Asal
usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya hubungan kemahraman (nasab)
dengan ayahnya. Demikianlah yang di yakini dalam fiqih sunni. Karena para
ulama sepakat bahwa anak zina atau anak
li’an hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan saudara ibunya, penentuan nasab merupakan salah satu hak seorang anak yang terpenting dan
merupakan sesuatu yang banyak memberikan
dampak terhadap kepribadian dan masa depan anak. Seorang anak harus mengetahui
tentang keturunanya, sebab asal usul yang menyangkut keturunan dan sangat
penting untuk menempuh kehidupan dalam
masyarakat.[1]
Nasab
juga dipahami sebagai pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai
salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Ulama fiqih mengatakan bahwa nasab
merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah
tangga yang bisa mengikat
antar pribadi berdasarkan
kesatuan darah.[2]
Di
Indonesia, masalah asal usul anak terdapat beberapa ketentuan hukum yang
berbeda-beda. Hal ini dapat di mengerti, karena pluralitas bangsa, utamanya
dari segi agama dan adat kebiasaan, maka ketentuan hukum yang berlaku pun
bervariasi. Hingga buku ini di tulis, setidaknya ada dua hukum yang berlaku, yaitu hukum Islam, Hukum Perdata
yang termuat dalam KUH Perdata atau BW (burgelijk Wetbook). Dan hukum Islam termuat
Kitab-Kitab fiqih dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Masing-masing hukum
tersebut, selain mempunyai persamaan juga mempunyai perbedaan.[3]
1. Asal Usul Anak Menurut Perspektif
Fiqih
Penetapan
asal-usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting,
karena dengan penetapan itulah dapat di ketahui hubungan nasab antara anak
dengan ayahnya. Walaupun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari
sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus manjadi ayahnya, namun
hukum Islam memberikan ketentuan lain
untuk permasalahan ini.[4]
Seorang
anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir
dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang
sah, tidak dapat disebut dengan anak sah, dan biasanya disebut dengan anak zina
atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab
dengan ibunya. Dengan demikian membicarakan asal-usul anak sebenarnya membicarakan
anak yang sah.[5]
Dalam
Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dijelaskan bahwa anak sah adalah
anak yang dilahirkan dan dibuat selama perkawinan. Jadi, selama dilahirkan
dalam suatu ikatan perkawinan yang sah mempunyai status sebagai anak kandung dengan
hak-hak keperdataan melekat padannya serta berhak untuk memakai nama belakang
untuk menunjukan keturunan dan asal usulnya.[6]
Adapun
fiqih Islam menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak sah.
Walaupun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas berkenaan dengan anak yang sah, namun berangkat dari definisi ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadis, dapat diberikan
batasan. Anak sah adalah anak
yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah.[7]
Seluruh
madzhab fiqih sepakat bahwa batas minimal usia kehamilan adalah 6 bulan, di
hitung dari saat akad nikah dilangsungkan. Ketentuan ini di ambil dari firman
Allah: Surat Al -Ahqaf ayat 15.
و حمله و فصله ثلثون
شهرا
“Masa
mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan.” (Qs. Al-ahqaf,
46:15)[8]
Dan
surat Al-Luqman ayat : 14
حملته أمه وهنا على
وهن و فصله في عامين
“Ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam usia dua tahun (selambat-lambat waktu menyapih ialah anak berumur 2
tahun).” (QS. Luqman, 31:14)[9]
Kedua
ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakti oleh para ulama, di tafsirkan oleh
Ibnu Abbas bahwa ayat pertama menunjukan tenggang waktu mengandung dan menyapih
adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi di
susukan secara sempurna membutuhkan waktu 2 tahun atau 24 bulan. Berarti bayi
membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan di dalam kandungan.
