Praktek
walimatul ’urs yang bersifat normatif bisa dipahami atau ditarik suatu
pemahaman dari hadst-hadist Rasul baik yang bersifat qouly ataupun fi’ly. Pemahaman
tersebut bisa dijadikan sebuah praktek walimatul ’urs secara kontekstual,
karena merupakan hasil memformulasikan demi menghasilkan persepsi tentang
praktek walimah yang dilakukan oleh Rasulullah maupun para sahabat.
Dalam
Islam diajarkan untuk sederhana dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam
melaksanakan walimatul ’urs harus sederhana tidak boleh berlebih-lebihan.
Seseorang yang tidak mau dianggap miskin
atau ketinggalan zaman lalu mengadakan walimatul ‘urs dengan pesta
meriah. Para tamu bersenang-senang, akan tetapi tuan rumahnya mengalami
kesedihan, bahkan dengan berhutang dan menjual atau menggadaikan harta,[1] tidak dibenarkan, karena
yang terpenting adalah mengadakan pesta penikahan sebagai tanda rasa syukur
kepada Allah SWT.
Dalam
hadist yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Nabi SAW
menganjurkan supaya dalam mengadakan sebuah walimatul ’urs menyembelih walaupun
hanya seekor kambing. Akan tetapi jika
tidak mampu, maka boleh berwalimah dengan makanan apa saja yang
disanggupinya.
Imam
Taqiyudin dalam Kifayatul Ahyar menyebutkan bahwa sedikitnya walimatul ’urs
bagi orang yang mampu adalah dengan seekor kambing, karena Nabi Muhammad SAW
menyembelih seekor kambing ketika menikah dengan Zaenab binti Jahsy. Dan dengan
apapun seseorang itu melakukan walimatul ’urs sudah dianggap cukup, karena Nabi
Muhammad SAW melakukan walimatul ’urs untuk Shofiyah binti Syaibah dengan
tepung dan kurma.[2]
Hal
ini sesuai dengan hadist Nabi SAW:
حدثنا
محمد بن يوسف حدثنا سفيان عن منصور بن صفية عن أمه صفية بنت شيبة عن عائشة قالت أولم
النبي صلى الله عليه و سلم على بعض نسائه بمدين من شعير (رواه البخاري)
“Muhammad
bin Yusuf menceritakan pada kami, Sofyan menceritakan dari Mansur bin Shafiyah
dari Ibunya (Shafiyah binti Syahibah) dari Aisyah berkata: Nabi SAW telah melaksanakan
walimah terhadap sebagian istri-istrinya dengan dua mud dari gandum” (H.R
Bukhari).[3]
Sesuai
dengan hadist di atas, walimatul ‘urs yang dilaksanakan oleh Nabi jauh dari sifat
pemborosan dan kesia-siaan dengan membuat berbagai macam jenis makanan. Dengan
kata lain, menurut hadist diatas, standarisasi biaya dalam sebuah perayaan
walimatul ‘urs adalah dengan tidak melebihi seekor kambing, artinya mengundang
orang yang cukup dijamu dengan seekor kambing. Kalaupun lebih tidak masalah
asalkan masih dalam batas-batas kemaslahatan.
Dalam
walimatul ’urs sendiri, disunatkan bagi
para dermawan agar ikut serta dalam membiayai pelaksanaannya. Dalam
al-Qur’an, Allah menegaskan dalam surat An-Nur ayat: 32:
و
انكحوا الأيامى منكم و الصالحين من عبادكم و إمائكم ان يكونوا فقراء يغنهم الله من
فضله و الله واسع عليم
“Dan
nikahkanlah ornag yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
nikah dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya, dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha
Mengetahui” (QS An-Nur: 32)[4]
Perintah
menikahkan dalam ayat ini, disamping ditujukan kepada wali nikah, juga kepada
orang-orang kaya agar mengambil bagian dalam memikul beban pembiayaan
pelaksanaan pernikahan.[5]
Hal
ini juga sesuai dengan hadist Nabi:
قال
أنس اذ كان بالطريق جهزتها له أم سليم فأهدتها له من الليل فأصبح النبي صلى الله
عليه و سلم عروسا فقال من كان عنده شيئ فليجئ به قال وبسط نطعا قال فجعل الرجل
يجيئ بالأقط و جعل الرجل بالسمن فحاسوا حيسا فكانت وليمة رسول الله صلى الله عليه
و سلم(رواه مسلم)
Anas
berkata: setiba (mereka) disuatu tempat dalam perjalanan, Ummu Salim lalu
mempersiapkan segalanya dan menyerahkan Shafiyah pada malam itu kepada
Rasulullah SAW sehingga Rasulullah SAW menjadi pengantin, lalu beliau bersabda:
siapa yang punya sesuatu bawalah kesini. Anas berkata: maka tikarpun dihamparkan,
dan berdatanganlah orang dengan membawa makanan ; ada yang membawa keju, ada
yang membawa kurma, dan ada yang membawa samin. Dan merekapun makan dari beberapa
macam makanan itu serta minum dari kolom air hujan yang ada di sebelah mereka.
