Substansi
atau hakikat perkawinan secara indah dan santun digambarkan Allah SWT. Dalam
surat al-A’raf ayat 189 sebagai berikut:
هو
الذي خلقكم من نفس واحدة و جعل منها زوجها ليسكن إليها فلما تغشّاها حملت حملا
خفيفا فمرت به فلما أثقلت دعوا الله ربهما لئن آتيتنا صالحا لنكونن من الشاكرين
“Dialah
Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan
isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya,
isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan
(beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri)
bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau
memberi kami anakyang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”
(QS. al-A’raf: 189).[1]
Menurut
ayat tersebut perkawinan adalah penyatuan kembali bentuk asal kemanusiaan yang
hakiki (nafsin wahidah). Hakikat perkawinan adalah reunifikasi antara laki-laki
dan perempuan pada tingkat praktek setelah dahulu pernah bersatu (unifikasi).
Pada tingkat hakikat, yakni pada tingkat asal-usul kejadiannya yang berasal
dari diri yang satu unifikasi laki-laki dan perempuan mengantarkan mereka untuk
menganggap dirinya sebagai perekat yang lainnya tanpa ada perbedaan yang satu
tidak menganggap dirinya superior dan memandang lainnya lebih inferior.
Perkawinan
seharusnya dipahami sebagai penghargaan kepada harkat dan martabat kemanusiaan.
Suami adalah milik istri dan istri adalah milik suami sebagaimana digambarkan
dalam surat al-Baqarah ayat 187 sebagai berikut:
هن
لباس لكم و أنتم لباس لهن
“…mereka
itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka ….” (QS.
al-Baqarah: 187).[2]
Dengan
demikian, perkawinan merupakan bukti nyata wujud dan bentuk pernyatuan dalam
taraf teoritis dengan kesatuan praktis untuk mewujudkan ketentraman kasih
sayang.
Perkawinan
sebagai institusi kemanusiaan yang pada taraf praktis menyatukan laki-laki dan
perempuan secara keagamaan sesuai dengan makna nikah yaitu mengumpulkan
laki-laki sebagai sumi dan perempuan sebagai istri dalam kesatuan hakikat.
Hakikat perkawinan yang demikian juga dinyatakan oleh Wahbah al-Zuhaili dalam
kitab al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, bahwa perkawinan sebagai ikatan
yang dibuat oleh pembuat hukum (syar’i) yakni Allah yang memungkinkan laki-laki
dan perempuan sebagai suami istri mendapat istimta (kesenangan s3ksual)
secara timbal balik. Laki-laki sebagai suami mendapatkan kesenangan s3ksual dari perempuan sebagai istrinya, dan perempuan sebagai istri mendapat
kesenangan yang sama dari laki-laki sebagaimana suaminya.[3]
Muhammad
Rasyid Ridha merumuskan urgensi perkawinan dipandang dari tiga hal: Pertama,
adanya ketenangan jiwa dari suami dan istri yang merupakan potensi besar untuk
saling rindu dan berkasih sayang, timbul rasa saling membutuhkan dan membela
sehingga larutlah kemanusiaan dua insan bersama fitri deburan hati dan akal
dalam ketenangan dan kegembiraan. Kedua,
adanya kasih sayang yang akan melahirkan sikap saling tolong menolong untuk
mewujudkan kepentingan bersama dalam keluarga masing-masing. Ketiga, adanya rahmat yang menyempurnakan
seseorang dengan naluri kebapakan dan keibuan.[4]
Disyaratkannya
kesiapan fisik dan psikis suami istri sebelum melangsungkan perkawinan,
dimaksudkan untuk dapat menjamin terwujudnya keluarga yang harmonis sebagai
unit kecil dari bangunan sebuah masyarakat yang tertib. Kesiapan fisik dan
psikis juga diperlukan agar suami istri dapat memainkan peran dan fungsinya
dengan sebaik-baiknya sehingga keluarga akan mampu bertahan dari hantaman dan
goncangan badai kehidupan.
Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga
ibarat bangunan, maka bangunan itu harus dibangun di atas pondasi yang kokoh,
dengan bahan berkualitas serta jalinan perekat yang lengkap. Faktor
keberagamaan dari masing-masing laki-laki dan perempuan yang melakukan
perkawinan merefleksikan pola piker tingkah laku masing-masing dalam membangun
dan mengemban misi rumah tangga.
Diakui
secara manusiawi, yang menjadi daya tarik dalam perkawinan adalah faktor fisik
(phisically) yang akan melahirkan mahabbah, akan tetapi untuk suatu
rumah tangga bukan hanya dibutuhkan mahabbah, melainkan justru faktor
keagamaan yang akan dominan dalam mewujudkan urgensi suatu perkawinan
sebab mahabbah mengutamakan fisik yang
akan sirna atau setidaknya akan berubah menjadi tidak menarik.
Sehingga
yang paling urgen adalah adanya mawadah
dan rahmah yang bersifat psikis, dan
sifat-sifat ini tidak akan lekang oleh waktu. Urgensi perkawinan yang demikian
sejalan dengan anjuran Nabi dalam memilih pasangan hidup dalam perkawinan.
Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah:
حدثنا
زهير بن حرب و محمد بن مثنى و عبيد الله بن سعيد قالوا حدثنا يحيى بن سعيد عن عبيد
الله أخبرني سعيد بن أبي سعيد عن أبيه عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى
الله عليه و سلم قال تنكح المرأة لأربع لمالها و لجمالها و لدينها فاظفر بذات
الدين تربت يداك
“Zuhri
ibn Harb, Muhammad ibn al-Musanna, Ubaidillah ibn Said, bercerita kepada kami,
semuanya berkata: Yahya ibn Said bercerita kepada kami dari Ubaidillah, Said
ibn Abi Said mengkhabarkan kepadaku dari bapaknya, dari Abi Hurairah,
sesungguhnya Nabi saw. bersabda: “wanita dinikahi karena empat factor, yaitu
karena harta kekayaannya, karena kedudukannya, kerena kecaantikannya, dan
karena agamanya. Hendaklah pilihlah yang beragama agar berkah kedua tanganmu”
(HR. Muslim)[5]
Agar
substansi perkawinan dapat terwujud, maka perkawinan tidak hanya berdasarkan
faktor-faktor physically semata yang sifatnya semu dan sementara dan berubah,
bahkan akan sirna sejalan dengan perputaran waktu, sebagaimana hadis Nabi yang
diriwayatkan Ibnu Majah dari Abdullah ibn Amr:
حدثنا
أبو كريب ثنا عبد الرحمن المحاربي و جعفر بن عون عن الإفريقي عن عبد الله بن يزيد
عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تزوجوا النساء
لحسنهن فعسى حسنهن أن يرديهن و لا تزوجوا لأموالهن فعسى أمولهن أن تطغيهن و لكن
تزوجوهن على الدين و لأمة خرماء سوداء ذات دين أفضل
“Abu
Kuraib bercerita kepada kami, Abdurrahman al-Maharabi dan Ja’far ibn Aun
bercerita kepada kami, dari al-Ifriqi dari Abdullah ibn Yazid dari Abdullah ibn
Amr berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah mengawini perempuan karena
kecantikannya, boleh jadi kecantikannya itu akan memibnasakannya, dan janganlah
mengawini perempuan karena bertanya, boleh jadi harta itu akan menyebabkan
kedurhakaannya, tetapi kawinlah perempuan karena agamanya. Sesungguhnya
perempuan yang hitam kelabu tetapi beragama adalah lebih baik”. (HR. Ibnu
Majah)[6]
[1]
Departemen
Agama RI, op. cit., hlm. 225.
[2]
Ibid.,
hlm. 36.
[3]
Wahbah
al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz 11, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.), hlm. 65-77.
[4]
Muhammad
Rasyid Ridha, Hak Suami dan Istri dalam
Buku al-Din wa al-Mar’ah, (Jakarta: Gema Insani Press, t.th.), hlm. 27.
[5]
Imam
Muslim al-Hajaj al-Qusayri al-Nasaburi, op. cit., hlm. 175.
[6]
Abu
Abdillah Muhammad ibn Yazid bnin Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Kairo: Dar
al-Fikr, t.th.), hlm. 597.
No comments:
Post a Comment