Dalam
menentukan hukum ketika menjawab suatu problematika dalam masyarakat, para
ulama’ tidak pernah lepas dari landasan yang harus dipegang teguh oleh umat
Islam yaitu:
1. Al-Qur'an
و
لا جناح عليكم فيما عرضتم فيه من خطبة النساء او أكننتم في أنفسكم علم الله انكم
ستذكرونهن و لكن لا تواعدوهن سرا
“Dan tidak ada
dosa bagimu untuk meminang wanita-wanita ini dengan sindiran yang baik atau
kamu menyembunyikanya (keinginan mengawini mereka)dalam hatimu, Allah akan
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka secara rahasia” (Qs. 2:235)[1]
2. Hadis’
عن
ابن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يخطب أحدكم على
خطبة أخيه حتى يترك الخاطب قلبه او يأذن له (رواه البخاري)
Dari
Ibnu Umar, bahwa Rosulullah SAW
bersabda: “seorang laki-laki tidak boleh meminang perempuan yang masih dalam
peminangan orang lain, sehingga peminang sebelumnya melepasnya atau
mengijinkannya. (H.R. Bukhori).[2]
Atas
dasar firman Allah dan hadis’ tersebut di atas, maka jumhur ulama’ berpendapat
bahwa peminangan yang dilakukan sebagai langkah awal dari nikah hukumnya adalah
boleh (mubah) selama tidak ada larangan syara’ untuk meminang wanita tersebut,
seperti wanita itu sudah menjadi isteri orang lain atau telah dipinang orang
lain. Karena tujuan peminangan adalah sekedar meninjau kerelaan yang dipinang
untuk dijadikan isteri, sekaligus
sebagai janji untuk menikahinya.
Akibat
hukum dari peminangan itu sendiri tidak berkaitan dengan hak dan kewajiban
serta tidak menimbulkan keterkaitan apa pun antara keduanya. Oleh karena itu
para ahli fiqh mengatakan bahwa peminangan tersebut boleh saja batalkan salah
satu pihak tanpa persetujuan pihak lain. Oleh karena itu sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al Baqarah ayat 235
yang telah disebutkan dapat diketahui bahwa hukum khitbah atau atau peminangan
adalah mubah, meskipun ayat tersebut menerangkan masalah diperbolehkannya
meminang perempuan ketika perempuan itu
dalam masa menunggu atau iddah.
Meskipun
para ahli fiqh menyatakan bahwa peminangan itu hukumnya adalah mubah, tetapi
ada pula ulama’ lain yang menyatakan bahwa khitbah nikah atau peminangan itu
hukumnya wajib. Seperti Daud yang mengatakan bahwa khitbah itu wajib. Silang
pendapat ini disebabkan apakah perbuatan nabi SAW yang berkenaan dengan soal
itu diartikan kepada wajib ataukah sunnah.[3]
Dari
beberapa dasar hukum tentang peminangan tersebut di atas, bisa diambil
kesimpulan bahwa peminangan itu boleh diajukan oleh seorang laki-laki kepada
seorang perempuan harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at
yaitu;
a. Wanita itu terbebas dari halangan
syara’ untuk dikawini oleh pria yang akan meminangnya, seperti wanita itu bukan
mahromnya (mahrom dan muhrim) baik bersifat sementara maupun bersifat selamanya
(seketurunan, sepersusuan, dan sepersemendean), dan wanita itu tidak masih
dalam masa iddah baik karena cerai maupun karena kematian.
Kalau
peminangan kepada perempuan yang ditinggal mati suaminya maka cara
mengajukannya adalah dengan sindiran dan tidak menyinggung hak-hak suaminya
lagi karena dalam Al Qur’an Allah berfirman:
و
لا جناح عليكم فيما عرضتم فيه من خطبة النساء او أكننتم في أنفسكم علم الله انكم
ستذكرونهن و لكن لا تواعدوهن سرا
“Bagimu untuk
meminang wanita-wanita ini dengan sindiran yang baik atau kamu menyembunyikanya
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu: Dan tidak ada dosa, Allah maha mengetahui
bahwa kau akan menyebut mereka secara rahasia.” (Qs:2:235)
b. Wanita itu belum dipinang orang
lain
Dari
Ibnu Umar, bahwa Rosulullah SAW bersabda: “Seorang laki-laki tidak boleh
meminang perempuan yang masih dalam pinangan orang lain sehingga peminangan
sebelumnya melepaskannya atau mengijinkan untuk meminangnya”. (HR. Ahmad)[4]
Dari
Nash Al Qur’an dan Hadits yang sudah dijelaskan tersebut, telah dapat dimengerti
bahwa peminangan itu boleh diajukan asal wanita yang hendak dipinang telah
memenuhi dua persyaratan tersebut, tak ada lagi halangan untuk melangkah.
Pinangan boleh engkau sampaikan.
Dari
aspek metodologi, hukum Islam dapat dipahami sebagai hukum yang bersumber dari
Al-Quran dan Hadis’ melalui proses ijtihad. Karakteristik hukum Islam yang
bersendikan nas dan didukung dengan akal merupakan ciri khas yang membedakan
hukum Islam dengan hukum yang lain. Ijtihad memegang peran signifikan dalam
pembaharuan dan perkembangan hukum Islam.[5]
Oleh
karena itu, tidak menutup kemungkinan adanya suatu adat atau tradisi yang
memerlukan kajian hukum, dikarenakan adat atau tradisi belum ada ketentuan yang
jelas. Akan tetapidalam menentukan hukum dari berbagai fenomena masyarakat yang
berbeda-bedatidak terlepas dari kaidah asasiyah yang kelima yaitu Urf. Urf atau kebiasaan tumbuh dan berkembang
dimanapun ia berada. Seperti dalam fiqh sunnah Sayyid Sabiq mengatakan bahwa
cara peminangan itu dikembalikan pada urf masing masing masyarakat.
[1] Depaq RI, Al- Qur’an dan Terjemahan, Semarang: CV Toha
Putra, hlm. 57
[2] Muhammad Bin Ismail As
sham’ani, Subulus Salam, Beirut : Darul
Kutb Al Ilmiyah Jus III, hlm. 220
[3] Ahmad Ibnu Rusdy, Bidayatul
Mujtahid Juz 3, Toha Putra, Semarang, hlm. 3
[4] Ibnu Muhammad
Al-Syaukani, Nail Al-Authar, Darul Kutb
Al-Ilmiyyah, Juz V, hlm. 114.
[5] Abdul Salam Arif, Pembaharuan
pemikiran hukum Islam, Yogyakarta : LESFI, hlm. 15.
afwan terjemahan ayat yang pertama kurang teliti penukilannya. Mohon diperiksa kembali.
ReplyDeleteAssalamualaikum.
ReplyDeleteMohon maaf saya mau bertanya , kalau sesudah khitabah dilaksanakan dengan jangka waktu 12 bulan atau lebih, apakah wanita yang dikhibah itu harus diberi resiko buat jajan atau uang belanja apa bagaimana, kalau ia seperti apa ,kalau tidak jga seperti apa ,mohon penjelasan dan pencerahannya , saya Rahmat dri Bogor, wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatu.