Yang
dimaksud dengan “nikah hamil” disini ialah nikah dengan seseorang wanita yang
hamil diluar nikah baik dinikahioleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki
yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang menhamilinya.
Hukum nikah dengan wanita yang hamil di luar nikah para ulama berbeda pendapat,
sebagai berikut:[1]
1. Para ulama Madzhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i berpendapat bahawa pernikahan keduanya
sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan ketentuan, bila si pria itu
yang menghamilinya dan kemudian ia menikahinya.
2.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula
bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera
(cambuk), karena keduanya telah berz1na.[2]
Selanjutnya,
mengenai pria yang nikah dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi
perbedaan pendapat para Ulama:
1. Abu Yusuf, mengharamkan yakni tidak
membolehkan menikahi wanita hamil akibat z1na, karena hamil akibat zina mencegah
persetujuan, maka mencegah akadnya juga, seperti pencegahan terhadap nasab,[3] dan bila dikawinkan pernikahan batal.
2. Ibnu Qudamah sependapat dengan
dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh menikahi wanita
yang dikrtahui berbuat z1na dengan orang lain, kecuali dengan 2 syarat:
a. Wanita tersebut telah melahirkan
bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh nikah.
b. Wanita tersebut telah menjalani
hukuman dera (cambuk) terlebih dahulu, apakah ia hamil/ tidak.
3. Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani
mengatakan bahwa pernikahannya itu sah, haram baginya bercampur, selama bayi yang
dikandungnya belum lahir.[4]
Pendapat
ini berdasarkan hadist:
لا توطع حاملا حتى
تضع
“Janganlah
engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir (kandunganya).”
4. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berbendapat bahwa perkawinan itu dipandang
sah, karena tidak terikat dengan pernikahan orang lain (tidak ada masa ‘iddah).
Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang
dikandung itu ternodai oleh sp3rma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan
keturunan orang yang menikahi ibunya itu (anak diluar nikah).
Dengan
demikian, status anak itu adalah sebagai anak z1na, bila pria yang menikahi ibunya itu bukan pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang menghamilinya. Namun
bila pria yang mengawini ibunya itu, pria yang menghamilinya, maka terjadi
perbedaan pendapat:
1. Bayi itu termasuk anak z1na, bila ibunya
dinikahi setelah usia kandunganya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4
bulan, maka bayi itu adalah anak suaminya yang sah.
2. Bayi itu termasuk anak z1na, Karena
anak itu adalah anak diluar nikah, walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak
itu adalah anaknya, karena hasil dari sp3rma dan 0vum bapak dari ibunya itu.[5]
[1] M. Ali
Hasan, Masail Fiqhiyah
al-Hadistah, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada,
1995, Hlm 96-99
[2] Abdul Rahman
Ghozali, Fiqh munakahat,
Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008, hlm 124-125
[3] Wahbah Zhuaili, Al fiqh Al Islami wa Adillatuh, Juz IX, Dar Al Fikr, 1997 halm 2649
[4] Abdul Rahman Ghozali, Op cit hlm 127
[5] Ibid hlm128
No comments:
Post a Comment