SYARAT DAN RUKUN RUJUK



1.  Istri 

Isteri yang boleh dirujuk suaminya ialah,

a. Isteri yang sudah diwatha’ oleh Suaminya. 

b. Isteri yang baru mengalami talaq raj’i (talaq pertama atau talaq kedua). 

c. Perceraian dengan wanita itu bukan dengan jalan khuluk (talaq tebus). 

d. Wanita itu masih dirujuk oleh suaminya, seperti ia masih tetap sebagai seorang muslimat. 

e. Isteri yang tertentu, yakni bagi suami yang mempunyai beberapa orang isteri dan dicerainya lebih dari satu orang (ada yang cerainya karena talaq dan ada pula atas putusan hakim) maka isteri yang dirujuk itu haruslah jelas dan sebaiknya disebut namanya. 

f. Talaq pertama yang dijatuhkan suami tidak boleh mengandung suatu sifat yang membayangkan sifat talaq bain, atau suatu talaq yang musabhahat (suatu talaq yang diserupakan dengan sesuatu yang sangat besar atau sangat dahsyat), sebab talaq demikian  termasuk talaq ba’in. 

g. Bahwa perceraian dengan perempuan itu bukan dengan cara fasakh nikah. Cerai dengan fasakh tidak boleh rujuk kecuali dengan akad nikah baru seperti yang berlaku pada ba’in suqhra.[1]

2. Suami 

a. Suami harus sehat akalnya; Karena itu orang gila tidak sah rujuk sebab mereka juga tidak sah menjatuhkan talaq kepada isteri mereka. Demikian pula orang yang sedang tidur. Maka dalam hal ini menunjukan bahwa pekerjaan rujuk itu harus dikerjakan secara sadar dan insaf akan tugas kewajiban yang terpikul di atas pundak suami. 

b. Suami harus sudah baligh; tidak sah rujuk bagi suami yang masih anak-anak karena kekuatan hukum rujuk itu sama dengan yang terdapat pada akad Nikah. 

c. Rujuk itu dilakukan atas kemauan  sendiri dan kesadarannya sediri, rujuk tidak sah atas paksaan orang lain. Perbuatan orang yang dipaksa tidak diakui sah oleh Syari’at Islam dan berakibat rujuknya tidak sah pula. 

3. Sighat, yaitu Lafal untuk menyatakan rujuk. 

a. Lafal itu harus dapat megungkapkan maksud rujuk dalam hal ini ada dua kemungkinan,  

1) Lafal sarih dalam bahasa Arab ialah seperti Radadtuki ilayya (kukembalikan engkau padaku) yaitu kata suami kepada isterinya “aku rujuk padamu” ini adalah pernyataan suami yang jelas untuk rujuk kepada isterinya. Dalam kalimat tersebut yang menjadi lafal sarih ialah “Radda” dalam Al-Quran dan hadist terdapat tiga lafal yang menunjukan lafal sarih untuk rujuk. Ialah “radda, raja’a, dan Amsaka” artinya kembali lagi rujuk. 

2) Lafal kinayah di antaranya dalam bahasa arab:  “Nakaha” atau Tazawwaja” seperti dalam susunan kalimat: “Nakahtuki” atau “Tawwajtuki” kedua kata itu adalah lafal sarih bagi akad nikah karena itu tidak mungkin dipergunakan sebagi lafal sarih bagi rujuk, karena itu wanita itu hanya boleh dirujuk dalam masa Iddah.  

b. Lafal itu harus bersifat Munjazah, yaitu rujuk langsung berlaku sehabis lafad itu diucapkan. Lafal itu tidak boleh berkait dengan sesuatu sarat seperti kata suami: “aku rujuk padamu jika engkau kukehendaki” ucapan yang demikian tidak sah untuk rujuk meskipun isterinya menjawab: “aku menghendakinya”. 

c. Tidak boleh lafal itu di kaitkan dengan batas waktu seperti kata suami “aku rujuk padamu selama sebulan”, rujuk yang demikian tidak sah,[2] melalui sindiran misalnya “saya pegang engkau” atau saya kawin engkau dan sebagainya, yaitu dengan kalimat yang boleh dipakai untuk rujuk atau untuk lainya. Siqhat itu sebaiknya merupakan perkataan tunai, berarti tidak digantungkan pada sesuatu. Umpamanya dikatakan, “saya kembali kepadamu jika engkau suka atau kembali kepadamu kalau sianu datang” rujuk yang di gantungkan seperti itu tidak sah.[3]


[1] Talaq Bain Suqhra adalah Talaq yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas Suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak Nikah baru kepada bekas Istrinya itu.,  H. Djaman Nur,op.cit., hlm.140
[2] Peunoh Daly, Hukum Prekawinan Islam Suatu setudi Perbandingan dalam Kalangan Ahlusunah dan Negara-negara Islam., Jakarta: PT Bulan Bintang. Cet. I. 1988, hlm, 392-396
[3] H.Sulaiman Rasid, fiqih islam (hukum fiqih lengkap ), Bandung: PT Sinar Baru Al gensindo, cet.27, 1994, hlm.420.

No comments:

Post a Comment