Pelaksanaan
khitan perempuan tidaklah sama dengan khitan laki-laki, dilihat dari segi
manfaat dan tujuan hukumnya sungguh jauh berbeda dengan diberlakukannya khitan
laki-laki akan mempunyai pengaruh yang sangat positif, yakni bertujuan untuk
menjaga kebersihan dan kesehatan.
Bagi
seorang laki-laki dengan memotong quluf (preputium glandis) atau kulit
yang menutup kepala penis akan terhindar dari kotoran-kotoran yang tertinggal
dan tersimpan di tempat tersebut yang sangat berpotensi dalam menimbulkan
bakteri yang dapat menimbulkan penyakit kelamin, disamping itu dengan
melaksanakan khitan seorang laki-laki akan terhindar dari pemancaran dini (ejakulatio
seminalis), sebab kepala penis yang masih berkulup lebih sensitif dibanding yang tidak mempunyai quluf.[1]
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa khitan pada laki-laki secara klinis sangat
bermanfaat bagi kesehatan dan dengan melakukan khitan akan menambah kekuatan
dan tahan lama dalam melakukan hubungan suami istri, sehingga kebutuhan
biologis yang berupa hubungan seksual dapat dilakukan secara optimal dan
memuaskan.
Sebaliknya
pemberlakuan khitan bagi perempuan tidak bisa dikatakan sebagai suatu metode
untuk menjaga kebersihan dan kesehatan sebagaimana khitan pada laki-laki,[2] yang apabila dilakukan
pemotongan terhadap kulit yang menutupi kepala penis akan mempermudah dalam
membersihkan kotoran (sisa air kencing) yang tertinggal di kepala penis.
Dari
segi anatomi alat kelamin yang dipotong pada waktu melaksanakan khitan pada
perempuan berbeda obyek pemotongannya dengan khitan laki-laki. Pada seorang
perempuan yang dipotong adalah daging yang terletak di atas tempat keluranya
air kencing (clitoris),[3] alat kelamin perempuan
tidak mempunyai suatu penghalang dalam melakukan pembersihan terhadap air
kencing, sehingga tidak perlu adanya pemotongan terhadap bagian yang bisa
menutupi dan menjadi tempat kotoran yang tersisa.
Pada
sisi lain clitoris adalah suatu organ kelamin wanita yang terbentuk oleh
jaringan erectil yang akan penuh berisi dengan darah sewaktu mendapatkan
rangsangan seksual, jaringan ini sangat peka terhadap sentuhan-sentuhan, dan
apabila bagian ini mendapatkan sentuhan yang berulang-ulang akan membuat wanita
terrangsang dan dapat mencapai orgasme.[4]
Apabila
bagian ini (clitoris) dipotong kemungkinan yang terjadi adalah kepekaan
pada daerah clitoris akan berkurang sebab clitoris merupakan organ
kelamin wanita yang sangat sensitif serta berisi dengan jaringan-jaringan erektil
yang fungsinya sama dengan alat kelamin laki-laki, oleh karena itu apabila
bagian ini dipotong, maka dalam melakukan hubungan seksual seorang wanita akan mengalami
gangguan pada pencapaian orgasme klitoral.
Dalam
ilmu kedokteran diyakini ada dua jenis orgasme yang dialami oleh kaum
perempuan. Yang pertama adalah, orgasme klitoral yaitu orgasme yang
terjadi disekitar daerah klitoris karena adanya ransangan di daerah tersebut.
Yang kedua, orgasme vaginal yaitu orgasme yang terjadi di sekitar liang
vagina, orgasme ini biasanya terjadi karena adanya panetrasi penis ke dalam
vagina.[5]
Dari
keterangan di atas, khitan perempuan dinilai mempunyai pengaruh yang sangat
negatif dari sudut kebutuhan seksual, karena akan mengurangi kenikmatan seksual,
bahkan bagi sebagian perempuan bisa menimbulkan trauma psicys, karena
bagian yang dipotong adalah klitoris yang merupakan organ seksual wanita yang
sangat sensitif terhadap gesekan dan rangsangan yang akan dapat membawa pada
kenikmatan yang prima. Oleh karena itu, rangsangan perempuan gairahnya akan
melemah dan berkurang dan susah memperoleh kenikmatan atau orgasme ketika
berhubungan kelamin dengan pasangannya.
Khitan
perempuan ketika dikaitkan dengan tujuan pembentukan hukum Islam, yang pada
dasarnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan mendatangkan kemanfaatan bagi
manusia, akan terlihat pendiskriminasian terhadap kaum perempuan. Ketika dengan
melaksanakan khitan seorang laki-laki akan mendapatkan kesempatan untuk
meningkatkan kesehatan dan kepuasan seksual secara optimal, sementara kaum
perempuan dengan melaksanakan khitan justru sebaliknya akan mengurangi
agresifitas dan kenikmatan dalam melakukan hubungan seksual, yang tentunya akan
mengurangi nafsu seksualnya.
