Pernikahan
dalam Islam merupakan sesuatu yang diagungkan, karena bertujuan membentuk
keluarga yang sakīnah, mawaddah dan rahmah. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur‟an surat Al-Rum ayat 21.
و
من آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها و جعل بينكم مودة و رحمة إن
في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir”.[1]
Tujuan
perkawinan memliki dua sisi, yaitu primer dan sekunder. Tujuan primer (utama) dari sebuah perkawinan adalah
hubungan seksual dan kemandirian.
Sedangkan tujuan sekunder adalah hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Tujuan
primer adalah menjadi hak perempuan sendiri sedangkan sekunder melibatkan
hubungan antara perempuan
itu dengan keluarganya.[2]
Untuk
mencapai tujuan tersebut, dalam pelaksanaan perkawinan tentunya unsur kerelaan
calon mempelai harus terpenuhi.
Sebagaimana tertuang dalam pasal
16 Kompilasi Hukum
Islam yang berbunyi :
“perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai ”.
Dalam
sebuah perkawinan, wali mempunyai peranan penting untuk menentukan sah dan
tidaknya suatu akad. Karena menurut
jumhur ulama pernikahan itu tidak
sah apabila tanpa adanya wali,
walaupun ulama Hanafiyah
menafsirkan lain. Menurut ulama Hanafiyah, wali bukan sebuah keharusan, tetapi
tidaklah dianggap sempurna apabila pernikahan itu dilaksanakan tanpa adanya
seorang wali.
Selama
ini masih ada pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan menurut fiqih
Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pasangan hidupnya. Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau
kakeknya. Terlebih dalam kalangan ulama Syafi’iyah ayah dan kakek tergolong dalam wali
mujbir. Seorang ayah atau kakek mempunyai hak ijbār (hak memaksa) untuk
menikahkan putrinya tanpa persetujuannya.
Termasuk
ulama Syafi’iyah yang
berpendapat demikian adalah al-Imam al-Syirazi. Dalam kitabnya al-Muhazzab
ia mengungkapkan:
و
يجوز للأب و الجد تزويج البكر من غير رضاها صغيرة كانت او كبيرة
“Seorang
ayah atau kakek boleh menikahkan gadisnya tanpa ridhanya baik gadis itu masih
kecil atau dewasa”.[3]
Secara
tekstual, pendapat al-Imam al-Syirazi mengidentifikasikan bahwa ayah atau kakek
boleh memaksa kepada anak atau cucunya yang masih gadis baik kecil maupun
dewasa untuk menikah dengan pilihannya walapun tanpa sepengetahuan dan persetujuannya.
Selanjutnya
dalam kitab al-Muhazzab, al-Imam al-Syirazi menjelaskan lebih lanjut:
و
ان كانت بالغة فالمستحب أن يستأذنها ... و لا يجوز لغير الأب تزويجها إلا ان تبلغ
و تأذن
Apabila
gadis itu baligh maka disunnahkan untuk meminta izinnya, dan tidak boleh selain
ayah atau kakek menikahkan gadis tersebut kecuali ia telah baligh dan
mengizinkan.[4]
Dalam
kitab al-Tanbīh, ia juga menjelaskan:
و
ان كانت حرة و دعت الى كفء وجب على الولي تزويجها و ان كانت بكرا جاز للأب و الجد
تزويجها بغير إذنها و المستحب ان يستأذنها ان كانت بالغة و إذنها السكوت و ان كانت
ثيبا فإن كانت عاقلة لم يجز لأحد تزويجها إلا بإذنها بعد البلوغ و إذنها بالنطق
فإن كانت مجنونة فإن كانت صغيرة جاز للأب و الجد تزويجها و ان كانت كبيرة جاز للأب
و الجد و الحاكم تزويجها
Apabila
wanita itu merdeka dan mengaku sekufu, maka wajib bagi wali untuk
menikahkannya, apabila wanita itu masih gadis maka boleh bagi ayah atau kakek
menikahkannya dengan tanpa persetujuannya. Dan disunnahkan meminta persetujuan gadis tersebut apabila ia telah baligh, dan izinnya adalah diam. Apabila
wanita itu janda, baligh, berakal maka seseorang tidak boleh menikahkannya
kecuali atas persetujuannya, dan izinnya
adalah dengan ucapan. Apabila wanita itu gila, masih kecil, maka bagi ayah atau
kakek boleh menikahkannya, dan apabila telah dewasa, ayah, kakek, dan hakim
juga boleh menikahkannya.[5]
Pernyataan
di atas menjelaskan bahwa walaupun seorang ayah atau kakek boleh menikahkan
tanpa persetujuan dari anak gadisnya, tetapi ia menganjurkan untuk meminta izin
/ persetujuan terlebih dahulu apabila anak gadis tersebut telah baligh /
dewasa. Menurut beliau meminta izin kepada calon mempelai tidaklah sebuah keharusan /
kewajiban yang harus terpenuhi, melainkan hanya
sebuah anjuran apabila gadis tersebut telah dewasa. Oleh karena
itu sah-sah saja apabila ayah memaksa anak gadisnya menikah dengan pilihannya
tanpa persetujuan dari sang gadis.
