Al-Qur'an
sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa
kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan dari satu
nafas (living entity) dimana yang satu tidak memiliki keunggulan
terhadap yang lain. Bahkan al-Qur'an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa
diciptakan dari tulang dari tulang rusuk
Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah.
Atas
dasar itu, prinsip al-Qur'an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama,
dimana hak istri diakui sederajat dengan hak suami. Dengan kata lain laki-laki
memiliki hak dan kewajiban terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan juga
memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki apabila jika dikaitkan dengan konteks
masyarakat pra Islam yang ditransformasikannya.[1]
Bila
kita pelajari al-Qur'an dan as-Sunnah, jelas sudah bagi kita keadilan adalah
sesuatu yang utuh. Kekeliruan besar jika kita hanya mengupas keadilan hukum dan
mengabaikan keadilan sosial. Serta keadilan ekonomi.
Banyak
sekali ayat al-Qur'an yang mengatakan bahwa harta kekayaan tidak boleh hanya
berputar putar di tangan satu kelompok keadilan juga merupakan salah satu
prinsip hukum Islam.[2]
Hukum
selain sebagai pengatur kehidupan masyarakat atau social control, juga
sebagai pembentuk kehidupan masyarakat atau social enginering. Kedua
fungsi itu diharapkan mampu berjalan serempak, dapat menjaga dan mengatur
kehidupan agar tidak terpengaruh terhadap laju perubahan zaman yang sangat
dinamis.[3]
Ibnu
Qudamah menyebutkan bahwa menikah dengan niat cerai adalah sah ini adalah yang
disepakati oleh mayoritas ulama selain al-Auza’i, yang menganggapnya sebagai
nikah mut’ah. Sedangkan nikah ini bukan (berbeda dengan) nikah mut’ah.[4] Letak perbedaan dengan
nikah mut’ah adalah tenggang waktu yang disebutkan dalam waktu tertentu,[5] seperti apabila ayah
mempelai meminta datang maka jatuhlah talak. Maka nikah seperti ini tidak sah.
Karena syarat tersebut menjadi penghalang (mani’) bagi kekalnya
pernikahan.[6]
Selanjutnya
Ibnu Qudamah menyatakan bahwa seorang suami tidak hanya berniat (pada saat
akad) untuk tetap mempertahankan istrinya. Boleh jadi, jika ia serasi
dengannya, maka ia akan mempertahankannya dan jika tidak (serasi) maka ia boleh
saja menceraikannya.[7]
Sebab
niat untuk hidup selamanya bersama istri bukanlah suatu hal yang wajib, bahkan
boleh saja ia menceraikannya. Apabila ia bermaksud ingin menceraikannya setelah
beberapa waktu, maka ia telah meniatkan perkara yang diperbolehkannya. Jadi
niat untuk mempertahankan maupun menceraikan tidak berpengaruh terhadap
keabsahan akad nikah.
Asy-Syafi’i
dalam kitab al-Umm menyatakan bahwa jika seorang datang ke suatu negeri
dan ingin menikahi seorang wanita, sementara niat keduanya atau salah satu
tidak ingin mempertahankannya kecuali sebatas si pria bermukim di negeri
tersebut. Kemudian keduanya melangsungkan akad pernikahan secara mutlak
tanpa ada persyaratan di dalamnya, maka nikahnya
sah. Adapun niat tidak merusak pernikahan sedikitpun karena niat merupakan
ungkapan hati, adakalanya seorang meniatkan sesuatu akan tetapi ia tidak
melakukannya.[8]
Begitu
pula dalam kitab Fath al-Qadir disebutkan, bahwa seandainya seorang
laki-laki menikahi seorang wanita dan dalam niatnya, dia hidup bersama hanya
beberapa waktu tertentu maka nikahnya tetap sah karena pembatasan waktu yang
dilarang itu hanyalah dengan ucapan.[9]
Persamaan
kedudukan laki-laki dan perempuan selain dalam hal pengambilan keputusan juga
dalam hak ekonomi yakni untuk memiliki harta kekayaan dan tidaklah suami
ataupun bapaknya boleh mencampuri hartanya kekayaan itu termasuk yang didapat
melalui pewarisan atau yang diusahakannya sendiri. Oleh sebab itu mahar atau
mas kawin dibayar oleh laki-laki untuk pihak perempuan sendiri, bukan untuk
orang tua dan tidak bisa diambil kembali oleh suaminya.[10]
Hukum
Islam dituntut untuk mengerti seluruh umat Islam yang berasal tidak hanya dari
kalangan Arab belaka. Namun juga berasal dari seantero dunia yang tentunya
sangat bervariatif kondisi dan kebudayaannya. Maka Islam harus fleksibel dan
bisa diterima kapan pun dan dimana pun hukum Islam harus hidup di tengah-tengah
masyarakat yang menganutnya. Kemudian timbul pertanyaan, mampukah hukum Islam
hidup dimana pun dan kapan pun juga?[11]
Hukum
Islam yang merupakan syari’ah berasal dari al-Qur'an pada dasarnya ada tiga
pokok ajaran, yakni percaya pada keesaan Tuhan, pembentukan masyarakat adil,
dan percaya hidup sesudah mati. Al-Qur'an merupakan sebuah buku
prinsip-prinsip dan seruan-seruan moral,
bahkan sebagai dokumen hukum. Tetapi ia memang mengandung beberapa pernyataan
hukum yang penting yang dikeluarkan selama proses pembinaan masyarakat di
Madinah. Kemudian agar penafsiran
al-Qur'an dapat diterima dan dapat berlaku adil terhadap tuntutan keilmuwan dan
integritas moral, maka salah satunya pendekatan yang harus digunakan adalah
pendekatan sejarah atau historis sosiologis.[12]
Sedangkan
diantara ulama kontemporer yang melarang nikah dengan niat talak dan
menganggapnya serupa dengan nikah mut’ah adalah Muhammad Rosyid Ridha. Dalam tafsir Al-Manar dijelaskan bahwa
ulama terdahulu (salaf) dan ulama sekarang (khalaf) sangat keras dalam melarang
nikah mut’ah, pendapat ini juga melarang pendapat tentang nikah dengan niat talak.
