PEMBAGIAN HAAL


Haal, dengan melihat dari beberapa sudut pandang yang berbeda, terbagi menjadi mu’assisah dan mu’akkid, maqshudah dan muthi’ah, dan haqiqiyyah dan sababiyyah, mufrad, jumlah dan syibih jumlah.

a.     Haal Mu’assisah dan Mu’akkidah

Haal adakalanya mu’assisah dan mu’akkidah. Haal Mu’assisah (atau yang dinamakan dengan mubayyinah, karena haal ini disebutkan untuk menjelaskan) adalah haal yang maknanya tidak akan bisa didapat dengan tanpanya,[1] seperti (جاَءَ خاَلِدٌ راَكِباً) “Khalid telah datang dengan naik kendaraan.” Kebanyakan haal datang dari bentuk ini.

Haal mu’akkidah adalah haal yang maknanya bisa didapat dengan tanpanya. Sesungguhnya haal itu didatangkan untuk menguatkan, yaitu ada tiga macam,[2]

1)     Haal yang didatangkan untuk menguatkan amil, yaitu haal yang mencocoki amilnya secara makna saja atau makna dan lafalnya, seperti (تَبَسَّمَ ضَاحِكاً) dan (وَ أَرْسَلْناَكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً).

2)     Haal yang didatangkan untuk menguatkan shahibul haal, seperti (جاَءَ التَّلاَمِيْذُ كُلُّهُمْ جَمِيْعاً).

3)     Haal yang didatangkan untuk menguatkan kandungan jumlah yang dibuat dari dua isim ma’rifat yang keduanya adalah jamid, seperti (هُوَ الْحَقُّ بَيِّناً أَو صَرِيْحاً).

b.     Haal Maqshudah dan Muwatthi’ah

Haal adakalanya berupa Haal Maqshudah Li Dzatih (yang biasanya ada), seperti (سَافَرْتُ مُنْفَرِداً), dan adakalanya Muwatthi’ah, yaitu haal jamid yang disifati, sehingga haal itu disebutkan sebagai pendahuluan bagi lafal setelahnya,[3] seperti (لَقَيْتُ خاَلِداً رَجُلاً مُحْسِناً).

c.     Haal Haqiqiyyah dan Sababiyyah

Haal adakalanya berupa Haal Haqiqiyyah, yaitu haal yang menjelaskan keadannya shahibul haal (yaitu yang biasanya ada), seperti (جِئْتُ فَرِحاً). Dan adakalanya Sababiyyah, yaitu haal yang menjelaskan keadaan yang mengandung dlamir yang kembali kepada shahibul haal,[4] seperti (رَكِبْتُ الْفَرَسَ غاَئِباً صَاحِبُهُ).

d.     Haal Jumlah

Haal Jumlah adalah ketika jumlah fi’liyyah atau jumlah ismiyyah yang menempati tempatnya haal. Sehingga ketika itu, jumlah tersebut dita’wil dengan mufrad, seperti (جاَءَ سَعِيْدٌ يَرْكُضُ) yang dita’wil dengan (جاَءَ راَكِضاً), dan (ذَهَبَ خاَلِدٌ دَمْعُهُ مُتَحَدِّرٌ) yang dita’wil (ذَهَبَ مُتَحَدِّراً دَمْعُهُ).

Jumlah yang menjadi haal harus memenuhi tiga syarat, yaitu:[5]

1)     Berupa jumlah khabariyyah, bukan jumlah thalabiyyah atau ta’ajjubiyyah.

2)     Jumlah itu tidak diawali dengan tanda mustaqbal.

3)  Jumlah itu harus mengandung dlamir yang menghubungkannya dengan shahibul haal. Penghubung itu adakalanya berupa dlamir saja, seperti (وَ جاَؤُوا أَباَهُمْ عِشَاءً يَبْكُونَ), atau waw saja, seperti (لَئِنْ أَكَلَهُ الذِّئْبُ وَ نَحْنُ عُصْبَةٌ), atau waw dan dlamir, seperti (خَرَجُوا مِنْ دِياَرِهِمْ وَ هُمْ أُلُوفٌ).

e.     Haal Syibih Jumlah

Haal Syibih Jumlah adalah ketika dzaraf atau jer-majrur yang menempati tempatnya haal, dan keduanya berta’alluq dengan lafal yang wajib dibuang dengan penakdiran (مُسْتَقِرٌّ) atau (اسْتَقَرَّ). Muta’allaq yang dibuang sebenarnyalah yang menjadi haal,[6] seperti (رَأَيْتُ الْهِلاَلَ بَيْنَ السَّحاَبِ).