Dalam
tafsir Ibnu Katsir kedua ayat ini dijadikan dalil oleh Ali bin Abi Thalib RA,
batas minimal waktu hamil adalah 6 bulan, dan itu merupakan cara pengambilan hukum (istinbath)
yang kuat dan valid. Pendapat tersebut di setujui oleh Usman bin Affan RA, dan
beberapa sahabat lainya.[10]
Dari
pernyataan tersebut di atas munculah beberapa pendapat hukum Ulama:
1. Apabila seorang Wanita dan
Laki-laki kawin, lalu melahirkan seorang anak dalam keadaan hidup dan sempurna
bentuknya sebelum 6 bulan, maka anak tersebut tidak bisa dikaitkan (nasabnya)
dengan suaminya. Syaikh Al-mufid dan Syaikh Al-Thusi dari madzhab Imamiyah, dan
Syaikh Muhyidin Abd Al-Hamid dari Hanafi
mengatakan bahwa, nasib anak tersebut tergantung pada suami (wanita
tersebut). Kalau dia mau, dia bisa
menolaknya, dan bisa pula mengakuinya sebaagai anaknya dan mengaitkan nasabnya
dengan dirinya.
2. Kalau kedua suami istri bersengketa
tentang lamanya waktu bergaul mereka, misalnya si isteri mengatakan (kepada
suaminya), “Engkau telah bergaul denganku sejak 6 bulan atau
lebih, karena itu anak
ini adalah anak mu,” lalu suaminya menjawab, “Tidak, akau baru
menggaulimu kurang dari 6 bulan, karena itu anak ini bukan anakku.”[11]
Menurut
Imam Hanafi: Isterinya itu yang benar, dan yang diberlakukan adalah ucapanya
tanpa harus disumpah lebih dulu.
Sedangkan
batas maksimal usia kandungan menurut pendapat Ulama:
Abu
Hanifah berpendapat: Batas maksimal kehamilan adalah 2 tahun, berdasar hadis A’isyah yang menyatakan bahwa kehamilan
seorang wanita tidak
melebihi 2 tahun.
Imam
Malik, Syafi’i dan
Hambali: Masa kehamilan maksimal seorang wanita adalah empat
tahun. Para Ulama Madzhab ini menyandarkan pendapatnya pada riwayat bahwa
isteri ‘Ajlan hamil selama empat tahun. Anehnya isteri anaknya, Muhammad, juga
hamil selama empat tahun. Bahkan semua wanita suku ‘Ajlan hamil selama empat
tahun pula.[13]
‘Ibad bin ‘Awan mengatakan: batas maksimal
kehamilan adalah lima tahun, sedangkan Al-Zuhri mengatakan tujuh tahun, dan Abu Ubaid menyatakan bahwa, kehamilan itu tidak mempunyai batas
maksimal.
Oleh
karena itu apabila bayi lahir kurang dari 6 (enam) bulan menurut fiqih dengan berpedoman pada Al-Qur’an, maka tidak bisa di hubungkan
kekerabatanya kepada bapaknya, walaupun dalam
ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu
dan keluarga ibunya saja.
Jika
di analisis pandangan fiqih berkenaan dengan anak sah ini dapadptlah di pahami
bahwa anak sah di mulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur
(ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi ini
harus lah terjadi dalam perkawinan yang sah, dari sininlah penetapan anak sah
tersebut dilakukan.[14]
Dengan
dimikian hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap
sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir
sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang ‘iddah selama empat
bulan sepuluh hari sesudah perkawinan
terputus.[15]
Dengan
demikian, apabila bayi lahir kurang dari 6 bulan sejak masa perkawinan, maka
anak tersebut tidak dapat di hubungkan kekerabatanya dengan bapaknya walaupun
lahir dari perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.[16]
2. Asal Usul Anak Menurut Perspektif
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang asal usul anak dalam Pasal 42, 43 dan 44. selengkapnya
akan dikutip di bawah ini:
Pasal
42:
“Anak
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.”
Pasal
43:
1. “Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kelurga ibunya.”
2. “Kedudukan Anak tersebut ayat (1)
di atas selanjutnya akan di atur dalam Peraturan Pemerintah.”
Pasal
44:
1. “Seorang suami dapat menyangkal sah
anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya
telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut.”
