Sayid
Muhammad Husain Fadhlullah dalam bukunya yang berjudul “Dunia Wanita Dalam Islam”,
membagi cinta menjadi empat macam,[1] yaitu:
a. Cinta Spiritual
Cinta
ini bertitik tolak dari sifat-sifat yang berharga (mulia) yang terwujud dalam
diri Kekasih (al-Mahbub). Kita terkadang mencintai seorang pahlawan,
orang yang dermawan, orang yang alim, orang yang ikhlas, dan lain-lain. Cinta
semacam ini adalah suatu perasaan yang berasal dari akal dan sampai ke hati,
lalu ia bergerak dalam bentuk penghormatan dan hubungan emosional terhadap
orang lain.
b. Cinta Inderawi (al-hub al-hissy)
Yaitu
cinta yang dibangkitkan secara naluriyah oleh sifat-sifat keindahan yang ada
pada orang lain, persis sebagaimana keadaan cinta pria pada wanita, atau cinta
wanita kepada pria. Cinta ini biasanya bertitik tolak dari nurani yang
terkadang terjadi di bawah alam sadar, namun ia melepaskan perasaan ini secara
ringan, yang terkadang tidak dirasakannya oleh keduabelah pihak (laki-laki dan perempuan).
c. Cinta Naluri (al-hub al-gharizy)
Cinta
ini ada pada keadaan ketidakseimbangan jiwa. Atau cinta yang menyimpang dari
tempatnya yang alami ke jenis kelamin yang sama. Misalnya wanita akan mencintai
sesama wanita, sebagaimana terjadi keadaan penyimpangan seksual antara sesama wanita
(lesb1an), atau lelaki yang mencintai sesama lelaki (h0mo).
d. Cinta Rohaniah dan Emosional (al-hub
ar-ruhy al-‘athify)
Yaitu
cinta ayah dan ibu kepada anak-anak mereka, serta cinta seseorang kepada
temen-temannya dan kaum kerabatnya dan lain-lain. Cinta tersebut bersifat
fitri, karena manusia akan tertarik dengan orang yang ada ikatan dengannya,
seperti ikatan kebapakan, keibuan, kekeluargaan dan persahabatan.
Sedang
Ibn ‘Arabi membedakan cinta menjadi tiga macam, yaitu:[2]
a. Cinta Ilahiah (hibb Ilahi)
Yaitu
cinta Khalik kepada makhluk di mana Dia menciptakan diri-Nya, yaitu menerbitkan
bentuk tempat Dia mengungkapkan diri-Nya, dan sisi lain cinta makhluk kepada
Khaliknya, yang tidak lain adalah hasrat Tuhan yang tersingkap dalam makhluk,
rindu untuk kembali kepada Dia, setelah Dia merindukan sebagai Tuhan yang tersembunyi,
untuk dikenal dalam diri makhluk inilah dialog abadi antara pasangan Ilahi
manusia.
b. Cinta Spiritual (hibb ruhani)
Cinta
yang terletak pada makhluk yang senantiasa mencari wujud di mana bayangannya
dia cari di dalam dirinya, atau yang didapati olehnya bahwa bayangan (citra,
image) itu adalah dia sendiri. Inilah cinta yang tidak mempedulikan, mengarah,
atau menghendaki apapun selain kekasih agar terpenuhi apa yang dia kehendaki.
c. Cinta Alami (hibb tabi’i)
Yaitu
cinta yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa
mempedulikan kepuasan kekasih.
Dilihat
dari segi subjek dan objeknya, cinta dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :[3]
a. Cinta Allah Kepada Hamba-Nya
Yaitu
kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hambanya, sebagimana
kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi cinta
lebih khusus daripada rahmat. Kehendak Allah dimaksudkan untuk menyampaikan pahala
dan nikmat kepada si hamba. Inilah yang disebut rahmat. Sedangkan kehendak-Nya
untuk mengkhususkan kepada hamba, suatu kedekatan dan ikhwal ruhani yang luhur
disebut sebagai mahabbah.
b. Cinta Hamba Kepada Allah
Yaitu
keadaan yang dialami dalam hati si hamba yang mendorong untuk ta’zhim
kepada Allah, mempreoritaskan ridha-Nya, hanya memiliki sedikit saja kesabaran
dalam berpisah dengan-Nya, merasakan kerinduan yang mendesak kepada-Nya, tidak
menemukan kenyamanan dalam sesuatu pun selain-Nya dan mengalami keceriaan hatinya
dengan melakukan dzikir terus-menerus kepada-Nya di dalam hatinya.
Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, seorang ahli hukum Islam dan psikolog yang pakar mengenai
cinta, membagi mahabbah (cinta) menjadi empat macam, yaitu:
a. Mencintai Allah
Dengan
mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari adzab Allah, atau mendapat
pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah salib, yahudi dan lain-lain
juga mencintai Allah.
b. Mencintai Apa Yang Dicintai Allah
Cinta
inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan
mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling cinta kepada Allah adalah
paling kuat dengan cinta ini.
c. Cinta Untuk Allah Dan Kepada Allah
Cinta
ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
d. Cinta Bersama Allah
Cinta
jenis ini syirik, setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk
Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah
cinta orang-orang musyrik.[4]
Menurut
Ibnu Miskawaih, cinta dibagi menjadi empat jenis. Pertama, adalah cinta
yang terjalin dengan cepat, tapi pupusnya juga cepat. Cinta ini timbul karena
kenikmatan. Kedua, cinta yang terjalin dengan cepat tapi pupusnya
lambat. Cinta ini timbul karena kebaikan. Ketiga, adalah cinta yang
terjalin lambat, tapi pupusnya cepat cinta ini ditimbulkan karena manfaat. Keempat,
adalah cinta terjalin lambat, dan pupusnya lambat. Cinta ini timbul karena
panduan sebab-sebab di atas, dan paduan ini mencakup kebaikan.[5]
Dalam
ajaran agama Islam juga dikenal dua cinta, yaitu cinta majazi dan cinta hakiki. Cinta majazi adalah cinta yang
mendefinisikan dirinya sendiri dalam kesenangan dan kenikmatan badani, atau
kenikmatan ragawi, atau kenikmatan jasadi. Tujuannya adalah “pemuasan” nafsu. Sedang
cinta hakiki ialah apa yang sebaliknya dari cinta majazi. Pusat cinta hakiki bukan ego atau nafsu individual,
tetapi pusat cinta tersebut adalah yang Ilahi.[6]
Cinta
majazi membuat si pecinta dalam kejenuhan. Sebaliknya, cinta hakiki akan menjadikan si pecinta kian
bahagia dengan cintanya. Dalam cinta majazi, si pecinta berusaha agar objek
yang dicintainya tergila-gila padanya. Artinya, bahwa ketertarikan itu harus
terjalin secara mutlak. Apabila si pecinta memburu cinta kekasihnya., tetapi
kekasihnya tidak peduli akan cintanya, atau sebaliknya, maka itulah pengkhianatan.
Kalau sudah begitu, tali cinta akan terputus dan perpisahan pun tak akan terelakakan
lagi. Namun, dalam cinta hakiki semua itu tidak berlaku.
Pecinta
tetap memburu cinta Tuhannya, dan semakin diburu, Sang Maha Pecinta akan menyambut cinta si pecinta dengan agungnya.
Cinta pecinta kepada-Nya bukan tidak terbatas, tidak pula mengalami kepedihan
dan kesedihan. Akibat penolakan atau kecemburuan, apalagi kehancuran.
Namun
cinta majazi bisa menjadi jalan untuk mencapai cinta hakiki, apabila si pecinta
dengan kesaksiannya yang mendalam, mengetahui hakikat keindahan. Untuk
mengetahui itu, ia harus kembali ke dalam dirinya dan menyaksiannya, karena
pengenalan terhadap bentuk keindahan itu hanya mungkin dilakukan dalam dirinya.
Dari kesaksian itu ia harus melanjutkan perjalanan cintanya pada keindahan maha
tinggi Tuhannya. Dengan kata lain, manusia mampu menemukan cinta sejatinya lewat
cinta majazinya. Metode ini memang sangat sulit untuk diterapkan, kecuali oleh
insan-insan istimewa saja.
[1] Sayid Muhammad
Husain Fadhlullah, Dunia Wanita Dalam Islam, Penerbit Lentera, Jakarta, hlm.
143.
[2] Henry Corbin, Imajinasi
Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, Lkis, Yogyakarta, 2002, hlm. 187.
[3] Syamsun Ni’am,
Cinta Ilahi Perpestif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Risalah Gusti,
Surabaya, 2001, hlm. 120.
[4] Ibid., hlm.
122.
[5] Ibnu
Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Trej, Helmi Hidayat, Mizan, Bandung,
1997, hlm. 133-134.
[6] Muhammad
Muhyidin, op.cit., hlm. 143-145.
No comments:
Post a Comment