Islam
telah mensyari’atkan kepada kita semua untuk mengumumkan sebuah pernikahan. Hal
itu bertujuan untuk membedakan dengan pernikahan rahasia yang dilarang
keberadaannya oleh Islam. Selain itu, pengumuman tersebut juga bertujuan untuk
menampakkan kebahagiaan terhadap sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT kepada
seorang mukmin, sebab dalam pernikahan dorongan
nafsu birahi menjadi halal hukumnya. Dan dalam ikatan itu juga, akan tertepis semua
prasangka negatif dari pihak lain.
Tidak
akan ada yang curiga, seorang laki-laki berjalan berduaan dengan seorang
wanita. Hal yang mungkin terjadi jika
tidak diikat dengan tali pernikahan adalah bisa menyebarkan fitnah yang sangat
besar. Itulah sebabnya Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam untuk
menyiarkan akad nikah atau mengadakan suatu walimah, bahkan Rasulullah SAW juga
berwasiat kepada umatnya untuk mengumumkan acara walimatul ’urs pada khalayak.[1]
At-Tirmidzi
telah meriwayatkan sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
حدثنا
أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون أخبرنا عيسى بن ميمون الأنصاري عن القاسم بن
محمد عن عائشة قالت قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أعلنوا هذا النكاح و اجعلوه
في المساجد و اضربوا عليه بالدفوف (رواه الترمذي)
“Ahmad
bin Mani’ telah menceritakan pada kami, Yazid bin Harun telah menceritakan pada
kami, Isa bin Maimun al-Anshori telah mengkhabarkan dari Qosim bin Muhammad,
dari Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: umumkanlah pernikahan ini! Rayakanlah
di dalam masjid. Dan pukullah alat musik rebana untuk memeriahkan (acara)nya.”
(H.R. At-Tirmudzi)[2]
Dalam
kehidupan sehari-hari kata walimah sering diartikan sebagai pertemuan
(perjamuan) formal yang diadakan untuk menerima tamu, baik itu dalam pernikahan
maupun pertemuan lainnya.[3]
Imam
Syafi’i dalam kitab al-Umm menyebutkan bahwa walimah adalah tiap-tiap jamuan
merayakan pernikahan, kelahiran anak, khitanan, atau peristiwa menggembirakan
lainnya yang mengundang orang banyak, maka dinamakan walimat.[4]
Dalam
kitab al-Muhazzab walimah diartikan sebagai makanan yang diperjamukan untuk
manusia ada enam, yaitu perjamuan dalam pernikahan, perjamuan setelah
melahirkan, perjamuan ketika menyunatkan anak, perjamuan ketika membangun rumah,
perjamuan ketika datang dari bepergian dan perjamuan karena tidak ada sebab.[5]
Kemudian
Nabi Muhammad SAW menetapkan sebagian dari kebiasaan-kebiasaan tersebut menjadi
syari’at Islam, diantaranya adalah pada waktu penyembelihan aqiqah,
penyembelihan hewan qurban dan pada saat pernikahan.[6]
Dalam
pembahasan ini, akan diperjelas makna walimah kaitannya dengan ‘urs
(pernikahan) yang selama ini sudah dipahami banyak kalangan masyarakat, dan
bahkan sudah menjadi budaya tersendiri dari masing-masing daerah atau wilayah.
Walimatul
‘urs terdiri dari dua kata, yaitu al-walimah dan al-‘urs. Al-walimah secara etimologi berasal
dari bahasa arab, yaitu dari kata (الوليمة) dalam bahasa Indonesia berarti kenduri atau pesta, jama’-nya
adalah (ولائم). Sedangkan al-‘urs secara etimologi juga berasal dari
bahasa Arab, yaitu (عُرْس) jama’-nya adalah (أَعْراسُ) yang dalam bahasa Indonesia berarti perkawinan atau makanan
pesta.[7]
Pengertian
walimatul ’urs secara terminologi adalah suatu pesta yang mengiringi akad
pernikahan, atau perjamuan karena sudah menikah.[8] Walimatul sendiri diserap
dalam bahasa Indonesia menjadi ”walimah”, dalam fiqh Islam mengandung makna
yang umum dan makna yang khusus.
