MEMENUHI UNDANGAN WALIMAH PENGANTIN


Terdapat perbedaan pendapat ulama’ fiqh tentang hukum menghadiri walimah bagi orang-orang yang diundang. Abdul Aziz Dalan dalam Ensiklopedi Umat Islam menerangkan bahwa menurut ulama’ Madzab Hanafi, menghadiri walimah itu hukumnya sunah, karena seluruh hadis yang berbicara tentang undangan menghadiri walimah, menurut mereka bersifat anjuran saja, bukan perintah wajib.[1]

Sebagian ulama’ Madzab Syafi’iyah dan sebagian ulama’ Madzab Hanbali mengatakan bahwa menghadiri undangan walimah pengantin itu hukumnya wajib kifayah (kewajiban kolektif), karena menghadiri undangan tersebut maksudnya adalah menghormati tuan rumah dan menunjukkan rasa persaudaraan. Oleh karena itu, hukumnya sama dengan menjawab salam seseorang di tengah jalan.[2]

Akan tetapi menurut jumhur ulama’ bahwa orang yang sudah diundang untuk menghadiri acara walimatul ’urs adalah wajib hukumnya untuk menghadirinya. Pernyataan ini diungkapkan oleh Taqiyudin Abu Bakar, “jika kami mewajibkan walimatul ’urs maka memenuhi undangannya adalah wajib, dan jika kami tidak mewajibkan walimatul ’urs, maka memenuhi undangannya tetap hukumnya wajib menurut pendapat yang rajih, serta telah merajihkan ulama’-ulama’ Iraq dan Ruyaniy.[3]

Hal ini sesuai dengan hadist Nabi, yaitu: 

حدثنا عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن نافع عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال اذا دعي احدكم الى الوليمة فليأتها (رواه البخاري)

Abdullah bin Yusuf telah menceritakan pada kami, Malik, dari Nafi’ mengkhabarkan dari Abdullah bin Umar ra: bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Apabila diundang salah satu dari kalian semua pada walimah, maka hendaklah kamu memenuhinya. (H.R Bukhari)[4]

Dzahir hadist tersebut telah dijadikan dalil oleh sebagian ulama’ madzab Syafi’iyah, bahwa memenuhi undangan walimah hukumnya adalah wajib secara mutlak. Telah menduga Ibnu Hazm bahwa ungkapan tadi adalah perkataan jumhur Sahabat dan Tab’in dimana di dalamnya tokoh yang membedakan antara walimatul ‘urs dengan walimah yang lainnya.[5]

Nawawi telah menukil kesepakatan atas wajibnya memenuhi undangan walimatul ’urs dan telah menjelaskan jumhur Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa memenuhi undangan walimatul ‘urs adalah fardhu a’in. Perkataan Syafi’i mengindikasikan wajibnya memenuhi walimatul ‘urs, serta mengindikasikan tidak adanya rukhsah (keringanan) untuk perayaan selain walimatul ‘urs.

Selain hadist di atas, ada juga hadist Rasulullah SAW yang dijadikan dalil oleh para ulama’ untuk memberikan hukum wajibnya terhadap memenuhi undangan walimatul ’urs. Hadist tersebut adalah:

و حدثني عن مالك عن ابن شهاب عن الأعرج عن أبي هريرة رضي الله عنه انه كان يقول بئس الطعام طعام الوليمة يدعى اليه الأغنياء و يترك المساكين فمن لم يأت الدعوة فقد عصى الله و رسوله (رواه مسلم)

Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari A’raj, dari Abu Hurairah: bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: sejelek-jeleknya makanan adalah makanan walimah yang diundang orang-orang kaya di dalamnya dan ditinggalkannya orang-orang yang miskin. Dan barang siapa yang tidak memenuhi undangan walimatul ’urs maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan rasul-Nya.  (H.R Muslim)[6]

Menurut jumhur ulama’, hadist-hadist tersebut di atas secara tegas menunjukkan bahwa setiap orang yang diundang untuk menghadiri sebuah walimatul ’urs adalah wajib untuk menghadirinya, apabila tidak ada udzur. Misalkan saja bertempat tinggal jauh dari lokasi pelaksanan walimatul ’urs sehingga menyulitkan untuk menghadirinya  atau dalam keadaan sakit. Bahkan menurut jumhur ulama’, orang yang berpuasapun diwajibkan untuk menghadirinya meskipun dia tidak ikut makan.

Wajibnya menghadiri undangan dalam walimatul ’urs dengan ketentuan:

1. Undangan itu umum, semua keluarga, tetangga, orang-orang yang kaya dan miskin turut serta diundang.

2. Pengundang datang sendiri atau wakilnya. 

3. Kedatangannya tidak ada khawatir akan kedhaliman.

4. Ditempatkan dengan orang-orang sejajar.

5. Dalam walimah itu tidak ada perbuatan munkar, seperti minum-minuman keras.

6. Mengunjungi di hari pertama (andaikan walimah diadakan beberapa hari).

7. Yang mengundang harus orang Islam.[7]




[1] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,  Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, hlm. 1918
[2] Abi Ishaq Asy-Syairazi, Al-Muhazzab, Beirut : Dar al-Kutub Al-Ilmiah, Juz II, t.t, hlm. 477
[3] Taqiyudin Abi Bakar, Kifayatul Ahyar, Juz II, Semarang: CV. Toha Putra, t.t, hlm. 69
[4] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz VI, Beirut: Dar al-Kutub, t.t,  hlm. 470.
[5] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz VII, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. hlm. 450
[6] Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t, hlm. 1054.
[7] Taqiyudin Abi Bakar, op. cit, hlm. 69-71

No comments:

Post a Comment