Dalam
Fiqh Islam kata peminangan sering dipakai secara populer dalam bahasanya dengan
istilah khitbah yang berarti permintaan atau peminangan. Ia berasal dari suku
kata (خَطَبَ – يَخْطُبُ –
خِطْباً - خِطْبَةً).[1]
Dalam
kitabnya Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq menyatakan bahwa khitbah adalah:
طلبها للزواج
بالوسيلة المعروفة بين الناس
“Seorang
pria minta kepada wanita untuk menjadi istrinya dengan cara yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat.[2]
Di dalam
buku ensiklopedi hukum
Islam terdapat pengertian
bahwa al khitbah atau peminangan
yaitu: langkah pendahuluan untuk melangsungkan suatu perkawinan. Ulama fiqh
mendefinisikan dengan menyatakan keinginan laki-laki kepada pihak wanita
tertentu untuk mengawininya, dan pihak wanita menyebar luaskan berita
tunangannya ini.[3]
H.
Ibrahim Lubis mendefinisikan bahwa meminang atau khitbah ialah menyatakan
kehendak untuk perjodohan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau
sebaliknya.[4]
Hal
ini juga disebutkan dalam pasal II bab III Kompilasi Hukum Islam bahwa
peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari
pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan melalui perantara yang dipercaya.[5]
Sedangkan
di dalam pokok-pokok hukum adat H.A.M. Efendy, memberikan pengertian bahwa
peminangan atau melamar yaitu: ajakan atau keinginan dari pihak pria yang
disampaikan dengan perantaraan wakilnya kepada pihak wanita untuk mengadakan
perkawinan. Dengan adanya peminangan ini biasanya diikuti lebih dahulu dengan
acara pertunangan, yaitu kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengandung
janji timbal balik untuk pada sesuatu ketika mengadakan perkawinan.[6]
Motif
mengadakan pertunangan ini bisa bermacam-macam:
a. Agar ada kepastian tentang
perkawinan yang diinginkan.
b. Agar kebebasan pergaulan muda-mudi
dapat dibatasi, hanya diarahkan kepada calon suami atau istri.
c. Kadang-kadang untuk mendapatkan
bantuan dari calon menantu pria.
d. Karena sudah menjadi kebisaaan pada
lingkungan masyarakat tertentu.
Sebagai
tanda telah terjadi pertunangan, biasanya fihak pria memberikan hadiah tanda
pertunangan yang disebut: Paningset (Jawa), Penyancang (Sunda), Tanda Kongnarit (Aceh = janji sudah mengikat), Pasikok
(Sulawesi Selatan = pengikat), Sasere (mentawai = mengikat), Mas Aye
(Kei = Emas Pengikat), Bace Panglarang (Bali = tanda pencegah), Bobo Mibu (Nias
= pengikat rambu).[7]
Dari
beberapa definisi tentang pengertian peminangan telah memberikan pemahaman
bahwa peminangan adalah salah satu cara yang dilakukan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan sebelum keduanya mengadakan perkawinan.
Peminangan
sebagai titik awal sebuah perkawinan adalah untuk menciptakan kehidupan antara
suami istri yang harmonis dalam rangka membina keluarga sakinah mawadah
warahmah yang sejahtera sepanjang masa. Setiap orang yang memasuki pintu
gerbang kehidupan keluarga harus melalui perkawinan.
Perkawinan
terjadi bilamana didahului oleh peminangan merupakan hal yang mustahil bilamana
perkawinan itu dilakukan tanpa adanya peminangan terlebih dahulu. Peminangan
merupakan tahap awal yang juga ikut mengantarkan terciptanya keluarga atau
rumah tangga yang bahagia, sejahtera lahir dan batin.[8]
Dalam
masalah peminangan itu bisa diwakilkan oleh seseorang yang dapat dipercaya,
yang bisa mempertemukan antara pihak
laki-laki dengan pihak perempuan dan dengan menggunakan tata cara yang berlaku
di dalam masyarakat.
Di
dalam kebiasaan masing-masing masyarakat, telah menjadikan arti peminangan itu
berbeda-beda tetapi substansinya adalah sama yaitu menuju ke perkawinan. Upaya
peminangan tidak harus kita untuk membawa sesuatu sebagai hadiah bagi wanita
yang akan dipinang maupun keluarganya. Sekalipun demikian, agama tidak melarang
kita membawa barang hantaran sepanjang kita tidak mewajibkannya.
Hal lain yang
juga perlu diperhatikan adalah bahwa pemberian barang hantaran hendaknya tidak
menyebabkan terhambatnya peminangan. Pemberian
barang hantaran tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi kaum muslimin untuk
melaksanakan sunnah Nabi, apalagi sampai menyebabkan kita tidak sanggup
mengajukan peminangan.[9]
Apabila
terjadi pembatalan peminangan dari pihak laki-laki maka barang hantaran tidak
dapat diminta kembali, begitu juga sebaliknya.
Adapun
dalam cara pengucapkannya tentang peminangan adalah sebagai berikut:
1.
Tasrih adalah melamar dengan jelas, seperti; Ji’tu li uzawwijaki, aku datang
untuk memperistrikanmu. Ucapan tasrih dapat diucapkan kepada;
a. Perempuan yang masih “kosong”
(belum ada yang pernah melamar atau belum bersuami).
b. Wanita yang telah habis masa
iddahnya.
2. Ta’ridh atau Kinayah yaitu ucapan yang dapat ditafsirkan melamar atau tidak.
Ta’ridh
digunakan kepada perempuan yang masih dalam masa iddah(mu’taddah) yang
ditinggal mati suaminya (menurut sebagian ulama) kepada mu’taddah karena ditalak bain. Karena dalam
Al Quran diterangkan bahwa meminang perempuan yang masih dalam keadaan talak raj’i
diharamkan.[10]
Firman Allah:
و
بعولتهن أحق بردهن في ذلك ان ارادوا إصلاحا
“Dan
suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa penantian itu jika mereka (para
suami) menghendaki ishlah.” (Qs: 2: 228)[11]
[1] Ahmad Hadi Mufaat, Fiqh Munakahat, Hukum Perkawinan Islam Dan
Beberapa Permasalahannya, Semarang: Duta Grafika, 1992, hlm. 29-30
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,
Beirut : Darul Fikr, Jilid 2, hlm. 20
[3] Abdul Aziz Dahlan ed,
Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve Cet I, 1997, hlm.
927-928
[4] Ibrahim Lubis, Agama Islam
Suatu Pengantar, Jakart: Galia Indonesia,
hlm. 343
[5] Cik Hasan Bisri, Kompilasi
Hukum Islam dan Pengadilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999, hlm. 142
[6] Efendy SH., Pokok-Pokok Hukum
Adat, Semarang: Triadan Jaya, 1994, hlm. 76
[7] Ibid, hlm. 76
[8] Muh. Arifin, Perkawinan
Masyarakat Jawa (Studi Kasus Peminangan Pihak Perempuan Kepada Laki-Laki),
Fakultas Syariah, hlm. 11-12.
[9] Moh. Fauzil Adhim, Moh. Nazhif
Masykur, Di Ambang Pernikahan, Jakarta:
Gema Insani, 2002, hlm. 27
[10] Abdul Hadi, Fiqh Munakahat,
Duta Grafika, Jakarta, 1989, hlm. 26
[11] Depaq RI, Al- Qur’an dan Terjemahan, Semarang: CV Toha
Putra, hlm. 55
No comments:
Post a Comment