Tuhan
menciptakan laki-laki dan perempuan adalah sama dalam kapasitasnya sebagai
manusia, Allah SWT. tidak membeda-bedakan jenis kelamin, semuanya sama dalam
menerima anugerah-Nya yang melimpah. Mereka semua berhak menentukan hidupnya
dan menikmati semua fasilitas yang diberikan oleh Allah SWT., termasuk masalah
seksual. Manusia seperti makhluk lainnya diciptakan dengan berpasang-pasangan
dari berbagai suku dan berbagai bangsa yang semua berbeda. Meskipun demikian
mereka tetap merupakan satu bangsa yakni bangsa manusia. Dalam al-Qur'an
disebutkan:
“Manusia
adalah umat yang satu maka Allah Swt. mengutus para Nabi sebagai pemberi khabar
gembira dan pemberi peringatan.” (QS. al-Baqarah 213.)[6]
Dalam
hidup didunia mereka mempunyai tugas dan derajat yang sama menjadi hamba dan
khalifah Allah SWT. dengan fungsi yang berbeda-beda pula. Dihadapan-Nya mereka
sebagian mereka tidak memiliki kelebihan atas sebagian yang lain kecuali dalam hal
ketaqwaannya. Di mata Tuhan, kapasitas sebagai hamba adalah sama baik laki-laki
maupun perempuan yang membedakan mereka adalah ketaqwaan mereka dan
masing-masing dari mereka akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan
kadar pengabdiannya, sebagai mana disebutkan dalam al-Qur'an sebagai berikut:
“Barang
siapa mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan kami berikan balasan yang lebih dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. an-Nahl-97)[7]
Dilihat
dari aspek sosial, khitan perempuan yang dilakukan pada umumnya didasari juga
oleh adanya tradisi atau budaya yang diwariskan secara turun menurun.[8] Budaya merupakan salah
satu dasar yang menetukan perjalanan hidup individu. Pada hakekatnya budaya
merupakan suatu yang berada diluar kemampuan manusia serta memaksakan
kehendaknya.[9]
Walaupun
demikian pada umumnya setiap individu masih tetap mengikuti cara-cara yang
berlaku dan berpikir sebagaimana yang dituntut oleh tradisi dan kebudayaan
setempat. Dengan kata lain, budaya adalah merupakan suatu tatanan sosial
kemasyarakat yang meliputi pola-pola berpikir dan bertindak yang kemudian
ditranformasikan dari generasi ke generasi berikutnya.
Khitan
perempuan yang pada daerah-daerah tertentu diyakini sebagai salah satu bentuk
kewajiban yang harus dilakukan dapat dikategorikan sebagi tindakan pencegahan
terhadap diri perempuan untuk berperilaku binal. Hal ini didorong oleh adanya anggapan bahwa
seorang perempuan akan dianggap tabu jika mengekspresikan keinginan seksualnya,
sekalipun terhadap suaminya sendiri.
Budaya
khitan perempuan yang sudah terlembagakan dan melekat dalam masyarakat dapat
dikatakan sebagai salah satu bentuk kontrol terhadap kaum perempuan terutama
yang berkaitan dengan libidonya.
Nilai-nilai budaya yang semacam itu yang ditanamkan dan diperuntukkan kaum perempaun
justru telah merampas hak dan kontrol perempuan atas tubuhnya.
Syeikh
Muhammad al-Khatib As-Sarbini, mengatakan bahwa “pemotongan terhadap anggota
tubuh yang tidak ada fungsinya adalah mempunyai nilai ibadah”. Pada pelaksanaanya
khitan perempuan seperti yang ditetapkan Syeikh Muhammad al-Khatib As-Sarbini
adalah pemotongan terhadap sebagian daging yang terletak di atas tempat
keluarnya air kencing yang berbentuk seperti biji (clitoris). Menurut
pemahaman beliau clitoris adalah salah satu organ tubuh yang tidak ada
manfaatnya atau tidak mempunyai peran dalam metabolisme tubuh.
Dalam
menetapkan hukum khitan bagi perempuan Muhammad Al-Khatib As-Syarbini berpegang
pada keumuman ayat 123 surat an-Nahl sebagai
berikut:
“Kemudian
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama nabi Ibrahim yang hanif “dan
bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS.
An-Nahl: 123)
Menurut
hemat penulis ayat tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar diwajibkannya
khitan bagi perempuan. Karena ayat tersebut bersifat umum dan tidak mengacu
pada salah satu persoalan, maka untuk dapat memahami maksud dari ayat tersebut
diperlukan adanya bayan
(penjelas) yaitu sunah-sunah Nabi karena, Nabi sebagai penyampai ajaran
al-Qur’an diberi otoritas untuk menjelaskan lebih lanjut apa yang telah
diwahyukan kepadanya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa sunah baik dalam
bentuk perkataan maupun perbuatan serta taqrir Nabi merupakan sumber hukum
kedua setelah Al-Qur’an.