2. “Pengadilan memberikan keputusan
tentang sah/tidaknya anak atas permintaan yang bersangkutan.”[17]
Memperhatikan
pasal 42 tersebut, di dalamnya
memberi toleransi hukum kepada
anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak
kurang dari batas minimal usia kandungan
seperti yang akan dijelaskan kemudian. Jadi Selama bayi yang di kandung tadi
lahir pada ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah
anak yang sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik
dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasanya.
3. Asal Usul Anak Menurut Perspektif
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam
kompilasi hukum Islam ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur dalam
Undang-undang perkawinan.
pasal
99 :
Anak
yang sah adalah
a. “Anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah.”
Pasal
100:
a. “Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya.”
Dalam
kompilasi Hukum Islam, anak sah yang dimaksud dalam pasal 99 (a) adalah. Anak
sah dari kedua orang tuanya, seperti yang
dijelaskan dalam pasal 53 dalam BAB VIII tentang Kawin Hamil, selengkapnya
akan dikutip dibawah ini:
Pasal
53:
1. “Seorang wanita hamil di luar
nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang yang menghamilinya.”
2. “Perkawinan dengan wanita hamil
yang disebut ppada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu
kelahiran anaknya.”
3. “Dengan dilangsungkannya perkawinan
pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.”
Jadi,
anak sah dan pernikahan yang sah, yang dimaksud dalam KHI pasal 99 (a) apabila
dikaitkan dengan pasal 53, adalah anak sah dari pernikahan kedua oramg tuanya
dan apabila pernikahanya pada saat hamil, maka anak tersebut anak sah dari pria
yang menghamilinya.
Pasal 101:
“Seseorang
suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat
meneguhkan pengingkaranya dengan li’an.”[18]
Pasal
102 kompilasi juga tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi dalam
kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya anak yang di lahirkan
istrinya.
(1) “suami yang akan mengingkari seorang
anak yang lahir dari istrinya,
mengajukan gugatan ke pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah putusnya
perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan
dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.”
(2) “Pengingkaran yang di ajukan sesudah lampau
waktu tidak dapat di terima.”[19]
Batasan
180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas mininmal usia kandungan, demikian juga
360 hari bukan menunjuk batas maksimal usia
bayi dalam kandungan.
Akan tetapi menjelaskan batas waktu untuk mengajukan persoalannya ke
Pengadilan Agama.
[1] Andi Syamsu Alam-M. Fauzan,
Hukum pengankatan anak perspektif islam, Jakarta: Pena Media, 2008, hlm 175.
[2] Ibid hlm 175
[3] Ahmad, Rofiq, Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm 220
[4] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006 hlm 276
[5] Ibid hlm 276
[6] Abdul Manan, Aneka Masalah
Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Prenada Media Grup, 2008, hlm
78-79
[7] Aminudin Nuruddin dan Azhari
Akmal Tarigan Op cit hlm277
[8] Departeman Agama RI, Al-Qur’an
dan terjemahannya, Lajnah pentshih Al- qur’an, Depok: cahaya Al-qur’an, 2008.
hlm. 726.
[9] Departeman Agama RI, Ibid,
hlm. 412
[10] Shafiyurihman Al-Mabaruk
Furi, Shahih Tafsir
Ibun Katsir, Bogor
: Pustaka Ibnu
Kasir, 2006, hlm. 317-318
[11] Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih
Lima Madzhab, Jakarta: Basrie Press, 199, hlm 100-101
[12] Ibid hlm 102
[13] Abdurahman Al Jaziri,
Al- Fiqh ‘Al Madzahi Al ‘arbaah, Juz VII, Maktabah At Tajirriyah Al
Kubro, Mesir, t,th, hlm 523
[14] Mustafa Rahman, Anak Luar
Nikah, Status dan Implikasi Hukumnya, Jakarta: Atmaja, 2003 hlm 45
[15] Ibid hlm 47
[16] Aminudin Nuruddin dan Azhari
Akmal Tarigan Op cit . hlm 280
[17] Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia, Surabaya : Arkola, 2005, hlm. 18-19.
[18] Departemen Agama RI, Op cit.
hlm 38.
[19] Ibid hlm 39
terima kasih, semoga bermanfaat dan mencerahkan
ReplyDelete