Sekalipun ulama menganggap sah nikah ini karena tidak dinyatakan ketika
pelaksanaan sighat akad. Namun demikian, sikap menyembunyikan niat itu yang
dianggap sebagai perbuatan penipuan mengelabuhi pihak perempuan yang lebih pantas
untuk dibatalkan dari pada akad yang bersyarat dengan jelas disebutkan batas
waktunya dan disetujui oleh pihak suami istri dan wali.[13]
Berdasarkan
beberapa argumen yang telah dikemukakan
di atas dapat ditarik sebuah pengertian bahwa nikah dengan niat cerai menurut
pandangan Ibnu Qudamah boleh dan sah-sah saja, itu bertentangan dengan beberapa
hal, diantaranya keadilan bagi seorang perempuan dalam hal ini yang menjadi objek.
Karena dengan konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Qudamah jelas sangat merugikan
pihak perempuan, bahkan dapatlah dipertegas nikah dengan niat cerai merupakan
kebohongan terselubung yang direncanakan oleh pihak laki-laki terhadap istrinya
meskipun sang istri tidak mengetahui.
Nikah
dengan niat cerai juga bertentangan dengan tujuan nikah itu sendiri yakni salah
satunya membina rumah tangga yang sakinah wamaddah wa rahmah. Bagaimana
mungkin sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah akan terbentuk jika
dalam hatinya ada niat untuk cerai dikemudian
hari.
Nikah
semacam ini jika diterapkan di Indonesia maka akan sangat tidak dapat berjalan,
karena seandainya nanti memang betul-betul terjadi sebuah perceraian karena
memang sudah direncanakan oleh suami sejak semula maka hal tersebut tidak akan bisa
diterima di Pengadilan Agama. Karena perceraian yang terjadi tidak ada alasan
sama sekali. Perceraian terjadi sekonyong-konyong karena keinginan sang suami
karena memang sudah direncanakan dan hal itu bertentangan dengan azaz-azaz
perceraian yang ada di Pengadilan Agama.
Ada
6 asas yang prinsipil dalam Undang-undang Perkawinan ini :
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk
itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.
2. Dalam undang-undang ini ditegaskan
bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan “harus dicatat”
menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
3. Undang-undang ini menganut asus
monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan
seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang.
4. Undang-undang perkawinan ini
menganut prinsip bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk
dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
5.
Karena tujuan perkwainan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia
kekal dan sejahtera, maka undang – undang ini menganut prinsip untuk
mempersulit terjadinya perceraian.
6. Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga
maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu
dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.[14]
Jadi
pendapat Ibnu Qudamah, menikah dengan niat cerai tidak dapat diberlakukan di
sini khususnya di Indonesia, karena terlalu banyak mudharat dari pada maslahah-nya,
karena Islam bertujuan menciptakan keadilan dan kedamaian bagi semua makhluk
tanpa membeda-bedakan.
[1] Mansur Fakih, Analisis Gender
dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1996), hlm. 129
[2] Supan Kusumamiharja, Studia Islamica, Cet. II, (Jakarta: Giri Mukti Pustaka, 1985),
hlm. 208
[3] Muhammad Azhar, Fiqih
Kontemporer Dalam Pandangan Aliran Neomodernisme Islam, Cet. I, (Yogyakarta:
Lesiska, 1996), hlm. 90
[4] Abu Muhammad Abd Allah ibn
Ahmad ibn Muhammad ibn Qadamah Al-Maqdisi, Al-Mughni li ibn Qudamah (Ttp:
Maktabah Al-Jumhuriyah Al-Arabiyah, Tt), hlm. 645
[5] Ibid., hlm. 644
[6] Ibid., hlm. 646
[7] Ibid., hlm. 645
[8] Asy-Syafi’i, Al-Umm, Cet. Ke.
1(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), hlm. 118
[9] Ibnu Al-Humam, Fath Al-Qadir,
Ke. 2, (ttp: Dar al-Fikr, 1977), hlm. 249
[10] Mansur Faqih, op. cit., hlm.
130
[11] Muhammad Azhar, op. cit., hlm.
40
[12] Mohammad Abd. Al-Qadir Ata dan
Musthafa Abd. Al-Qadir Ata, Al Fatamen
Al-Kubra Li Al Iman Al-Alamah Taqiy Abd. Ibn Taimiyah, Edisi Ke. I, (Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1987), hlm. 100
[13] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir
Al-Manar, Cet. Ke. 2, (Ttp: Tnp, 19973), hlm. 17
[14] Kompilasi Hukum Inslam di
Indonesia, Bandung : Humaniora Utama Press, 1992 : 26 – 27.
No comments:
Post a Comment