Dalam
estetika sufisme, cinta mempunyai makna luas. Cinta bukan dimaknakan secara
umum, melainkan lebih pada keadaan dan tingkatan rohani yang membawa seseorang
mencapai pengetahuan ketuhanan. Kita menemukan bahwa di dalam bahasa Arab cinta
diungkapkan dalam berbagai macam kata, dengan pengertian yang berbeda-beda
secara substansial dan kontekstual, diantaranya adalah :
a. Mahabbah
Secara
etimologi, ‘al-hubb’ (cinta) adalah bentuk generik dari ‘al-habb’
yang berarti inti hati. Al-Hujwiri mengatakan bahwa kata mahabbah berasal dari
kata habbah berarti “benih-benih yang jatuh di padang pasir”. Diartikan
demikian karena memang cinta adalah sumber kehidupan.[1]
Ada
juga yang mengatakan bahwa kata mahabbah yang berasal dari kata hubb
berarti “tempayan yang berisi penuh dan tenang”. Dikatakan demikian karena
cinta memenuhi hati dengan objek yang dicintai sehingga tidak memungkinkan hati
gelisah terhadap objek yang lain.[2]
Al-Qusyairi
berpendapat bahwa cinta (mahabbah) dapat dikatakan dengan kata hubab
yang berarti gelembung-gelembung yang terbentuk di atas permukaan air ketika
hujan besar. Jadi, cinta (mahabbah) menggelembungkan hati ketika ia haus
dan berputus asa untuk bertemu dengan kekasihnya. Dia juga mengatakan bahwa cinta
berasal dari kata hibb (kendi air) karena ia berisi air, dan manakala ia
penuh, tidak ada lagi tempat untuk sesuatu yang lain. Manakala hati penuh
dengan cinta, tidak ada lagi tempat di dalamnya untuk apapun selain dari
kekasih.[3]
Pendapat
lain mengatakan, al-mahabbah adalah gerakan hati yang tiada henti
mengingat sang kekasih dan ketenangannya tatkala bersanding dengannya. Artinya
berdampingan dengan orang yang dicintai selama-lamanya, seperti yang dikatakan
dalam sebuah syair:
Aku
merasa aneh terhadap diriku
karena
aku mencintai mereka
kutanya
setiap orang yang berlalu
padahal
mereka bersanding bersama
mataku
mencari-cari selalu
padahal
mereka tetap di tempatnya
hatimu
dirundung rindu
padahal
mereka ada di antara tulang iga[4]
Ada
tiga pengertian dasar dari kata mahabbah (cinta). Pertama,
“kesenantiasaan dan ketetapan”. Kedua,
“cinta terhadap sesuatu” (al-abbat min al-syai’). Ketiga, “sifat
berkecukupan” (walk al-qitr). Pengertian dasar ini memberikan arti bahwa
mahabbah, merupakan suatu wujud ketetapan arti yang tidak mau berpisah (al-luzm)
dengan sesuatu yang dicintainya, dan sesuatu yang dicintainya itu sudah cukup
baginya sehingga ia tidak akan mungkin lagi mencintai yang lain.[5]
b. ‘Isyq
Menurut
Rumi, ‘isyq adalah mahabbah yang tidak terbilang banyaknya. Dalam
literatur tasawuf, ‘isyq diilustrasikan sebagai “cinta majazi” yang
diharapkan menjadi eskalator menuju tower “cinta sejati”. Menurut Ibn ‘Arabi, ‘isyq
merupakan fase tertinggi dari jiwa manusia, sekaligus awal pencapaian
kesempurnaannya, hingga kemudian cinta itu “lenyap” dan melebur dalam daya
tarik Allah.[6]
c. Syauq
Kata
ini termasuk salah satu istilah cinta. Di dalam Ash-Shahhah dikatakan, “Asy-Syauqu
wal-Isytiyaq” adalah pergumulan jiwa terhadap sesuatu. Jika dikatakan “Syaqani
asy-syai’u”, artinya Dia merindukanku dan aku merindukan-Nya. Jika
dikatakan, “Tasyawwaqtu”, artinya kerinduan terhadap dirimu bergejolak.[7]
Kerinduan
merupakan bara dan kobaran api cinta yang bersemayam di dalam hati orang yang
mencinta. Kerinduan inilah yang mendorong seseorang untuk selalu berdekatan dan
berhubungan dengan orang yang dicintai.