Faidah:

Ketika yang disebutkan bersama mubtada’ adalah isim, dzaraf atau lafal yang dijerkan dengan huruf jer, dan keduanya pantas untuk menjadi khabar dan haal, maka jika jumlah itu didahului oleh dzaraf atau jer-majrur, maka qaul yang dipilih adalah membaca nashab menjadi haal dan menjadikan dzaraf atau jer-majrur sebagai khabar yang didahulukan,[7] seperti (عِنْدَكَ أَو فِي الدَّارِ سَعِيْدٌ ناَئِماً). Dan diperbolehkan juga bila membaliknya.

Dan jika yang menjadi permulaan adalah isim, maka diwajibkan untuk merafa’kan isim itu dan menjadikan dzaraf atau jer-majrur sebagai haal, seperti (ناَئِمٌ عِنْدَكَ أَو فِي الدَّارِ سَعِيْدٌ) dan (ناَئِمٌ سَعِيْدٌ عِنْدَكَ أَو فِي الدَّارِ).

Dan jika yang menjadi permulaan adalah mubtada’, maka jika dzaraf atau jer-majrur mendahului isim, maka diperbolehkan untuk menjadikan masing-masing dari dzaraf atau jer-majrur sebagai haal dan yang lainnya sebagai khabar, seperti (سَعِيْدٌ عِنْدَكَ أَو فِي الدَّارِ ناَئِماً أَو ناَئِمٌ). Dan jika isim yang mendahului dzaraf atau jer-majrur, maka qaul yang dipilih adalah membaca rafa’ isim dan menjadikan dzaraf atau jer-majrur sebagai haal, seperti (سَعِيْدٌ ناَئِمٌ عِنْدَكَ أَو فِي الدَّارِ), dan diperbolehkan juga untuk membaliknya, sehingga diucapkan (سَعِيْدٌ ناَئِماً عِنْدَكَ أَو فِي داَرِهِ).

Al-Jumhur telah melarang dari menashabkan isim pada bentuk ini, namun Ibnu Malik memperbolehkannya dengan berpegang pada bacaan al-Hasan al-Bishri, (وَ الْأَرْضُ جَمِيْعاً قَبَضْتُهُ يَومَ الْقِياَمَةِ وَ السَّمَوَاتُ مَطْوِياَّتٍ بِيَمِيْنِهِ) dengan membaca nashab (مَطْوِياَّتٍ) sebagai haal dan menjadikan (بِيَمِيْنِهِ) sebagai khabarnya (السَّمَوَاتُ). Bacaan itu adalah syadz, namun bacaan itu dapat menunjukkan pada diperbolehkannya membaca nashab isim menjadi haal. Karena ke-syadz-an suatu bacaan tidaklah bermakna kalau bacaan itu tidak pantas untuk dijadikan hujjah dalam bahasa Arab.[8]

Ketika dzaraf atau jer-majrur tidak pantas untuk dijadikan khabar, yaitu dengan sekiranya dzaraf atau jer-majrur itu membutuhkan pada isim itu, karena tidak baik jika berdiam darinya, maka diwajibkan untuk menjadikan khabar isim itu, sedangkan dzaraf atau jer-majrur dijadikan haal, seperti (إِبْراَهِيْمُ فِيْكَ راَغِبٌ) dan (فِيْكَ إِبْراَهِيْمُ راَغِبٌ), karena tidak sah jika kita membuang isi, sehingga kita ucapkan (إِبْراَهِيْمُ فِيْكَ).

f.      Haal Mufrad

Haal Mufrad adalah haal yang tidak berupa jumlah atau syibih jumlah, seperti (قَرَأْتُ الدَّرْسَ مُجْتَهِداً), (كَتَباَهُ مُجْتَهِدَيْنِ) dan (تَعَلَّمْناَهُ مُجْتَهِدِيْنَ).





[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 99
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 99
[3] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 100
[4] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 100
[5] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 100
[6] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 101
[7] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 101
[8] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 102

No comments:

Post a Comment