Menurut
ulama Syafi‟iyah,
orang yang harus didahulukan untuk menjadi wali nikah
adalah ayah dari perempuan yang bersangkutan. Kalau ayahnya telah meninggal dunia
atau disebabkan tidak memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan syari’at semisal; hilang ingatan, pikun, pergi tidak diketahui
rimbanya dan sebagainya, maka yang berhak
menjadi wali adalah kakek (ayah dari ayah), kalau kakeknya tidak ada,
maka yang berhak menjadi wali adalah buyutnya (ayah dari kakek), demikian seterusnya sampai ke atas.
Kalau
yang disebutkan di atas tidak ada, maka yang berhak menjadi wali adalah saudara
laki-laki yang sekandung (seayah seibu).
Kalau saudara laki-laki yang dimaksud tidak ada, maka walinya adalah
saudara laki-laki yang seayah. Kalau wali yang disebut di atas tidak
ada, maka yang berhak menjadi wali adalah anak laki-laki dari saudara laki-laki
yang sekandung. Kalau masih tidak ada juga, maka yang berhak menjadi wali adalah
anak dari saudara laki-laki yang seayah, demikian seterusnya sampai ke
bawah.
Kalau
wali yang di atas tidak ada, maka yang berhak menjadi wali adalah paman (saudara
ayah yang sekandung). Kemudian yang berhak menjadi wali setelah urutan di atas
adalah paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah. Urutan berikutnya kalau
masih tidak ada walinya adalah sepupu (anak laki-laki dari paman yang bersaudara
dengan ayahnya sekandung. Sedangkan urutan berikutnya, yang berhak menjadi wali
adalah saudara sepupu (anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang
seayah). Dan begitulah seterusnya sampai ke bawah.[1]
Apabila
diuraikan secara rinci, wali nikah menurut ulama Syafi’iyah sebagai
berikut:
a. Ayah kandung
b. Kakek (dari garis ayah) dan
seterusnya ke atas dalam garis laki-laki;
c. Saudara laki-laki sekandung;
d. Saudara laki-laki seayah;
e. Anak laki-laki saudara laki-laki
sekandung;
f. Anak laki-laki saudara laki-laki
yang seayah;
g. Anak laki-laki dari anak laki-laki
saudara laki-laki sekandung;
h. Anak laki-laki dari anak laki-laki
seayah;
i. Saudara laki-laki ayah kandung;
j. Saudara laki-laki ayah seayah
(paman seayah);
k. Anak laki-laki paman sekandung;
l. Anak laki-laki paman seayah
m. Saudara laki-laki kakek sekandung;
n. Anak laki-laki saudara laki-laki
kakek sekandung;
o. Anak laki-laki saudara laki-laki
kakek seayah.[2]
Sedangkan
menurut ulama Malikiyah urutan wali nikah adalah:
a. Ayah (al-Ab)
b. Al-Washi yaitu orang yang menerima wasiat
dari ayah (al-Ab) untuk menjadi wali nikah.
c. Anak laki-laki, meskipun itu hasil
dari hubungan perzinaan.
d. Cucu laki-laki.
e. Saudara laki-laki yang sekandung.
