Beragam
sekali orang di dalam mendefinisikan cinta, dan semua itu tergantung dari
pengalaman mereka masing-masing. Ada yang mengatakan bahwa cinta ialah garam.
Hidup tanpa cinta bagaikan sayur tanpa garam. Jadi, kalau orang dalam hidupnya
tidak memiliki cinta, maka hidupnya tidak berarti. Supaya kita tidak condong
dan hanyut pada ekstremitas tertentu, maka cinta perlu dibagi dalam beberapa
jenis dan kategori. Muhidin M. Dahlan dalam bukunya “Mencari Cinta”, membagi cinta
dalam empat kategori, yaitu cinta erotis (erotic love), cinta rasional (rational
love), cinta romantis (romantic love), dan cinta agape (god love).[1]
a. Cinta Erotis
Disebut
cinta erotis atau cinta biologis, dikarenakan pada cinta ini daya tarik manusia
antara satu dengan yang lain bersifat badaniah. Titik orientasi cinta ini
berpusat pada kepuasan diri sendiri (egosentrisme). Seseorang dicintai sejauh
ia dapat memenuhi kenikmatan seksual. Dalam hal ini, cinta dilihat sebagai
suatu perbuatan biologis atau fisiologis. Cinta seperti ini akan cepat hilang manakala
pasangannya sudah tidak menarik lagi.
Cinta
erotis hampir sama dengan cinta binatang. Kesamaannya sama-sama bertumpu pada
dorongan “instingtif”. Perbedaanya terletak pada cara mengendalikan unsur
intingtif tersebut. Pada manusia masih memiliki kesanggupan untuk mengendalikan
daya seksualnya sesuai dengan hakekat dan martabat kemanusiaannya. Maka bisa
saja manusia akan sama dengan binatang apabila manusia tidak sanggup
mengendalikan dorongan seksualnya itu. Megan Tresidder berpendapat bahwa cinta
erotis pada esensinya adalah simfoni mempertentangkan impuls-impuls dan
sensasi-sensasi.[2]
b. Cinta Rasional
Jenis
cinta semacam ini bersifat rasional atau dapat dipersepsi oleh nalar. Biasanya
cinta rasional ini berbentuk material. Orang yang menganut cinta ini
beranggapan bahwa apresiasi terhadap keindahan sebagai bentuk cinta yang
merupakan perpaduan jiwa dan akal. Seperti ucapan Pitirin Sorokin dalam
pengantar bukunya The Ways and Power of Love: “Pikiran yang waras tidak
mempercayai sama sekali kekuatan cinta. Bagi kita, cinta tampak sebagai suatu
hal yang menyesatkan. Kita menyebutnya penipuan diri, merupakan candu yang
meracuni pikiran manusia, omong kosong yang tidak ilmiah dan khayalan yang tidak
ilmiah pula”.[3]
c. Cinta Romantis
Cinta
romantis adalah cinta yang tidak hanya difikirkan tetapi juga dirasakan. Bagi
penganut cinta ini memandang bahwa cinta adalah untaian bait-bait puisi yang
menepuk-nepuk jiwa yang sedang dilanda perindu. Cinta adalah pemilik rasa dan
hanya rasa. Maka tiba-tiba saja orang yang mangalami cinta semacam ini berubah
manjadi pujangga yang bisa mengubah kepedihan menjadi barisan kata-kata yang
indah.
d. Cinta Religius / Agape
Cinta
ini merupakan sebentuk ritus penyerahan diri total kepada sang kekasih.
Penganut cinta seperti ini tidak pernah berkeluh kesah sedikitpun karena jenis
cinta ini adalah lebih tinggi tingkatannya dari jenis cinta yang lain. Bahkan
penganut cinta ini bebas menari di dalam kesadaran yang tanpa batas dan tanpa harus terganggu oleh batas
ideologi, agama, ras, dan sebagainya.
