Status
harta bersama sering kali menjadi masalah ketika terjadi putusnya perkawinan demikian
pula dalam hal pembatalan
perkawinan salah satu
akibat dari batalnya suatu
perkawinan adalah dalam
hal harta bersama.
Namun hal ini tidak dijelaskan secara terperinci dalam
peraturan-peraturan maupun perundang-undangan yang berlaku sehingga penulis merasa perlu dalam hal ini untuk menggali pendapat-pendapat beberapa para ahli hukum
sehingga dari pendapat-pendapat tersebut dapat penulis
peroleh pemecahan terhadap masalah status harta bersama dalam perkawinan,
pendapat-pendapat tersebut penulis
peroleh melalui wawancara dengan para dosen hukum di fakultas syari’ah dan para
advokad yang tergabung dalam lembaga hukum LPKBHI, sebagai berikut :
1.
Dosen Hukum di Fakultas Syari’ah IAIN Wali Songo Semarang
a.
Achmad Arif Budiman, M.Ag.
Dalam
hal ini beliau berpendapat bahwa, Pembatalan perkawinan ada dua di dalam hukum
positif yatiu, Pertama, perkawinan yang bisa batal demi hukum dan yang kedua perkawinan
yang dapat dibatalkan. Perkawinan yang batal
demi hukum itu
perkawinan yang melanggar larangan-larangan perkawinan,
misalnya saja sudah ada larangan kedua mempelai menikah karena ada hubungan rodo’ah,
dan ketahuan peraturan larangan itu dilanggar
maka perkawinan ini dengan sendirinya bisa batal demi hukum, dan juga seperti
halnya perkawinan beda agama maka dengan sendirinya perkawinan itu bisa dibatalkan karena melanggar larangan hukum
tersebut.
Yang
kedua perkawinan yang dapat dibatalkan berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 yaitu perkawinan yang dilaksanakan karena, wali nikah yang tidak
sah, tidak dihadiri dua saksi atau perkawinan yang dilakukan tidak didepan
pejabat yang berwenang.
Jadi
perkawinan itu bisa
dibatalkan apabila ada
pihak-pihak yang mengajukan tuntutan
pembatalan terhadap perkawinan
itu. maka apabila sepanjang tidak
ada pihak-pihak yang mengajukan tuntutan
pembatalan perkawinan tersebut, perkawinannya bisa berlangsung terus atau perkawinannya
tidak batal. Dan apabila kemudian yang bersangkutan
mempunyai anak maka dengan sendirinya gugatan tersebut akan
gugur karena lebih mengedepankan aspek hukum demi kemaslahatan pada diri anak tersebut daripada aspek hukum
pembatalan perkawinan itu sendiri.
Harta
bersama di dalam undang-undang perkawinan sudah didefinisikan bahwasannya harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Status harta bersama menjadi kewenangan kedua belah
pihak antara suami dan isteri.
Apabila
terjadi putus perkawinan karena hal apapun
maka kedua belah pihak tetap memperoleh hak terhadap harta
bersama yang didapat selama dalam perkawinan,
karena harta bersama di dalam perkawinan
itu di asumsikan bahwa, antara suami isteri jika hidup bersama mempunyai hak dan kewajiban terhadap harta bersama tanpa melihat siapa yang bekerja dalam kehidupan rumah tangga tersebut.
Jadi disini apabila perkawinan itu
putus dengan sebab
apapun seperti yang sudah diatur di dalam undang-undang perkawinan pasal
38 yaitu perkawinan yang putus karena perceraian, kematian dan
karena putusan pengadilan, harta bersama menjadi salah satu akibat hukum
dari perkawinan yang putus karena tiga hal di atas. Dalam hal ini pembatalan perkawinan
merupakan perkawinan yang putus karena keputusan pengadilan. Dengan begitu dalam
hal pembatalan perkawinan tetap harus mengcover
masalah harta bersama, dan status harta bersama sebagai akibat dari pembatalan
perkawinan, harta bersama itu tetap ada sebagai akibat hukum dari perkawinan
yang dibatalkan.