Senada
dengan pendapat al-Imam al-Syirazi, al-Imam al-Mawardi mengatakan: “gadis itu
boleh dipaksa menikah oleh sebagian walinya (ayah / kakek) baik itu masih
kecil, dewasa, berakal atau gila.”[6]
Sedangkan
al-Imam al-Ramli menyatakan: “boleh bagi ayah menikahkan gadis yang masih kecil
dan dewasa (baik berakal atau gila) tanpa izinnya dengan mahar mitsil tunai
(berlaku umum) di negaranya”.[7]
Dalam
kitabnya Mughni al-Muhtāj, al-Syarbini juga mengatakan hal serupa bahwa:
“seorang ayah boleh menikahkan anak gadisnya baik kecil maupun dewasa tanpa
izinnya”. Tetapi ia menggantungkan kebolehan tersebut dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
1. Tidak ada permusuhan antara bapak
dan anak.
2. Hendaklah dinikahkan dengan orang
yang setara (sekufu).
3. Maharnya tidak kurang dari mahar
mitsil (sebanding).
4. Tidak dinikahkan dengan orang yang
tidak mampu membayar mahar.
5. Tidak dinikahkan dengan laki-laki
yang mengecewakan (membahayakan) si anak kelak dalam pergaulannya dengan
laki-laki itu. Misalnya: orang itu buta,
atau orang yang
sudah sangat tua sehingga tidak ada harapan akan mendapatkan kebahagiaan dalam
pergaulannya.
6. Tidak dalam keadaan menunaikan
ibadah ihram / haji.[8]
Pada
dasarnya mayoritas ulama Syafi’iyah
berpendapat sama, yakni membolehkan
seorang ayah atau kakek menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa tanpa
izinnya, meskipun kebolehan
tersebut digantungkan dengan beberapa syarat.
Pendapat
ulama Syafi’iyah
ini, berbeda dengan pendapat al-Imam
al-Syafi’i yang menyatakan bahwa janda
yang masih kecil tidak boleh dinikahkan kecuali dengan
izinnya, dan tidak boleh menikahkan
perawan / gadis kecuali dengan izinnya pula, tidak boleh menikahkan gadis
kecil kecuali ayah atau kakeknya setelah kematian ayahnya.[9]
Menurut
ulama Malikiyah, paksaan dapat diberlakukan pada gadis dewasa dan janda kecil (belum dewasa).[10] Sedangkan menurut ulama
Hanafiyah, seorang ayah yang bertindak sebagai wali tidak diperkenankan
menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa tanpa sepengetahuan atau izinnnya. Dan juga tidak
boleh memaksanya, karena pemaksaan hanya berlaku bagi anak kecil, orang gila
laki-laki /perempuan walaupun dewasa.[11]
Menurut
al-Sayyid al-Sabiq, “sekalipun ada pendapat tentang hak wanita menjadi wali,
wajib bagi wali untuk terlebih dahulu
menanyakan pendapat calon istri dan mengetahui keridhaannya sebelum
diakad-nikahkan.”