Sementara
itu, Rollo May, menyebut empat jenis cinta dalam tradisi barat yang berasal
dari khasanah budaya Yunani. Pertama adalah
seks, yaitu cinta yang hanya mementingkan nafsu, libido. Kedua adalah
eros, yaitu dorongan cinta untuk berkreasi atau dorongan ke arah bentuk-bentuk
kehidupan dan hubungan yang lebih tinggi. Ketiga adalah cinta persaudaraan atau
philia. Keempat adalah agape, atau memberikan dengan tanpa
pamrih, sebagai contoh adalah cinta Tuhan pada manusia.[4]
Sifat
cinta memang misterius, karena cinta hanya dapat dirasakan dan hanya
orang-orang yang mengalaminya saja yang merasakan nikmatnya cinta. Bahkan belum
pernah seorang pun yang sungguh-sungguh merasa puas dengan definisi cinta. Oleh
sebab itu, Scott membagi cinta ke dalam tiga kategori yaitu: eros (cinta
birahi), philia (cinta kasih pada anak), dan agape (cinta kasih sejati).[5]
Erich
Fromm, dalam bukunya The Art of Loving, membagi cinta berdasarkan
objeknya, yaitu:[6]
a. Cinta Persaudaraan
Jenis
cinta paling fundamental yang mendasari semua tipe cinta adalah persaudaraan (brotherly
love). Cinta persaudaraan maksudnya adalah cinta terhadap semua manusia.
Ciri khas dari cinta ini adalah tidak adanya eksklusifitas. Jika cinta kita
telah mengembangkan kemampuan untuk mencintai, berarti mau tidak mau kita harus
mencintai saudara-saudara kita. Dalam cinta persaudaraan terdapat pengalaman
kesatuan dengan sesama manusia, pengalaman perdamaian, dan solidaritas antara
manusia.
b. Cinta Keibuan
Cinta
ibu adalah suatu peneguhan tanpa syarat terhadap hidup dan kebutuhan-kebutuhan
seorang anak. Hubungan antara ibu dan anak pada dasarnya merupakan hubungan
yang tidak seimbang, di mana yang satu memerlukan segala bantuan, sedangkan
yang lain memberikan semua. Karena inilah cinta ibu dianggap sebagai jenis
cinta yang tinggi dan ikatan emosional yang paling luhur.
c. Cinta Erotis
Cinta
erotis adalah cinta yang mendambakan suatu peleburan secara total dan penyatuan
dengan pribadi lain. Pada hakekatnya, cinta erotis bersifat eksklusif dan tidak
universal. Cinta erotis bersifat eksklusif
ketika ia hanya dapat meleburkan diri sepenuhnya dengan satu pribadi.
Bagi penganut cinta ini, keintiman atau kemesraan ditentukan melalui hubungan
seksual.
d. Cinta Diri
Bagi
Fromm, mencintai diri sendiri adalah buruk. Ia menganggap bahwa selama kita
mencintai diri sendiri, maka selama itu pula kita tidak mencintai orang lain.
Karena cinta pada diri sendiri sama dengan mementingkan diri.
e. Cinta Tuhan
Ialah
cinta yang tidak memohon atau mengharap apa-apa dari Tuhan. Orang yang
benar-benar religius telah mencapai kerendahan hati untuk merasakan
keterbatasan-keterbatasannya sampai pada tahap menyadari bahwa dia tidak
mengetahui apa-apa tentang Tuhan. Bagi dirinya, Tuhan menjadi simbol pada dunia
spritual, cinta, kebenaran dan keadilan.
[1] Muhidin M. Dahlan, Mencari
Cinta, Melibas, Jakarta, 2004, hlm. 68.
[2] Megan Tresidder, op.cit., hlm.
30.
[3] Muhidin M. Dahlan, op.cit.,
hlm. 74 – 75.
[4] Lynn Wilcox, op.cit., hlm. 285.
[5] M. Scott Peck, Tiada Mawar
Tanpa Duri, Psikologi Baru Tentang Cinta, Nilai Tradisional dan Pertumbuhan
Spritual, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1990, hlm. 55
[6] Erich Fromm, The Art of Loving,
Fresh Book, Jakarta, hlm. 79-119.
No comments:
Post a Comment