MACAM-MACAM WALI DALAM PERNIKAHAN



Wali nikah dibagi menjadi tiga katagori, yaitu wali nasab, wali hakimdan wali muhakam. 

a. Wali Nasab 

Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali menurut urutan sebagai berikut:

1) Pria yang menurunkan calon mempelai wanita dari keturunan pria murni (yang berarti dalam garis keturunan itu tidak ada penghubung yang wanita) yaitu: ayah, kakek, dan seterusnya ke atas.[1]

2) Pria keturunan dari ayah mempelai wanita dalam garis murni yaitu: saudara kandung, anaak dari saudara seayah, anak dari saudara kandung anak dari saudara seayah, dan seterusnya ke bawah.

3) Pria keturunan dari ayahnya ayah dalam garis pria murni yaitu: saudara kandung dari ayah, saudara sebapak dari ayah, anak saudara  kandung dari ayah, dan setrusnya ke bawah.   

Apabila wali tersebut di atas tidak beragama Islam sedangkan calon mempelai wanita beragama Islam atau wali-wali tersebut di atas belum baligh, atau tidak berakal, atau rusak pikiranya, atau bisu yang tidak bisa diajak bicara dengan isyarat dan tidak bisa menulis, maka hak menjadi wali pindah kepada wali berikutnya. 

Umpanya, calon mempelai wanita yang sudah tidak mempunyai ayah atau kakek lagi, sedang saudara-saudaranya yang belum baligh dan tidak mempunyai wali yang terdiri dari keturan ayah (misalnya keponakan) maka yang berhak menjadi wali adalah saudara kandung dari ayah (paman).[2]

Secara sederhana urutan wali nasab dapat diurutkan sebagai berikut:

1. Ayah kandung, 

2. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya ke atas dalm garis laki-laki,

3. Saudara laki-laki sekandung,

4. Saudara laki-laki seayah,

5. Anak laki-laki saudara laki-laki saudara sekandung

6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah

7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung,

8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah, 

9. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman),

10. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah),

11. Anak laki-laki paman sekandung,

12. Anak laki-laki paman seayah, 

13. Saudara laki-laki kakek sekandung,

14. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung,

15. Anak laki-lakisaudara laki-laki kakek seayah.[3]

b. Wali Hakim

Wali hakim dalam sejarah hukum perkawinan di Indonesia, pernah muncul perdebatan. Hal ini bermula dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Bahwa Nabi  Muhammad  bersabda  sultan  adalah  wali  bagi  wanita yang tidak memiliki wali.[4]

Pengertian sultan adalah raja atau penguasa, atau pemerintah. Pemahaman yang lazim, kata sultan tersebut diartikan hakim, namun dalam pelaksanaanya, kepala Kantor urusan Agama (KUA) kecamatan atau Pegawai Pencatat Nikah, yang bertindak sebagai wali hakim dalam pelaksanaan akad nikah bagi mereka yang tidak mempunyai wali atau, walinya adlal. 

Asal masalah yang utama seperti termaktub dalam pasal 1  Huruf b KHI, adalah persoalan tauliyah al-amri. Apakah cukup legitimasi yang di pegang oleh penguasa di Indonesia, dalam pendelegasian wewenang tersebut, sehingga dengan adanya kewenangan yang dimaksud, berarti sultan sebagai wali hakim pelaksanaanya sesuai hakikat hukum.[5]

Adapun yang di maksud dengan wali hakim adalah  orang  yang  di angkat oleh pemerintah (Menteri Agama)[6] untuk bertindak sebagai  sebagai wali dalam suatu pernikahan, yaitu apabila seorang calon mempelai wanita dalam kondisi:    

1. Tidak mempunyai wali nasab sama sekali, atau

2. Walinya mafqud (hilang tidak diketahui keberadaanya). atau

3. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada, atau

4. Wali berada di tempat yang sejauh masafaqotul qosri (sejauh perjalan yang membolehkan sholat sholat qasar yaitu 92,5 km)[7] atau

5. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh di jumpai.

