SYARAT PEMINANGAN DAN HALANGANNYA


Membicarakan syarat peminangan tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan tentang halangan peminangan. Karena itu di sini dibicarakan dalam suatu sub pokok bahasan agar diperoleh gambaran yang jelas.[1]

Fiqh Islam telah menggariskan beberapa syarat dan halangannya dalam peminangan itu menjadi dua, yaitu:

1. Syarat Laziminyah adalah: syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan itu dilakukan. Pelanggaran ini akan berakibat batalnya peminangan yang telah dilakukan.

Syarat laziminyah ini sangat menentukan sah dan tidaknya sebuah peminangan jika syarat laziminyah terpenuhi maka peminangan menjadi sah, tetapi bila tidak terpenuhi maka peminangan itu menjadi batal demi hukum. Yang termasuk syarat laziminyah adalah:

a. Wanita yang akan dipinang bukanlah wanita-wanita yang termasuk atau telah menjadi mahrom dari laki-laki yang akan meminangnya. Apakah dia termasuk mahrom nasab, mahrom musyaharoh (hurmatul mushaharoh) atau karena mahrom sepersusuan (rodho’ah).

b. Wanita yang akan dipinang bukanlah wanita yang sudah atau dalam pinangan laki-laki lain. Kecuali laki-laki sebelumnya telah melepaskan haknya atau mengijinkannya untuk dipinang.

c. Wanita yang akan dipinang bukan wanita yang sedang dalam menjalani masa iddah, haram hukumnya meminang wanita yang dalam keadaan menjalani masa iddah. Talak raj’i karena dalam masa iddah itu bekas suami dari wanita yang dalam masa iddah talak raj’i itu lebih berhak merujuknya kapan  saja ia kehendaki selama masih dalam masa iddah. 

Dalam Al Qur’an Allah berfirman:

و بعولتهن أحق بردهن في ذلك ان ارادوا إصلاحا

Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu. Jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah….”

Dalam pada itu fuqaha juga sepakat dibolehkannya meminang wanita dalam masa iddah (mu’tadah) karena suaminya telah meninggal.[2]

2. Syarat mustahsinah adalah dengan memenuhi syarat-syarat itu orang dapat ihsan (kebaikan) dari perbuatan yang disyaratkan.

Syarat mustahsinah bukanlah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan, sebagaimana halnya dengan syarat laziminyah, tetapi ini hanya merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan kepada seorang laki-laki yang akan meminang seorang wanita, agar rumah tangga yang akan dibina kelak akan terjamin kelangsungan hidupnya dengan sebaik-baiknya.

Yang termasuk syarat mustahsinah adalah:

a. Sejodoh (kafa’ah).[3]

Dalam masalah kufu’ ini banyak hadits yang menerangkan diantaranya:

عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم العرب بعضه أكفاء بعض و الموالي بعضهم أكفاء بعض إلا حيا او حجاما (رواه الحاكم)

Sahabat Ibnu Umar r.a berkata: Rosulullah SAW telah bersabda: Sebagian orang Arab kufu (sesuai) dengan yang lain. Sebagian tuan-tuan dengan yang lain kecuali tukang tenun atau tukang canthuk. (HR. Hakim)[4]

b. Wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan subur (beranak) Maksudnya wanita yang dipinang itu hendaknya wanita yang peranak, halus budi pekerti penuh kasih sayang serta diduga memiliki banyak anak.

c. Hendaknya mengetahui keadaan jasmani dan budi pekertinya dari wanita yang dipinang begitu pula sebaliknya, si terpinangpun hendaknya mengetahui keadaan si peminang.[5]

Syarat mustahsinah ini sifatnya anjuran kepada seorang lelaki yang akan meminang seorang wanita, agar meneliti terlebih dahulu wanita yang akan di pinang itu. Karena sifatnya anjuran dan atau kebisaaan yang baik, maka tanpa hal itupun peminangan tetap sah. Dalam melakukan kegiatan penelitian itu seorang laki-laki perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1.  Wanita yang dipinang itu hendaknya sepadan (sekufu)  dengan laki-laki yang meminangnya.

2.  Wanita yang dipinang itu hendaknya wanita yang mempunyai sifat kasih sayang dan wanita yang peranak.

3. Wanita yang dipinang itu hendaknya wanita yang jauh hubungan darahnya dengan laki-laki yang meminangnya.

4.  Hendaknya mengatahui keadaan-keadaan jasmani, budi pekerti dan tabiat wanita yang akan dipinang.

Dalam pasal 12 KHI menyebutkan bahwa: 

1.  Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya

2.  Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’i haram dan dilarang untuk dipinang.

3.  Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain selama pinangan pria tersebut belum putus atau ada penolakan dari pihak wanita. 

4.  Putusnya pinangan dari pihak pria, karena adanya penyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam spria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.




[1] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 46
[2] Hady Mufaat Ahmad, Fiqih Munakahat,  Hukum Perkawinan Islam dan Beberapa Permaslahannya, Data Grafika, 1992, hlm. 34
[3] Ibid, hlm. 37
[4] A. Choiron Marzuki,  Kado Kenangan Pelaminang Suci, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 1997, hlm. 29
[5] Hady Mufaat Ahmad, hlm. 39-40

No comments:

Post a Comment