Akibat hukum pembatalan perkawinan di atur dalam undang-undang perkawinan pasal 28, dan dalam
pasal tersebut belum mengatur secara eksplisit tentang harta bersama. Maka
apabila terjadi perselisihan antara suami isteri terhadap harta bersama,
sudah menjadi tugas hakim dalam menyelesaikan
permasalahan harta bersama tersebut yaitu,
dengan melakukan ijtihad hakim untuk
menggali keadilan dalam
hal pembagian harta bersama untuk dibagi secara adil kepada kedua belah pihak yaitu terhadap suami dan isteri
tersebut.[1]
b.
Drs. H. Abu Hapsin, M.A., Ph.D
Dalam
interview yang penulis lakukan dengan bapak Abu Hapsin dijelaskan bahwa, apabila perkawinan terjadi sedangkan syarat-syarat perkawinan yang
sudah di tentukan dalam hukum positif maupun hukum Islam tidak
terpenuhi maka perkawinannya harus
dibatalkan.
Sedangkan
status harta bersama dalam pembatalan perkawinan tetap ada karena harta bersama
menjadi harta gono-gini yang
diperoleh bersama selama dalam perkawinan kecuali harta yang dibawa sendiri tidak menjadi harta bersama. Jadi status harta bersama itu tetap menjadi
harta gono gini dan menjadi hak kedua belah
pihak meskipun yang bekerja hanya satu orang saja dalam perkawinan tersebut.
Dalam penyelesaian harta bersama sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan, penyelesaiannya
sama dengan status harta bersama sebagai akibat putusnya
perkawinan karena kematian, perceraian dan karena keputusan pengadilan.[2]
c.
Novita Dewi M, SH, M. Hum
Pembatalan
perkawinan menurut bu Novita yaitu batalnya perkawinan yang
terjadi karena tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Pembatalan perkawinan implikasinya sangat panjang khususnya
bagi keluarga yang bersangkutan. Karena dampak yang begitu banyak dari akibat hukum
pembatalan perkawinan itu sendiri maka hakim
harus benar-benar bisa membuktikan alasan-alasan mengapa sebuah perkawinan itu dibatalkan.
Di sini salah satu dampak atau akibat hukum
dari pembatalan perkawinan adalah masalah
status harta bersama.
Dalam
undang-undang perkawinan pasal 28 ayat 2
salah satu akibat hukum dari pembatalan
perkawinan adalah harta
bersama itu dianggap ada karena harta bersama
itu tidak di berlakukan surut yang didasarkan atas iktikad baik, jadi
harta bersama tetap menjadi
hak suami, isteri dan
anak. Maka apabila sebuah perkawinan benar-benar dibatalkan, semua bentuk akibat hukum dari pembatalan perkawinan harus diselesaikan
dengan iktikad baik. Dengan iktikad baik itu dalam hal pembagian harta bersama
dibagi sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Dan dalam pembagian harta
bersama tersebut merupakan kewenangan hakim, karena hakim harus berani membuat hukum
dan berijtihad untuk menyelesaikan harta bersama tersebut.
Alternatif lain
untuk menyelesaikan pembagian
harta bersama menurut beliau, harta
bersama bisa diselesaikan melalui hibah.
Karena dengan batalnya suatu perkawinan dianggap perkawinan itu tidak
pernah terjadi dan di situ banyak yang di rugikan, maka harta bersama tersebut harus
diselesaikan dengan baik dan seadil-adilnya terhadap kedua belah pihak.[3]
d.
