebut sudah dalam kandungan istri (prenatal) dengan cara atau tehnik pendidikan yang Islami. Setelah diketahui bahwa istri sudah positif mengandung, pendidikan akan sudah dimulai secara aktif melalui ibunya.[20]


[1] Hery Noer Aly dan Munzir. S, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), hlm.203
[2] Nina Surtiretna, Bimbingan Seks Suami Istri “Pandangan Islam dan Medis”, (Bandung: Rosda Karya, 2002), Cet. IX, hlm.5
[3] Yayasan Penyelenggara Terjemahan AlQur’an, Al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1989)., hlm. 644
[4] Nina Surtiretna, Op. Cit, hlm.5-9
[5] Ibid, hlm.14
[6] Baihaqi A.K, Mendidik Anak Dalam Kandungan, (Jakarta: Darul Ulum, 2001), hlm.12
[7] Muhaimin,  Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), hlm.293
[8] Baihaqi A.K, op.cit., hlm.27
[9] Widodo Supriyono, “ilmu pendidikan Islam Teoritis dan Praktis”,dalam  Ismail S M (Eds.),  Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.45
[10] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS,1994), hlm. 7
[11] Abu Husyain Muslim Ibn Hajjaj al-Qusyairi al-Nisaburi,  Shohih Muslim V, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah,), Juz XVI,  hlm.. 430.
[12] Abi Isa Muhammad Ibnu Isa Ibnu Surat, Sunan Thirmidhi III, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, tt), hlm.1075
[13] Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Saleh “Telaah Pendidikan Terhadap Sunnah Rasul Allah Saw”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.37-38
[14] Dadang Hawari, Alqur’an, Ilmu Kedokteran, Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa,1997), hlm.211
[15] Baihaqi A.K, op.cit., hlm.19
[16] Mutiarani Nur Rahmi, Pendidikan Janin Menurut F Rene Van D Carr dan Marc Lehrer dalam Prespektif Pendidikan Islam, (Semarang; Skripsi Fakultas Tarbiyah  IAIN Walisongo Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2004), hlm.30
[17] Nina Surtiretna, op.cit., hlm.29
[18] Ibid., hlm.33-45
[19] IKAPI, Bagaimana Anda Mendidik Anak, (Jakarta: Ghalia Indonesia, t.th ), hlm.56-57
[20] Baihaqi A.K, op.cit., hlm.22

3 comments:

  1. https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2725217752770351033#editor/target=post;postID=2746100588025839837;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=0;src=postname

    ReplyDelete
  2. http://ejournal.iain-tulungagung.ac.id/index.php/taalum/article/view/755

    ReplyDelete
  3. https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/jurnalmuallimuna/article/view/743

    ReplyDelete