PANDANGAN SUFI TENTANG CINTA






Mahabbah adalah sebuah khasanah rohani yang sangat penting yang digali dari pengalaman mistik para pemuka sufi. Cinta makin berkembang dalam mistisme Islam, setelah muncul sejumlah sufi besar seperti al-Ghozali, Ibn ‘Arabi, Jailani, Rumi, Rabi’ah, dan lain sebagainya. 

Menurut para sufi, cinta adalah salah satu konsep yang sulit sekali untuk dipahami. Cinta hanya dapat dihayati dan tidak dapat disifati. Setiap orang mampu merasakan cinta, mamun mustahil untuk mendefinisikannya. Ibn ‘Arabi berkata. “Jika seorang mengaku bisa mendefinisikan cinta, jelaslah ia masih belum mengenalnya. Jika ada orang yang mengatakan ‘aku kenyang dengan cinta’, ketahuilah, ia masih buta tentang cinta, karena tak seorang pun dikenyangkan oleh cinta”.[1]

Di dalam dada sufi terdapat kata-kata yang menggoncangkan, “Tiada Tuhan selain cinta”. Bagi para sufi, Tuhan adalah cinta dan cinta adalah Tuhan. Seperti yang dikatakan Ibn ‘Arabi, bahwa Islam itu adalah agama cinta, sebagaimana Rosul Muhammad adalah yang dikasihi Allah.[2]

Menurut al-Ghazali, mahabbah adalah maqam paling tinggi, mengingat tujuan semua tingkat lainnya adalah demi mencapainya. Menyucikan diri dari tempat-tempat kotor, menyibukkan diri dalam mencintai Allah semata, taubat, zuhud, kesabaran, takut dan lainnya merupakan pengantar menuju maqam tertinggi ini. Cinta kepada Allah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. 

Al-Ghazali mengumpamakan cinta yang mensucikan ini sebagai “pohon yang baik, akarnya teguh dan batangnya menjulang ke langit, buahnya menampakkan dirinya di hati, di lidah dan di anggota badan.[3] Buah itu adalah ketaatan akan perintah Tuhan, dan kenangan terus menerus pada kekasih yang memenuhi hati dan melimpah ke lidah. 

Hadrat Bayazid Bustami sering mengatakan bahwa mahabbah adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang (kepada kekasih), meskipun itu besar, dan menganggap besar apa yang diperoleh dari kekasih seseorang, meskipun itu sedikit.[4] Begitulah ketika seseorang benar-benar merasakan nikmatnya cinta, maka apapun yang ia punya akan diberikan pada kekasihnya. 

Sementara itu, mahabbah menurut Al-Junayd adalah masuknya sifat-sifat yang dicintai (ke dalam diri yang mencintai), sebagai ganti dari sifat-sifat yang mencintai.[5]

Pengertian ini dapat dijelaskan bahwa apabila seorang sufi telah benar-benar jatuh cinta kepada Allah, maka seluruh perhatiannya hanya tertuju pada Allah. Tidak ada lagi perhatian yang tertuju pada hal-hal yang lain. Karena yang ada dihatinya hanyalah Allah semata. 

Syaikh Abu al-Hasan Kharqani, salah satu tokoh besar tariqat cinta, dalam sebagian ucapannya berkata, “Cinta adalah tetesan air samudera yang tidak dapat diarungi makhluk-Nya. Cinta adalah api. Siapapun tidak akan selamat bila berada di dalamnya. Cinta menghadirkan keyakinan. Bila seseorang berada di dalamnya, kabar tentang dirinya tidak akan kunjung datang. Siapa pun yang tersembunyi di dasar samudera ini tidak akan pernah tersingkap, kecuali oleh dua hal yaitu kesedihan dan rasa butuh. Setiap yang menjadi pecinta berarti telah menemukan Tuhannya; yang menemukan Tuhannya, pasti telah menjadikan dirinya sebagai permadani yang dibentangkan”.[6]

Syibli juga mengatakan bahwa “disebut cinta, karena ia menghapuskan segalanya dari hati kecuali sang kekasih” dan “cinta adalah api dalam hati yang memusnahkan semuanya kecuali kehendak sang kekasih”. Orang menjadi fana dalam sang kekasih.[7]

Al-Qusyayri mendefinisikan cinta sebagai kecenderungan hati yang telah diracuni oleh cinta, pilihan sang kekasih terhadap hamba-hamba, kehormonisan dengan sang kekasih, penghapusan semua kualitas dari pecinta, penegakkan esensi Sang Kekasih (Allah), dan akhirnya terjalinlah  hati sang pecinta itu dengan kehendak Ilahi.[8]

Wanita sufi terbesar, Rabi’ah al-Adawiyah berdialog dengan Kekasihnya dalam sebuah syair: 

Kucintai kau dengan dua cinta
Cinta untuk diriku, dan cinta sebab Kau patut dicinta
Cinta untuk diriku ialah karena aku karam
Di dalam ingatan kepada-Mu semata, membuang yang lain
Cinta sebab Kau patut dicinta, karena Kau singkap
Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu
Segala pujian tidak perlu lagi bagiku
Sebab semua pujian untuk-Mu semata 

Menurut Al-Ghazali, yang dimaksudkan Rabi’ah dengan “cinta untuk diriku” ialah cinta pada Allah disebabkan oleh kebaikan dan keindahan dan keagungan-Nya yang menyingkap rahasia diri-Nya”. Kedua cinta tersebut merupakan cinta paling luhur dan dalam, dan merupakan kelezatan dalam menyaksikan keindahan Tuhan.[9]

Sementara itu, cinta menurut Rumi adalah lenyapnya kedirian, yaitu kesatuan sempurna antara kekasih Tuhan dengan Tuhan. Dengan ketiadaan diri (fana) berarti terbuka bagi memencarnya cahaya Ilahi, dengan kata lain Tuhan adalah segala-galanya tak ada selain Dia.[10]

Oleh sebab itu, seorang sufi yang sudah benar-benar mencintai Tuhan, maka sepenuhnya hanya mengingat Dia yang dicintainya itu. Seluruh perhatiannya tidak pernah lepas dari-Nya. Semua perasaannya pada benda atau makhluk lain, akan terhapus dari hatinya hingga dalam keadaan yang demikian ini, dia tidak akan pernah melihat atau memikirkan sesuatu yang lain, kecuali Tuhan.


[1] Muhammad Muhyidin, op.cit., hlm. 109.
[2] Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hlm. 86.
[3] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 171.
[4] Faqir Zulfiqar Ahmad Naqshbandi, Cinta Abadi Para Kekasih Allah, Marja’, Bandung, 2002, hlm. 26.
[5] Hamdani Anwar, Sufi Al-Junayd, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 1995, hlm. 73.
[6] Muhsin Labib, op.cit., hlm. 121.
[7] Lynn Wilcox, op.cit., hlm. 294.
[8] Jamilah Baraja, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan, Risalah Gisti, Surabaya, 2001, hlm. 107.
[9] Muhsin Labib, op.cit., hlm. 197-198.
[10] Ibid., hlm. 200.

No comments:

Post a Comment