Itulah walimah pernikahan Rasulullah SAW (HR Muslim) [6]
Pada
keterangan hadist di atas, terlihat jelas partisipasi para dermawan dalam
pelaksanaan walimatul ‘urs. Ada yang membawa keju, ada yang membawa kurma, ada
yang membawa mentega samin, semuanya diserahkan demi terselenggaranya sebuah
walimatul ‘urs, disamping meringankan beban tuan rumah. Yang demikian itu
seharusnya dipertahankan oleh setiap muslimin, agar rasa persaudaraan dan
bentuk tolong-menolong dalam kebaikan dapat lestari dan terjaga.
Untuk
memperlihatkan kebahagiaan dalam acara walimatul ’urs, Islam membolehkan adanya acara kegembiraan diantaranya
adalah mengadakan hiburan dan nyanyian yang mubah dalam pernikahan. Yang
dimaksud dengan nyanyian disini adalah nyanyian yang sopan dan terhormat yang
sama sekali steril dari perkataan kotor dan tindakan amoral.
Diantara
hiburan yang dapat menyegarkan jiwa, menggairahkan hati dan memberikan
kenikmatan pada telinga adalah nyanyian. Islam memperbolehkannya selama tidak
mengandung kata-kata keji dan kotor atau menggiring pendengarnya berbuat dosa.
Tidaklah mengapa bila nyanyian itu diiringi dengan musik selama tidak sampai
melenakan. Bakan itu dianjurkan pada momen-momen kebahagiaan dalam rangka
menebarkan perasaan gembira dan menyegarkan jiwa.[7]
Tidak
apa-apa hukumnya jika dalam sebuah walimatul ’urs menyanyikan lagu-lagu yang
terpuji dan memberikan semangat kepada kedua mempelai untuk menikah. Syaratnya
adalah bait-bait syair lagu yang dilantunkan harus benar-benar bersih dari
unsur “jorok” (pornografi). Yang seperti ini hukumnya malah diajurkan untuk
dilantunkan.[8]
Ada
beberapa dalil yang mendasari kebolehan hal tersebut:
حدثنا
الفضل بن يعقوب حدثنا محمد بن سابق حدثنا إسرائيل عن هشام بن عروة عن ابيه عن
عائشة انها زفت امرأة الى رجل من الأنصاري
فقال النبي صلى الله عليه و سلم يا عائشة ما كان معكم من لهو فإن الأنصارى يعجبهم
اللهو (رواه البخاري)
Fadl
bin Ya’kub telah menceritakan pada kami, Muhammad bin Sabiq telah menceritakan
pada kami, Israil telah menceritakan dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari
aisyah ra bahwa dia telah ikut mengantarkan seorang calon pengantin perempuan kepada
salah seorang laki-laki dari kalangan Anshor. Lantas Nabi bersabda: ”wahai
Aisyah tidakkah ada hiburan yang bersama-sama dengan kalian? Sesungguhnya
orang-orang Anshor sangat suka dengan hiburan. (H.R Ahmad
dan Bukhari)[9]
Dalam
pelaksanaan walimatul ’urs juga diperlukan adanya bunyi-bunyian untuk
memeriahkan dan memaklumkan adanya pernikahan, seperti pada hadist:
حدثنا
عمرو بن رافع حدثنا هشيم عن أبي بلج عن محمد بن حاطب قال قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم فصل ما بين الحلال و الحرام ضرب الدف و الصوت في النكاح (رواه ابن
ماجه)
Amr
bin Rafi’ telah menceritakan pada kami, Husyaim telah menceritakan dari Abi
Balj, dari Muhammad bin Hathib berkata: Rasulullah SAW bersabda: batas antara yang halal dan yang haram itu ialah
membunyikan genderang (rebana) dan bunyi suara (lagu) dalam pernikahan
(HR Ibnu Majah)[10]
Hal
ini juga sesuai dengan hadist Rasulullah SAW:
أخبرنا
علي بن حجر قال حدثنا شريك عن أبي اسحاق عن عامر بن سعد قال دخلت على قرظة بن كعب