d. Mawaddah
Kata
lain yang mendekati cinta adalah mawaddah. Ia berasal dari kata wudd
yang berarti al-hubb al-katsir (cinta yang deras). Menurut pakar leksikografi[8] Al-Qur’an ar-Raghib
al-Ishfahani, bila mahabbah hanya sebatas kasih yang tersembunyi dalam lubuk
hati seorang insan, maka mawaddah lebih dari itu.[9]
e. Rahmah
Kata
lain yang juga bersignifikasi dengan mahabbah adalah rahmah. Ia
berasal dari kata rahm, yang berarti rasa kasih yang mendorong munculnya
perbuatan baik terhadap yang dikasihi (objek kasih).[10]
f. Uns
Uns
berarti kenikmatan (kemesraan) karena bercumbu dengan kekasih, Allah swt. Imam
Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Ketahuilah, Allah mempunyai hembusan di
hari-harimu”. Itu berarti setiap hari, Allah memberikan hembusan kepada kita.[11]
g. Ulfah
Kata
ulfah berasal dari kata kerja alifa, yang berarti mencintai. Ia
mewakili subjek (pecinta). Kata benda ilf mewakili objek (yang dicintai,
kekasih). Sedangkan kata alafa berarti “memadukan”. Menurut ad-Dailami,
kata kerja alafa lebih signifikan karena secara harfiah lebih mencakup
kedua pihak, pecinta dan yang dicintai.[12]
Orang
yang mempunyai rasa cinta pasti punya rasa rindu. Kerinduan untuk berjumpa dan
kehendak melepaskan rasa kangen selalu hidup di dalam hati manusia. Sudah
dijelaskan di atas bagaimana rasa rindu itu mendorong untuk cepat berjumpa
dalam keadaan tenang dan damai di dalam hati seseorang ingin menyampaikan
perasaan hatinya dan keluh kesah atau rasa gembira kepada yang dirindukannya.
Orang
yang mabuk dalam bercinta dengan asyik masyuk-nya, ia berada di dalam
suasana tanpa batas. Dengan seluruh kerinduannya ia menyampaikan perasaan dan
isi hatinya, bahagia dan kenikmatannya berjumpa serta memandang wajahnya
sepenuh hati. Demikian halnya seorang mukmin yang sedang bercinta dengan Allah Al-khalik
Rabbul ‘Alamin, ketika ia bermuwajjahah (bertatap muka) dengan Rabb-nya itu, menyampaikan seluruh
kerinduannya, lalu memandang-Nya dengan sepuas hati tanpa ada satupun yang menghalanginya. Karena
ia berada dalam posisi berhadapan melalui ma’rifat yang sempurna. Makin besar
kerinduannya, makin besar pula nikmat yang diperolehnya.[13]
Dalam
mendefinisikan cinta, hingga saat ini tak seorang pun yang dapat
mendefinisikannya secara tepat dan sempurna. Karena ketika orang mendefinisikan
cinta, sesungguhnya ia mendefinisikannya hanya dari sudut pandang yang mampu ia
serap. Artinya, ada bagian dari “tubuh’ cinta yang tidak mampu mereka serap hingga
tidak bisa mendefinisikannya. Seperti kata Ibn ‘Arabi, “Jika seseorang mengaku
bisa mendefinisikan cinta, jelaslah ia masih belum mengenalnya. Jika ada orang
yang berkata, “Aku sudah kenyang dengan cinta”, ketahuilah, ia masih buta
tentang cinta, kerena tak seorangpun dikenyangkan oleh cinta”.[14]
[1] Muhammad Muhyidin, op.cit.,
hlm. 100.
[2] Ibid.
[3] Asfari MS. Dan Otto Sukatno CR,
Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2005, hlm.
57-58.
[4] Ibnu Qayyim Al-jauziyyah, Taman
Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Darul Falah, Jakarta, hlm. 7.
[5] Eko Harianto, Mencari Cinta
Sejati, Hakikat, Makna, dan Pencari Jati Diri, Saujana, Yogyakarta, 2005, hlm.
37.
[6] Muhsin Labib, op.cit., hlm.
29-30.
[7] Ibnul Qayyim, op.cit., hlm.
15-16.
[8] Leksikografi yaitu penyusunan
kamus.
[9] Muhsin Labib, op.cit., hlm. 32.
[10] Ibid., hlm. 33.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hlm. 33-34.
[13] Djamaluddin Ahmad Al-Buny, Menelusuri
Taman-Taman Mahabbah Shufiah, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2002, hlm.
41-42.
[14] Muhammad Muhyidin, op.cit.,
hlm. 109.
No comments:
Post a Comment