Nur Hidayati Setiyani, SH., MH
Secara
garis besar bu Nur Hidayati, menjelaskan mengenai penyelesaian terhadap harta bersama
sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan yaitu, diselesaikan dengan
kembali pada hukum masing-masing. Maksudnya hukum yang digunakan ketika perkawinan itu berlangsung, jadi misalkan
saja perkawinannya menggunakan hukum BW karena non muslim maka penyelesaian
harta bersama sesuai dengan aturan harta bersama dalam BW tersebut, kemudian
jika perkawinannya sesuai dengan hukum adat maka penyelesaiannya dengan
hukum adat, begitu juga jika perkawinannya
dilangsungkan dengan hukum Islam maka penyelesaian harta bersamanya
dengan hukum Islam.
Jadi
status harta bersama
itu ada tidaknya
mengikuti sesuai dengan hukum yang
digunakan ketika perkawinan itu dilangsungkan, dalam undang-undang perkawinan pasal 28 harta bersama tersebut diberlakukan surut karena ada
perkawinan terdahulu. Jika ada harta bersama yang timbul
sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan karena tidak adanya perkawinan
terdahulu, penyelesaiannya disesuaikan dengan peraturan yang mengatur harta bersama tersebut. Misalkan saja orang Islam maka
penyelesaiannya menggunakan hukum Islam, dan jika hukum Islam tidak ada pengaturan tentang harta bersama, maka bisa saja
penyelesaian harta bersama
bisa melalui hibah antara
suami isteri tersebut.
Apabila perkawinan yang dilaksanakan dengan menggunakan hukum privat dan perkawinan tersebut dibatalkan, maka penyelesaian harta bersama sebagai akibat hukum
pembatalan perkawinan yaitu diselesaikan
dengan membagi dua harta bersama tersebut antara suami dan isteri dengan adil.[4]
2.
Advokad LPKBHI IAIN Walisongo Semarang
a. Drs.
Taufik, MH.
Menurut
pak Taufik, pembatalan perkawinan yang sudah diatur dalam undang-undang sangat jelas
pada undang-undang perkawinan, bahwa manakala dijumpai dalam perkawinan
itu ada hal-hal yang secara normatif bertentangan dengan hukum maka bisa dibatalkan. Contoh seorang suami
menikah dan diketahui isterinya masih ada ikatan darah, dan jika diketahui
hal itu maka
perkawinan tersebut harus dibatalkan, dan masih banyak contoh-contoh lainnya.
Dan
berkenaan dengan pengajuan permohonan pembatalan perkawinan adalah pihak-pihak yang
bersangkutan dalam perkawinan tersebut dan pengadilan memfasilitasi
dalam proses penyelesaian permasalahan itu.
Dari sebuah pembatalan perkawinan menimbulkan beberapa akibat hukum yang
sudah ada ketentuannya
dalam undang-undang perkawinan. Salah
satu akibatnya adalah masalah status harta
bersama.
Harta
bersama merupakan harta yang muncul selama masa perkawinan itu berlangsung. Dan
apabila diketahui di tengah-tengah perkawinan ada pembatalan, beliau berpendapat
bahwa harta bersama tetap kembali pada hakikatnya yakni harta bersama merupakan
harta yang didapati selama masa perkawinan tidak memandang siapa yang menghasilkannya. Dan dalam pembagian dibagi dua dan itu berlaku pada masa perkawinan, karena perkawinan itu selama tidak diketahui
unsur-unsur yang membatalkan perkawinan itu tetap menjadi perkawinan yang sah, dan tidak masuk dalam kategori zina
karena ijab qabulnyapun sah.
Ketika
ada pembatalan perkawinan, hukum berlaku surut maksudnya perkawinan itu
dibatalkan sejak perkawinan itu berlangsung. Dan akibat-akibat
hukum dari pembatalan perkawinan itu tetap sah maksudnya
disini tidak diberlakukan surut. Harta bersama itu dianggap menjadi hak milik
kedua belah pihak.
Jadi
status harta bersama sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan sama dengan
status harta bersama sebagai akibat putusnya perkawinan karena hal apapun yakni diselesaikan
sesuai peraturan undang-undang
yaitu dibagi dua.[5]
b.
