MAKNA CINTA





Melihat cinta sebagai salah satu bentuk sikap dan perilaku manusia, maka tidak bisa dimungkiri bahwa cinta merupakan salah satu lahan garapan bagi kajian psikologi. 

Secara psikologis cinta adalah sebuah perilaku manusia yang emosional di mana wujudnya adalah tanggapan atau reaksi emosional seseorang terhadap rangsangan tertentu. Dalam hal ini cinta dipengaruhi oleh interasi antara pecinta dengan lingkungannya, kemampuan pecinta tersebut, serta tipe dan kekuatan unsur pendorongnya.[1]

Dalam mendefinisikan cinta belum pernah ditemui satu rumusan tentang cinta yang singkat padat dan mewakili pemahaman akan cinta itu sendiri secara tepat. Ini dikarenakan bahwa pendefinisian itu merupakan suatu hasil pemahaman seseorang terhadap realitas yang dihadapinya, maka sangat mungkin jika definisi yang dilontarkan seseorang sangat tergantung latar belakang historis yang membuat definisi dan kondisi yang melingkupi ketika definisi tersebut dilontarkan. Jika melihat cinta sangat erat berkait dengan dimensi perasaan, maka sangat tidak mustahil jika pendefinisian tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman seseorang dalam cinta. 

Kata cinta dalam bahasa Indonesia dapat berarti: suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat (antara laki-laki dan perempuan), ingin sekali, berharap sekali, rindu, susah hati, (khawatir).[2]

Sedangkan dalam kamus psikologi, cinta adalah perasaan khusus yang menyangkut kesenangan terhadap atau melekat pada objek, cinta berwarna emosional bila muncul dalam pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer, sesuai dengan emosi di mana objek itu terletak atau berada.[3]

Banyak sekali tokoh-tokoh psikologi yang mencoba mendefinisikan cinta, dan harus diakui bahwa definisi-definisi tersebut sangatlah beragam dan tidak senada. Diantaranya adalah Sigmund Freud, yang mengungkapkan bahwa cinta dan hal-hal lain yang sama sifatnya dengan cinta tidak lebih dari salah satu kemampuan psikis manusia. 

Sumber dan pusat pendorong yang paling utama dalam cinta dan hal-hal lain tersebut adalah  libido seksual. Berbagai pandangan yang muluk-muluk tentang cinta sebenarnya bermuara pada cinta seksual dan bertujuan pada penyatuan seksual. Jika objek cinta yang dimaksud bukan lawan jenis, maka pusat yang sebenarnya tetap libido seksual, hanya saja itu diproyeksikan kepada hal lain. Apabila energi yang berpusat pada libido seksual itu diproyeksikan kepada hal lain atau aktifitas lain, energi tersebut akan mengalami perubahan dari kehendak mewujudkan tujuan seksual, menjadi bentuk lain yang kreatif.[4]

Freud adalah orang pertama yang mengajukan teori cinta koheren yang dilandaskan pada prinsip-prinsip ilmiah. Dia menyimpulkan bahwa kita jatuh cinta karena kita mengikuti aturan-aturan yang tertanam di alam bawah sadar kita.[5]

Erich Fromm, pakar Psikoanalisis, melihat adanya unsur-unsur mendasar dalam segala bentuk cinta sejati. Unsur-unsur itu mencakup kepedulian, tanggung jawab, rasa hormat dan pengetahuan. Rasa hormat hanya mungkin muncul pada individu yang merasa tidak perlu mendominasi, mengendalikan atau memanfaatkan orang lain.  Cinta adalah bocahnya kemerdekaan. Dan jelas, orang tidak bisa mencintai apa yang tidak diketahuinya.[6]

Sementara itu, tokoh psikologi Humanistik, Abraham Maslow, memiliki gagasan bahwa manusia dimotivasi oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, untuk berubah, dan berasal dari sumber genetik atau naluriah. Kebutuhan dasar tersebut tersusun secara hirarkhis dalam lima strata yang bersifat relatif, yaitu : 

a. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis (fa’ali).

b. Kebutuhan akan keselamatan. 

c. Kebutuhan akan rasa aman. 

d. Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki. 

e. Kebutuhan akan aktualisasi diri.[7]

Bagi Maslow, perasaan cinta dan memiliki tidak hanya didorong oleh kebutuhan seksualitas. Namun lebih banyak didorong oleh kebutuhan kasih sayang. Ia sepakat dengan definisi cinta yang dikemukakan oleh Karl Roger, bahwa cinta adalah “Keadaan dimengerti secara mendalam dan menerima dengan sepenuh hati”. Perasaan cinta yang sesungguhnya adalah perasaan saling percaya dengan hubungan sehat penuh kasih. Tanpa adanya perasaan saling percaya, maka hubungan cinta seseorang akan menjadi rapuh dan rusak. Kebutuhan cinta adalah meliputi cinta yang memberi dan cinta yang menerima.[8]


[1] Fahruddin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, Tinta, Yogyakarta, 2002, hlm. 16.
[2] Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 168.
[3] James Drever, Kamus Psikologi, Terj. Nancy Simanjuntak dari The Penguin Dictionary of Psychology, Bina Aksara, Jakarta, 1998, hlm. 263.
[4] Fahruddin Faiz, op.cit., hlm. 36.
[5] Megan Tresidder, Risalah Cinta dan Nafsu, Kata Hati, Yogyakarta, 2005, hlm. 35.
[6] Lynn Wilcox, Sufism and Psychology, terj. IG. Harimurti Bagoesaka,  Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf Sebuah Upaya Spritualisasi Psikologi, PT. Serumbi Ilmu Semesta, Jakarta, 2003, hlm. 282.
[7] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi Telaah atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2002, hlm. 70-71.
[8] Ibid., hlm. 76-77.

No comments:

Post a Comment