و ابي مسعود الأنصاري في عرس و اذا جوار يغنّين فقلت انتما صاحبا رسول الله صلى
الله عليه و سلم و من أهل بدر يفعل هذا عندكم فقال اجلس ان شئت فاسمع معنا و ان
شئت اذهب قد رخّص لنا في اللهو عند العرس (رواه النسائي)
“Ali
bin Hujr telah mengkhabarkan pad akami, dia berkata: Syarik menceritakan dari
Abi Ishak dari Amir bin Sa’ad, dia
berkata: Aku telah berjumpa dengan Qarazah bin Ka’ab dan Abu Mas’ud al-Anshari
dalam sebuah resepsi pernikahan. Ternyata di tempat itu ada gadis-gadis cilik
yang melantunkan nyanyian. Maka aku berkata: wahai dua orang sahabat rasulullah
SAW dan juga termasuk orang yang ikut perang badar, apakah kalian diam saja ada
praktek semacam ini di hadapan kalian?
Keduanya berkata: duduklah kamu! Jika kamu ingin, dengarkan saja bersama kami, namun jika tidak
pergi saja sendiri. Karena sebenarnya kita telah diberi rukhsah untuk
menyaksikan hiburan di pesta pernikahan” (H.R Nasa’i)[11]
Walimatul
’urs pada zaman Nabi diiringi sebuah hiburan dengan tujuan untuk memeriahkan
perayaan tersebut dari satu sisi dan sisi yang lain adalah untuk menghibur para
undangan agar merasa nyaman dan tenteram selama perayaan dilangsungkan. Hiburan
atau nyanyian diperbolehkan untuk mengiringi pengantin dalam sebuah perayaan
walimatul ’urs selama dihindarkan dari kemungkaran dan hal-hal yang
bertentangan dengan syari’at.
Meskipun
dalam pernikahan diperbolehkan mengadakan hiburan-hiburan, akan tetapi tidak
boleh berlebih-lebihan. Pada zaman Rasulullah SAW banyak bentuk walimah yang
dapat dijadikan model, walau di zaman mereka pun sudah mampu melaksanakan walimatul
’urs dengan segala kemewahan. Akan tetapi mereka tidak melaksanakan hal yang
demikian. Mereka menganggap, lebih baik kekayaan yang mereka miliki
dipergunakan bagi kemaslahatan masyarakat.[12]
Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat: 31:
يا
بني آدم حذوا زينتكم عند كل مسجد و كلوا و اشربوا و لا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين
“Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang
yang berlebih-lebihan” (QS Al-A’raf: 31)[13]
[1] Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulugh
al-Marom, Terj. Kahar Masyhur, ”Bulugh al-Marom”, Jakarta: Rineka Cipta, Cet.
Ke-1, 1992, hlm. 72.
[2] Taqiyudin Abi Bakar, op. cit,
hlm. 68-69.
[3] Imam Bukhari, op.cit, hlm.
471.
[4] Depag RI, Al-qur’an dan
Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 549.
[5] A. Mudjab Mahalli, op. cit,
hlm. 153.
[6] Imam Muslim, Shahih Muslim,
Terj. A. Razak dan Rais Latief, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980, hlm. 178-179.
[7] Yusuf Qardhawi, Halal dan
Haram Dalam Islam, Terj. Wahid Ahmadi, dkk, Solo: Era Intermedia, 2000, hlm.
427.
[8] Muhammad Ali Ash-Shabuni, op.
cit, hlm. 305.
[9] Imam Bukhari, op. cit, hlm.
467.
[10] Ibnu majah, Sunan Ibnu Majah,
Juz I, Beirut: Dar al Fikr, t.t., hlm. 611.
[11] Nasa’I, Sunan Nasa’I, Juz V,
Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, t.t., hlm. 135
[12] A. Qurrah, Pandangan Islam
Terhadap Pernikahan Melalui Internet,
Jakarta: PT Golden Terayon Press, 1997, hlm. 70.
[13] Depag RI, op.cit, hlm. 225.
No comments:
Post a Comment