Drs. H. Eman Sulaeman, MH
Dalam
interview yang penulis lakukan dengan pak Eman Sulaeman, dijelaskan bahwa pembatalan perkawinan yang ada dalam undang-undang ada yang batal demi hukum dan ada yang bisa dibatalkan,
kalau batal secara hukum dalam bahasa agama Islam disebut dengan fasid. Sedangkan yang bisa dibatalkan karena ada pelanggaran
peraturan perundang-undangan. Jadi kalau tidak dibatalkan secara hukum bisa batal demi hukum dan
nikahnya fasid.
Dalam KHI
juga ada pengaturan
pembatalan perkawinan yakni, dalam pasal 70 perkawinan yang dibatalkan karena ada pelarangan-pelarangan perkawinan
yang di langgar maka perkawinannya harus dibatalkan dan itu merupakan perkawinan
yang batal demi hukum.
Perkawinan
yang bisa dibatalkan artinya nikahnya tidak fasid namun karena melanggar peraturan perundang-undangan, dan ada pihak-pihak lain yang mengajukan pembatalan perkawinan tersebut. Misalnya saja poligami
liar, perkawinan yang dilaksanakan dengan perempuan yang masih dalam masa iddah,
dan kesalahan-kesalahan kecil lainnya
bisa dibatalkan.
Perkawinan yang dibatalkan itu perkawinan yang berlaku sejak dibatalkan, jadi semua yang berlangsung selama perkawinan sebelum dibatalkan akibat hukumnya tetap sah. Maka jika ada harta bersama dalam pembatalan perkawinan tersebut dihitung dari
sejak perkawinan itu dimulai sampai perkawinan tersebut dibatalkan. Sistem hukum
di Indonesia tidak ada yang batal dengan sendirinya harus melalui proses pengadilan dalam pengajuan pembatalan
perkawinan.
Harta
bersama sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan itu tetap
ada, karena perkawinannya batal sejak dibatalkan, dan harta bersama
tersebut tidak berlaku surut. Sedangkan harta bersama yang berlaku
surut itu harta
bersama karena ada perkawinan lain yang lebih dulu, maka akibat hukum perkawinan
tersebut harta bersamanya tidak ada,
seperti yang dijelaskan dalam Pasal 28 ayat 2 undang-undang perkawinan. Jadi selain
alasan karena ada perkawinan terdahulu poligami yang tidak sah atau poligami liar
maka status harta bersama sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan tetap
ada.
Penyelesaian harta bersama karena akibat hukum perkawinan yang dibatalkan,
penyelesaiannya sama dengan perkawinan yang putus karena alasan-alasan perkawinan lainnya seperti perceraian dan lainnya yaitu dengan cara dibagi dua, dengan tidak melihat
siapa yang mencari dan tidak melihat nama
yang mencari harta dalam rumah tangga tersebut.[6]
[1] Hasil wawancara
dengan Arif Budiman, selaku Dosen
Hukum Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang, Tanggal 03 Mei 2011, Pukul 14:24 WIB.
[2] Hasil wawancara dengan
Abu Hapsin, selaku Dosen Hukum
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang, Tanggal 03 Mei 2011, Pukul 09:08 WIB.
[3] Hasil wawancara
dengan Novita Dewi, selaku Dosen Hukum Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Tanggal 03 Mei 2011,
Pukul 09:30 WIB.
[4] Hasil wawancara
dengan Nur Hidayati
Setiyani, selaku Dosen Hukum Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang,
Tanggal 03 Mei 2011, Pukul 10:19 WIB.
[5] Hasil wawancara
dengan Taufiq, selaku
Advokad LPKBHI IAIN
Walisongo Semarang, Tanggal 05
Mei 2011, Pukul 13:30 WIB.
[6] Hasil wawancara
dengan Eman Sulaeman,
selaku Advokad LPKBHI
IAIN Walisongo Semarang, Tanggal
05 Mei 2011, Pukul 11:00 WIB.
No comments:
Post a Comment