Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menggariskan
batas umur perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 29 menyatakan
bahwa laki-laki yang belum mencapai umur
delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun
penuh, tidak dapat mengadakan perkawinan.
Sedangan
batas kedewasaan seseorang berdasarkan KUHPerdata pasal 330 adalah umur 21 (dua
puluh satu) tahun atau belum pernah kawin. Namun, berdasarkan Ketentuan Penutup
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 66 bahwa untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-Undang
ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dinyatakan tidak berlaku.
Salah
satunya adalah tidak berlakunya ketentuan batas umur perkawinan karena Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur tentang batas umur
perkawinan.
Salah
satu prinsip yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah prinsip kematangan calon mempelai. Kematangan calon mempelai
ini diimplementasikan dengan batasan umur perkawinan.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pada
usia tersebut, baik pria maupun wanita diasumsikan telah mencapai usia minimal
untuk melangsungkan perkawinan dengan segala permasalahannya.
Selain
itu, Undang-Undang Perkawinan juga menentukan batas umur selain ketentuan 16 tahun
bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Undang-undang perkawinan pasal 6 ayat (2)
menyebutkan bahwa untuk melangsungkan seseorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Instruksi
Mendagri Nomor 27 Tahun 1983 tentang Usia Perkawinan dalam Rangka Mendukung
Program Kependudukan dan Keluarga Berencana menyebutkan bahwa perkawinan
usia muda adalah perkawinan yang dilakukan
pada usia di bawah 20 tahun bagi wanita
dan di bawah 25 tahun bagi pria.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 Ayat (1) dijelaskan bahwa untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
pasal 7 ayat (1) yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan
calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah
kependudukan. Dengan adanya pembatasan umur perkawinan baik bagi pria maupun wanita diharapkan laju angka kelahiran
dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian, program Keluarga Berencana
Nasional dapat berjalan seiring dan sejalan dengan Undang-undang ini.
Pada
dasarnya penetapan batas usia perkawinan memang bertujuan demi kemaslahatan dan
kebaikan terutama bagi calon mempelai. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Nomor 4 Huruf (d) dijelaskan bahwa
prinsip calon mempelai harus masak jiwa raganya dimaksudkan agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Oleh karena itu, perkawinan di bawah umur harus dicegah.
Dengan
ketentuan ini, maka penetapan batas usia perkawinan dalam Undang-Undang
Perkawinan bersifat kaku. Artinya, tidak memberikan peluang bagi siapapun untuk
melakukannya. Meskipun telah ditetapkan
batasan umur namun masih terdapat penyimpangan dengan melakukan perkawinan di
bawah umur. Terhadap penyimpangan ini, Undang-Undang Perkawinan memberikan
jalan keluar berupa dispensasi kawin kepada pengadilan. Berdasarkan Peraturan
Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 bahwa Dispensasi Pengadilan Agama ialah penetapan
yang berupa dispensasi untuk calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan
atau calon istri yang belum berumur 16
tahun yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama.
Peradilan
Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok
untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta memutuskan/menetapkan setiap
perkara yang diajukan kepadanya. Adapun perangkat Pengadilan Agama yang
berwenang menetapkan dispensasi kawin adalah hakim. Permohonan dispensasi kawin
ditujukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman pemohon. Dan
dalam surat permohonan itu harus dijelaskan alasan-alasan serta
keperluan/maksud permohonan itu serta dengan siapa rencana perkawinan
termaksud.
Untuk
mengetahui kelayakan calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan di bawah
umur, maka dilakukanlah persidangan dengan acara singkat. Dalam penetapan
dispensasi kawin, hakim mempertimbangkan antara lain kemampuan, kesiapan,
kematangan pihak-pihak calon mempelai
sudah cukup baik mental dan fisik. Hakim menetapkan dispensasi kawin harus didasarkan atas pertimbangan yang
rasional dan memungkinkan untuk memberikan dispensasi kawin kepada calon
mempelai.
Pengadilan
Agama setelah memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat
hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan
Agama memberikan dispensasi kawin dengan suatu penetapan.
No comments:
Post a Comment