f. Saudara laki-laki yang seayah;
g. Anak laki-laki dari saudara yang
sekandung;
h. Anak laki-laki dari saudara yang
seayah;
i. Kakek yang seayah;
j. Paman yang sekandung dengan ayah;
k. Anak laki-laki paman yang sekandung
dengan ayah;
l. Anak laki-laki dari paman yang
seayah dengan ayah;
m. Ayah dari kakek.[3]
Adapun
urutan wali dalam mazhab Hanabilah sebagai berikut;
a. Bapak (al-Ab)
b. Washi dari bapak setelah
meninggalnya
c. Hakim ketika dalam keadaan tertentu
Ketiga
wali inilah yang dijadikan sebagai wali mujbir, menurut Imam Hambali. Sedangkan
wali aqrāb dari nasab menurut Imam Hambali adalah sebagaimana dalam hal waris
antara lain:
a. Bapak
b. Kakek (ayah bapak) sampai derajat
ke atas
c. Anak laki-laki
d. Cucu laki-laki dari anak laiki-laki
sampai derajat ke bawah
e. Paman (saudara laki-laki bapak
sekandung)
f. Paman (saudara laki-laki dari ayah
yang seayah)
g. Saudara sepupu (anak laki-laki
saudara laki-laki ayah sekandung)
h. Saudara sepupu (anak laki-laki
saudara laki-laki yang seayah) ke bawah
i. Paman-pamannya kakek
j. Anak-anak pamannya kakek
Ulama
Hanafiyah berpandangan bahwa status wali hanyalah syarat perkawinan, bukan
rukun perkawinan. Oleh karena itu mereka meringkas rukun nikah hanya terdiri atas
ijāb dan qabūl. Rasionalitas tentang wali didasarkan bahwa akad nikah sama dengan
akad jual beli. Status wali hanya
berlaku pada orang yang masih kecil (belum dewasa), baik laki-laki maupun perempuan,
dan orang gila perempuan atau laki-laki meskipun
dewasa.[4] Meskipun status wali menurut
ulama Hanafiyah seperti itu, tetapi ulama Hanafiyah memliki urutan
perwalian sebagai berikut:
a. Anak laki-laki, cucu laki-laki
seterusnya sampai ke bawah
b. Ayah, kakek (ayah dari ayah) dan
seterusnya sampai ke atas
c. Saudara laki-laki yang sekandung
d. Saudara laki-laki yang seayah
e. Anak laki-laki dari saudara
laki-laki yang sekandung;
f. Anak laki-laki dari saudara
laki-laki yang seayah;
g. Paman yang bersaudara dengan ayah
yang sekandung;
h. Paman yang bersaudara dengan ayah
yang seayah;
i. Saudara sepupu atau anak laki-laki
dari paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung
j. Saudara sepupu atau anak laki-laki
dari paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah, dan seterusnya sampai ke bawah.
Jumhur
ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama
masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab
yang lebih dekat masih ada wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada
dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarīb. Bila wali qarīb
tersebut tidak memenuhi syarat balīgh, berakal, Islam, merdeka, berpikiran baik
dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan tersebut di
atas. Bila wali qarīb sedang dalam ihram haji atau umrah, maka kewalian tidak pindah
kepada wali ab’ad, tetapi pindah kepada wali hakim secara
kewalian umum.
Demikian
pula hakim menjadi wali nikah bila keseluruhan wali nasab tidak ada, atau wali qarīb
dalam keadaan ‘adhal atau enggan mengawinkan tanpa alasan yang dapat
dibenarkan. Begitu pula akad perkawinan dilakukan oleh wali hakim bila wali qarīb
sedang berada di tempat lain yang jaraknya mencapai dua marhalah (sekitar 60 km).
Demikian adalah menurut pendapat jumhur ulama.[5]
[1] Muhammad Asmawi,
Nikah Dalam Perbincangan
dan Perbedaan, Yogyakarta: Darussalam, 2004, hlm. 69
[2] Muhammad Syarbini, Al-Iqna’ fī
hilli al Alfād Abī Sujā’, Bandung: Daar al-Ikhya‟
al-Kutubiyyah al-Alamiyyah, t.th., Juz II, hlm.246.
[3] Abu Bakar bin Hasan
al-Kusnawi, Ashal al-Madārik, Jilid 1, Beirut: Daar al-Fikr, 1996, hlm. 366.
[4] Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahah
Perbandingan, Dari Tekstualitas
sampai Legislasi, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2011, Cet ke-I, hlm. 33.
[5] Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahah dan Undang-Undang
Perkawinan, Jakarta: Prenata Media, Cet ke-II, hlm. 78.
No comments:
Post a Comment