Hal
ini karena perkawinan merupakan pergaulan abadi dan persekutuan suami istri, kelanggengan,
keserasian, kekalnya cinta dan persahabatan, yang tidak akan terwujud apabila
keridhaan pihak calon istri belum diketahuai sebelumnya. Karena itu, Islam
melarang kita menikahkan dengan paksa, baik gadis maupun janda, dengan pria
yang tidak disenanginya. Akad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia
berhak menuntut dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan
paksa tersebut.[12]
Hal
senada juga disampaikan oleh Abu Zahrah yang menyatakan bahwa ia lebih condong
kepada pendapat ulama Hanafiyah yang mencegah wilāyatul ijbāriyah
setelah gadis itu baligh.[13]
Menurut
Wahbah al-Zuhaily, “adalah tidak sah perkawinan dua orang calon mempelai tanpa
kerelaan mereka berdua”. Jika salah satunya dipaksa secara ikrāh dengan
suatu ancaman misalnya membunuh atau memukul atau memenjarakan, maka akad
perkawinan tersebut menjadi fāsid (rusak)”.[14]
Dalam
bukunya “Menggugat Peran Wali Dalam
Pernikahan: Studi Kritis atas
Hadis-hadis Wali Nikah”, Muhibbin menjelaskan ahwa dalam hadis tentang wali
nikah disebutkan setiap perempuan yang menikah
tanpa izin walinya maka nikahnya batal dan apabila kemudian mereka berkumpul atau bersetubuh, maka perempuan
tersebut berhak atas maskawin atau mahar
sebagai akibat dari persetubuhan yang dianggap halal tersebut.[15] Sama halnya ketika pernikahan
itu terjadi dengan tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari gadis, maka
nikahnya juga batal.
Akibat
dari batalnya pernikahan, maka segala konsekwensi yang ada kaitannya dengan
pernikahan menjadi batal termasuk status suami istri dan karena itu kalau
mereka mengadakan hubungan sebadan, hukumnya sama dengan zina. Tetapi dalam
teks hadis dinyatakan bahwa walaupun pernikahan tersebut batal, akan tetapi
ketika mereka melakukan hubungan sebadan tetap dianggap halal, dan seorang
istri berhak atas mahar atas hubungan sebadan tersebut. Pernyataan ini
menyesatkan, karena sepintas ada upaya untuk melegalkan perzinaan dengan
memberikan mas kawin. Pernyataan ini sekaligus memberikan justifikasi tentang
ketidak-berdayaan perempuan.[16]
Dengan
kata lain, kalau pernikahan dinyatakan batal, maka sesunguhnya tidak atau belum
ada sebuah perkawinan. Dari beberapa pendapat di atas, maka penulis
kurang sepakat dengan pendapat al-Imam al-Syirazi yang
menyatakan bahwa “seorang ayah atau kakek boleh menikahkan gadisnya tanpa ridhanya baik gadis itu masih kecil atau
dewasa”, karena unsur kerelaan merupakan salah satu syarat bagi keabsahan suatu akad.
Jika
melihat sistem kekerabatan di Indonesia, masyarakat kita menganut sistem
kekerabatan masyarakat di kawasan Timur Tengah yaitu patrilineal. Otoritas
bapak (suami) menempati posisi yang dominan dan peran penting dalam keluarga.
Bapak atau suamilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh keutuhan,
keselamatan, dan kelangsungan keluarga. Ibu atau istri hanya ikut terlibat sebagai
anggota keluarga dalam suatu rumah tangga. Untuk itu, bapak dan kaum laki-laki pada umumnya mendapatkan beberapa
hak istimewa sebagai konsekuensi dari
tanggung jawab mereka yang sedemikian besar dibanding pihak istri atau perempuan
secara umum.[17]
Termasuk
hak istimewa tersebut adalah ketika dalam pernikahan, maka ayah berhak
menentukan calon suami putrinya. Karena menurut budaya bangsa Arab, martabat
sosial diukur dari garis keturunan bapaknya. Jika putri seorang tokoh kawin
dengan laki-laki biasa yang sangat jarang terjadi di timur tengah, maka status sosial
anak-anaknya mengikuti bapaknya. Untuk melestarikan status social berlaku konsep
kesetaraan (kafa’ah).