6. Wali adhol, artinya tidak bersedia atau menolak untuk menikahkanya.

7. Wali sedang melaksanakan ibadah (umrah) haji atau umroh atau.[8]

Apabila kondisinya salah satu dari tujuh point di atas, maka yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim.  Tetapi di kecualikan bila, wali nasabnya telah mewakilakan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali, maka orang yang mewakilkan itu yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut.[9]

Dalam Peraturan  Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, masalah perwalian diterangkan dalam BAB IX Tentang akad nikah pasal 18, untuk lebih jelasnya akan dikutip sebagai berikut:

Pasal 18

(1) “Akad nikah dilakukan oleh wali wali nasab.”

(2) “Syarat wali nasab adalah:”

a.  Laki-laki

b.  Beragama Islam

c.  Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun

d.  Berakal

e.  Merdeka dan

f.  Dapat berlaku adil.

(3) “Untuk melaksanakan pernikahan wali nasab dapat mewakilkan kepada PPN, Penghulu, pembantu PPN atau orang lain yang memenuhi syarat.”

(4) “Kepala KUA Kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim, apabila calon isteri tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya tidak memenuhi syarat, berhalangan atau adhal.”

(5) “Adhalnya wali sebagaimana di maksud pada ayat (4) ditetapkan dengan keputusan Pengadilan.”[10]

Adapun dalil yang berkaitan dengan wali hakim, adalah hadis dari Aisyah ra:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن استجروا فالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه الأربعة و أحمد)

Apabila seorang perempuan menikah tanpa izin walinya, nikahnya batal, maka dia menerima mahar sekedar untuk menghalalkan farjinya. Apabila walinya enggan atau menolakmenikahkanya, maka sultan (hakim)lah yang berhak menjadi wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali. (Riwayat Imam Empat kecuali Nasa’i)[11]

c. Wali Muhakam

Yang dimaksud wali muhakam ialah wali yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Kondisi ini terjadi apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan oleh wali hakim, padahal di sini wali hakimnya tidak ada maka pernikahanya dilaksanakan oleh wali muhakam. Ini artinya bahwa kebolehan wali muhakam tersebut harus terlebih dahulu di penuhi salah satu syarat bolehnya menikah dengan wali hakim kemudian di tambah dengan tidak adanya wali hakim yang semestinya melangsungkan akad pernikahan di wilayah terjadinya peristiwa nikah tersebut.[12]

Adapun caranya adalah kedua calon suami istri itu mengangkat seorang yang mengerti tentang agama untuk menjadi wali dalam pernikahanya. Apabila direnungkan secara seksama, maka masalah wali muhakam ini merupakan hikmah yang di berikan Allah SWT kepada hamba-Nya, di mana Dia tidak menghendaki kesulitan dan kemudaratan




[1] Dedi Junaidi, Bimbingan Perkawinan, Jakarta : Akademi Pressindo, 2003, hlm 110-111
[2] Ibid hlm 112
[3] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm 87
[4] Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm 19
[5] Ibid, hlm 19
[6] Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 2 Tahun 1987, orang yang di tunjuk menjadi wali hakim adalah kepala Kanor Uruasan Agama Kecamatan.
[7] Di zaman modern ini walaupun jarak musafaqotul qasri telah di penuhi, namun untuk akad nikahnya wali perlu di beri tahu terlebih dahulu.
[8] Departeman Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Proyek peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakata: 2003, hlm 34
[9] Ibid  hlm 35
[10] Peraturan Menteri  Agama  Republik  Indonesia  Nomor  11  Tahun  2007 entang Pencatatan Nikah, Seksi Urusan Agama Islam Departeman Agama RI Tahun 2007 hlm 8
[11] Al-Sa’any,  Subul  Al-Salam  Juz  II,  Jilid  II,  Kairo  :  Dari  ihya,  Al-Turas,  Al-Araby, 1379H/1960M, hlm. 117-118
[12] Dedy Junaidi Op cit  hlm 11

No comments:

Post a Comment