Walimatul
‘urs merupakan mata rantai dalam pembahasan nikah yang juga mempunyai
aspek-aspek hukum dalam pelaksanaannya. Sudah menjadi kebiasaan fiqh (yang
terkadang juga dipahami sebagai hukum
Islam) mengenal istilah ikhtilaf dalam penetapan hukum. Ikhtilaf sudah sering
terjadi di kalangan ulama’ fiqh dalam penetapan hukum suatu masalah yang
menurut mereka perlu disikapi.[1]
Sikap
peduli para ulama’ dalam pemaknaan dan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an maupun
hadist-hadist Rasul dijadikannya sebagai dalil untuk menentukan hukum yang
pantas bagi pelaksanaan walimatul ‘urs.
Pandangan
mereka terhadap dalil-dalil yang
menerangkan tentang walimah jelaslah berbeda, sesuai dengan disiplin ilmu yang
mereka kuasai dalam memahami sumber hukum Islam sebagai pemaknaan sosial. Hukum
yang dilegalisasikan oleh para ulama’ ada beberapa macam, diantaranya hukum
wajib dalam mengadakan suatu walimatul ‘urs bagi orang yang melangsungkan pernikahan.
Wajibnya melaksanakan walimatul ‘urs adalah pendapat Ibnu Hazm dalam kitabnya
al-Muhalla.[2]
Pendapat
ini disandarkan pada hadist Nabi SAW:
حدثنا
قتيبة حدثنا حماد بن زيد عن ثابت عن أنس ان رسول الله صلى الله عليه و سلم رأى على
عبد الرحمن بن عوف أثر صفرة فقال ما هذا؟ فقال إني تزوجت امرأة على وزن نواة من
ذهب فقال بارك الله لك أولم ولو بشاة (رواه الترمذي)
Qutaibah
menceritakan pada kami, Hammad bin Zaid dari Tsabit menceritakan dari Anas;
Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melihat pada Abdurrahman bin Auf bekas
kekuning-kuningan, lalu beliau bertanya: Apa ini? Berkata Abdurraman bin Auf: Sesungguhnya
saya telah kawin dengan seorang wanita dengan maskawin seberat biji kurma dari
emas, lalu Rasulullah bersabda: Semoga Allah memberkatimu, adakanlah walimah
meskipun hanya seekor kambing. (H.R Tirmidzi)[3]
Dalam
hadist tersebut, Ibnu Hazm menjadikan lafadz (أولم و لو بشاة) sebagai dalil keharusan mengadakan sebuah walimatul ’urs.[4] Menurut beliau, fi’il amar
dalam hadist tersebut mengandung perintah wajib. Hal ini dikemukakan oleh Abdul
Aziz Dahlan dalam Ensiklopedi Hukum Islam.[5]
Akan
tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa mengadakan acara walimatul ’urs hukumnya
adalah sunah saja. Hal ini dikarenakan walimah adalah makanan yang tidak
dikhususkan bagi orang-orang yang membutuhkan, maka hal tersebut menyerupai
terhadap hari perayaan qurban, serta diqiyaskan pada pelaksanaan
walimah-walimah yang lain.[6]
Dan
dalil yang dipergunakan untuk untuk memperkuat argumentasinya adalah hadist
Rasul yang berbunyi:
حدثنا
علي بن محمد حدثنا يحيى بن آدم عن شريك عن أبي حمزة عن الشعبي عن فاطمة بنت قيس
أنها سمعته تعني رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ليس في المال حق سوى الزكاة
(رواه الترمذي)
Ali
bin Muhammad telah menceritakan pada kami, Yahya bin Adam telah menceritakan
dari Syarik, dari Abi Hamzah, dari Sya’bi, dari Fatimah binti Qaisy,
sesungguhnya Fatimah telah mendengarkan dan bermaksud pada Rasulullah SAW,
kemudian Rasulullah SAW bersabda: tidak
ada kewajiban (hak) bagi suatu harta kecuali untuk zakat.
(H.R At-Tirmidzi)[7]
Ada
juga ulama’ yang berpendapat bahwa mengadakan walimatul ’urs adalah fardhu kifayah. Yang dimaksud adalah, adalah
apabila melaksanakan satu orang atau dua orang pada satu daerah, maka telah
dianggap cukup.[8]
[1] Romli, Muqaranah Madzaib fil
Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hlm. 2.
[2] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz
VII, Beirut: Dar al-Fikr, t.t, hlm. 450.
[3] Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Juz
III, Beirut, Dar al-Kitab, t.t, hlm. 402.
[4] Ibnu Hazm, loc.cit.
[5] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, hlm. 1918.
[6] Taqiyudin Abi Bakar, Kifayatul
Ahyar, Juz II, Semarang: CV. Toha Putra, t.t. hlm. 68
[7] Tirmidzi, op. cit, hlm. 201.
[8] Taqiyudin Abi Bakar, loc. Cit
No comments:
Post a Comment