Seorang laki-laki dari golongan budak
tidak bolah kawin dengan seorang perempuan
bangsawan,
karena akan menurunkan derajat keturunan.
Sebaliknya laki-laki bangsawan bebas mengawini semua jenis perempuan lebih dari
satu.[18]
Dalam
masyarakat patriarki, silsilah keturunan ditentukan melalui jalur ayah dan peran lebih besar
diberikan kepada laki-laki, baik dalam urusan rumah tangga maupun dalam urusan masyarakat
luas. Sebaliknya perempuan mendapatkan peran
yang tidak menonjol didalam masyarakat. Konsep patriarki menurut para feminis dianggap
salah satu indikasi struktur sosial yang paling menonjol diberbagai kelompok. Didalam masyarakat ini, jenis
kelamin laki-laki memperoleh keuntungan secara budaya, sedangkan perempuan mengalami
beberapa pembatasan dan tekanan. Dalam tradisi masyarakat bangsa Arab,
pembagian peran sudah terpola jelas. Laki-laki yang berperan mencari
nafkah dan melindungi keluarga, sementara perempuan berperan dalam urusan reproduksi, seperti memelihara anak
dan menyiapkan makanan untuk seluruh anggota keluarga.[19]
Dalam
hal pernikahan, memilih jodoh atau pasangan bukan lagi hak istimewa laki-laki,
anak perempuan juga berhak memberikan pandangan dan pendapat yang berbeda dari pilihan
ayahnya. Perempuan berhak menentukan
nasibnya sendiri, kapan dan dengan siapa ia akan menikah. Sebab hal ini sangat
terkait dengan kesiapan lahir dan batin, dan yang lebih mengetahui hal itu
adalah dirinya sendiri.[20]
Jika
dilihat dari sudut pandang perempuan dalam predikatnya sebagai seorang anak,
dalam hal ini sangatlah dilematis, disatu sisi ia harus berbakti kepada kedua orang tua dengan
menuruti kemauan orang tua, disatu sisi ketika ia dinikahkan dengan seseorang yang
tidak
ia cintai maka
ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan.
Seorang
anak diwajibkan untuk menghormati dan berbakti kepada orang tua. Dalam al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 23 dijelaskan:
و
قضى ربك ألاّ تعبدوا إلا إياه و بالوالدين إحسانا إمّا يبلغنّ عندك الكبر أحدهما
أو كلاهما فلا تقل لهما أفّ و لا تنهرهما و قل لهما قولا كريما
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orang tuamu dengan sebaik-baiknya Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam
pemeliharamu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya ‟ah” dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia”. (QS. Al-Isra: 23).[21]
Bagi
orang tua anak adalah bagian dari harapan terbesar untuk meneruskantugas
kekhalifahan di muka bumi. Demi regenerasi itu, para orang tua senantiasa
menginginkan seluruh keturunannya menjadi putra-putri yang shalih dan shalihah,
serta memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Lebih dari itu, setiap manusia menginginkan
seluruh keturunannya menjadi perhiasan, penyejuk mata (qurrota a’yun) bagi mereka. Allah swt berfirman dalam
surat Al-Furqan ayat 74:
و
الذين يقولون ربنا هب لنا من أزواجنا و ذريّاتنا قرة أعين و اجعلنا للمتقين إماما
"Dan
orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami
dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang
yang bertakwa”.[22]
Namun demikian, anak tetap bukanlah hak milik bagi orang
tua. Ia adalah titipan Allah swt semata. Orang tua berkewajiban mengasuh,
membesarkan, mendidik, dan menikahkan putra-putri mereka apabila telah waktunya
tiba. Walaupun demikian, kewajiban tersebut tidak menjadikan orang tua berhak sepenuhnya
untuk menentukan calon pasangan bagi anak-anaknya terutama anak
perempuannya.