Makna
umum dari walimah adalah seluruh bentuk perayaan yang melibatkan orang banyak.
Sedangkan walimah dalam pengertian khusus disebut walimatul ‘urs, mengandung pengertian peresmian pernikahan yang tujuannya untuk memberitahu
khalayak ramai bahwa kedua mempelai telah resmi menjadi suami istri, sekaligus
sebagai rasa syukur keluarga kedua belah
pihak atas berlangsungnya pernikahan tersebut.[9]
Menurut
Imam Syafi’i, bahwa walimah terjadi pada setiap dakwah (perayaan dengan
mengundang seseorang) yang dilaksanakan dalam rangka untuk memperoleh
kebahagiaan yang baru. Yang paling mashur menurut pendapat yang mutlak, bahwa
pelaksanaan walimah hanya dikenal dalam sebuah pernikahan.[10]
Menurut
Sayyid Sabiq, walimah diambil dari kata al-walmu dan mempunyai makna
makanan yang dikhususkan dalam sebuah pesta pernikahan. Dalam kamus hukum,
walimah adalah makanan pesta perkawinan atau tiap-tiap makanan yang dibuat
untuk undangan atau lainnya undangan.[11]
Berbeda
dengan ungkapannya Zakariya al-Anshari, bahwa walimah terjadi atas setiap
makanan yang dilaksanakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang baru dari pesta
pernikahan dan kepemilikan, atau selain dari keduanya. Tentang kemashuran
pelaksanaan walimah bagi pesta pernikahan sama dengan apa yang telah
diungkapkan oleh Syafi’i.[12]
Al-Syairazi dalam kitabnya al-Muhazzab
menjelaskan bahwa walimah berlaku atas tiap-tiap makanan yang diidangkan ketika
ada peristiwa menggembirakan, akan tetapi penggunaannya lebih masyhur untuk
pernikahan.[13]
Jadi
bisa diambil suatu pemahaman bahwa pengertian walimatul ’urs adalah
upacara perjamuan makan yang diadakan baik waktu aqad, sesudah aqad, atau
dukhul (sebelum dan sesudah jima’). Inti dari upacara tersebut adalah untuk memberitahukan
dan merayakan pernikahan yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan
kebahagiaan keluarga.
[1] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Az
Zawaajul Islaamil Mubakkir: Sa’aadah, Terj. Iklilah Muzayyanah Djunaedi, “Hadiah
Untuk Pengantin”, Jakarta: Mustaqim, 2001., hlm. 302.
[2] Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Juz
III, Beirut, Dar al-Kitab, t.t, hlm. 399.
[3] DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 745.
[4] Al-Syafi’i, Al-Umm, Juz VII,
Beirut: Dar al-Kutub, al-Ilmiyah, t.t, hlm. 476.
[5] Al-Syairazi, Al-Muhazzab,
Beirut : Dar al-Kutub Al-Ilmiah, Juz II, t,th, hal. 476.
[6] Depag RI, Ensiklopedi Islam di
Indonesia, Jakarta: Anda Utama, 1993, hlm. 1286.
[7] Mahmud Yunus, Kamus Arab
Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur'an, 1973,
hal. 507.
[8] Mochtar Effendi, Ensiklopedi
Agama dan Filsafat, Palembang: Universitas Sriwijaya, Cet. Ke-1, 2001, hal.
400.
[9] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, hlm. 1917.
[10] Taqiyudin Abi Bakar, Kifayatul
Ahyar, Juz II, Semarang: CV. Toha Putra, tth, hlm. 68.
[11] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,
Terj. Muhammad Thalib, Juz. VII, Bandung: PT Al-Ma’arif, Cet. Ke-2, 1982,
hlm.148.
[12] Zakariya al-Anshari, Fathul
Wahab, Juz II, Semarang: CV. Toha Putra, tth, hlm.61
[13] Al-Syairazi, op.cit, hlm. 477
No comments:
Post a Comment