Jika
ditinjau dari maqāsidus syarī'ah-nya, boleh ditegaskan bahwa dalam hal
menikahkan anak yang sudah dewasa merupakan maslahah, karena kepedulian dan
kasih sayang orang tua terhadap anak. Mengingat nikah sendiri sunnah hukumnya,
tetapi untuk menghindari mafsadah yang timbul yaitu terjadinya perceraian
akibat tidak adanya kasih sayang calon mempelai karena tidak adanya izin serta
persetujuan dari sang gadis maka menghindari mafsadah lebih didahulukan dari pada
menarik maslahah. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
درء
المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak
kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemaslahatan.”[23]
Jadi
antara orang tua dan anak hendaklah saling mengerti dan memahami hak dan kewajiban
masing-masing. Dalam hal memilih jodoh maka antara anak dan orang tua agar menyatukan
pandangan, manakah yang terbaik bagi keduanya, karena tujuan perkawinan tidak
hanya sekedar menjalin hubungan dua pihak secara individual antara suami istri
namun lebih jauh mempererat tali hubungan antara keluarga pihak suami dan pihak
istri.
[1] Lajnah Pentashih Al-Qur’an
Departemen Agama
RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Semarang:
CV. As-Syifa’, 1992, hlm 644.
[2] Hussein Muhammad, Fiqih
Perempuan: Refleksi Kyai Atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: Lkis, Cet
ke-I, 2001, hlm. 84.
[3] Al-Imam Al-Syirazi, Abi Ishaq
Ibrahim bin Ali
bin Yusuf, al-Muhazzab,
Beirut: Dar al-kutub al-Alamiyah: Juz II, hlm. 429.
[4] Ibid.
[5] Al-Imam Al-Syirazi, Abi Ishaq
Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Al-Tanbīh, Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiyah, hlm.
222.
[6] Abi Hasan Ali bin Muhammad bin
Habib al-Mawardi, Al-Hāwī Al-Kabīr, Beirut: Dar al-kutub al-Alamiyah: Juz IX,
hlm. 69.
[7] Imam Syamsuddin al-Ramli, Nihāyatul
Muhtāj ilā al-Syarhi al- Minhāj, Beirut: Dar al-kutub al-Alamiyah, 1996, hlm.
228-229.
[8] Syamsuddin Muhammad bin
Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtāj, Al-Qahirah: Darul Hadis,
2006, hlm. 250.
[9] Imam Al-Syafi’i,
Imam abi Abdillah bin Muhammad bin Idris, Al-Umm, Beirut: Dar al-Fikr, Juz VIII,
hlm. 265.
[10] Abul Walid Muhammad bin Ahmad
bin Muhammad Ibnu Rusyd, Alih Bahasa Imam Ghazali
Said, Bidāyatul Mujtahīd
wa Nihāyatul Muqtashid, Jakarta: Pustaka Amani, Cet ke-II,
hlm. 404.
[11] Imam Kamaludin
Muhammad bin Abdul
wahid Ibnu al-Hammam
al-Hanafi, Fathul Qadīr, Beirut:
Dar al-kutub al-Alamiyah: Juz III, hlm. 251.
[12] Sayid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah,
Fiqih Sunnah, Terj.
Nor Hasanuddin, dkk., Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara,
Cetakan ke-II, 2007, hlm. 16.
[14] Wahbah Al-Zuhaily, Fiqh al-Islami
wa Adillatuhu, 1409 H /
1989 M (Beirut-Libanon: Darul Fikr), Jil VIII, hlm.
6567.
[15] Muhibbin, Menggugat
Peran Wali Dalam
Pernikahan: Studi Kritis
atas Hadis-hadis Wali N Ikah, Penelitian Individual: IAIN Walisongo
Semarang, 2005, hlm. 71.
[16] Ibid.
[17] Nasarudin Umar,
Argumen Kesetaraan Jender
Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, Cet. Ke-I, 1999, hlm. 128.
[18] Ibid. hlm. 134.
[19] Ibid. hlm. 128-129.
[20] Sri Suhanjati
Sukri, Bias Jender dalam
Pemahaman Islam, Yogyakarta:
Gama Media, 2002 Cet. ke-I, hlm.
25-26.
[23] Abdul Hamid Hakim, Mabādi’u
al-Awwaliyyah: Fī Ushūli al-Fiqhi Wa al-Qawāidi Al-Fiqhiyyah, Jakarta:
Sa'adiyah Putera, hlm. 34.
nice share gan, kerenn infonya, thanks
ReplyDeletesouvenir pernikahan murah