Dalam
menanggapi hadis yang berkaitan dengan masalah khitan dikalangan ulama’ terjadi
perselisihan dalam menerima dan memahami hadis yang berkaitan dengan khitan
perempuan. As Syaukani mengatakan bahwa tidak ada dasar hukum yang shoheh yang
menunjukkan kewajiban khitan, hukum khitan yang bisa diyakini adalah sunah
seperti yang dinyatakan dalam hadist lima fitrah dan yang semisal dengannya.[10] Dalam Fiqh Sunnah Sayid
Sabiq juga mengatakan bahwa semua hadist yang berkaitan dengan masalah khitan
perempuan adalah dho’if (lemah) tidak ada satupun yang sohih.[11]
Menanggapi
permasalahan khitan bagi perempuan Muhammad Syaltut dalam kitabnya al-Fatawa
mengemukakan sebuah kaidah ushul fiqh yang bisa dijadikan rujukan dalam
menentukan kebijakan hukum tentang khitan perempuan yaitu “bahwa melukai anggota
tubuh makhluk hidup (seperti memotong organ kelamin) hukum dasarnya adalah
haram, kecuali dengan melakukan hal tersebut ada kemaslahatan yang dapat diambil
dari padanya”.[12]
Dari
kaidah hukum yang dkemukakan Mahmud Syaltut di atas penulis dapat menyimpulkan
bahwa hukum asal khitan adalah haram, karena termasuk melukai anggota tubuh.
Apabila seorang laki-laki diperbolehkan mengkhitankan dirinya dengan alasan
pencapaian kesehatan yang lebih baik seperti yang dikemukakan oleh para ahli
medis, maka pengambilan keputusan untuk mengkhitankan perempuan juga harus
didasarkan pada alasan medis yang kuat sesuai dengan kaidah yang berbunyi:
الحكم
يتبع المصلحة الرجحة
“Hukum
itu mengikuti kemaslahatan yang lebih kuat”.[13]
Jadi,
apabila dasar atau illat hukum khitan pada laki-laki adalah pemenuhan kesehatan
dan kepuasan seksual, maka illat ini juga harus menjadi dasar utama ketika kita
mau menetapkan hukum khitan bagi perempuan agar tercipta hukum yang tepat dan
sesuai dengan semangat al-Qur’an.
Dengan
demikian pelaksanaan khitan bagi perempuan juga harus didasarkan pada asas
kemaslahatan. Jika ada alasan dan prosedur medis yang membawa maslahat bagi
perempuan dalam khitan maka menjadi boleh atau bahkan sunah, sebaliknya bila
menimbulkan efek negatif (mudharat bagi perempuan) seperti dapat menghilangkan
kenikmatan seksual perempuan maka hukumnya tidak boleh.
Lebih
lanjut Mahmmud Salthout menjelaskan bahwa khitan perempuan tidak perlu
dilaksanakan, baik dipandang dari segi hukum syara’, budi pekerti maupun
kesehatan.[14] Menurut
beliau dari riwayat-riwayat yang berkaitan dengan khitan tidak ada dalil yang
kuat untuk dapat dijadikan alasan sebagai perintah khitan, kalaupun ada adalah
merupakan tradisi suatu kelompok pada waktu itu.[15] Beliau juga mengatakan
bahwa khitan perempuan tidak lebih dari sekedar usaha untuk memperindah tubuh
yang sudah menjadi tabiat manusia seperti bersolek dan memakai wangi-wangian.[16]
Sedangkan
Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Fiqh Islam wa Adillatuhu mengatakan bahwa
khitan bagi perempuan adalah suatu kemuliyaan yang jika dilaksanakan dianjurkan
untuk tidak berlebihan agar ia tidak kehilangan kenikmatan seksualnya.[17] Pendapat tersebut
berdasarkan pada hadits Nabi sebagai berikut:
عن
ابن عباس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال الختان سنة للرجل مكرمة للنساء
“Dari
ibnu Abbas Ra. Dari Nabi SAW bersabda: khitan itu sunah bagi laki-laki dan
dimulayakan bagi perempuan.” (HR. Baikhaqi)
Beberapa
ulama hanya memberikan predikat kemuliaan dan tidak mewajibkan khitan bagi
perempuan. Predikat kemuliaan menurut Husain Muhammad lebih tepat dipandang
sebagai label budaya manusia yang terbatas pada ruang dan waktu dan bukan
merupakan perintah dari Allah dan rasul-Nya.[18] Dalam Fiqh Sunah,
Sayid sabiq mengatakan bahwa ajaran khitan hanyalah merupakan sunah qadimah
atau tradisi orang dahulu.[19]
Predikat
kemuliaan juga merupakan sebuah komunitas terhadap peran kaum perempuan yang
tentunya sangat besar dalam menjaga keharmonisan dan kelangsungan komunitasnya
yang mungkin banyak mengakomodasi previllege kaum laki-laki sebaliknya
predikat kemuliaan juga menyiratkan kebesaran hati kaum perempuan denga
kesediaanya dan kemampuannya dalam membatasi hasrat seksualnya untuk
kepentingan komunitasnya.[20]
Predikat
kemulyaan yang diberikan ulama dalam hal khitan secara sederhana dapat dipahami
sebagai bentuk dukungan para ulama terhadap praktek khitan perempuan. Lebih
lanjut Huzain Muhammad menjelaskan bahwa dukungan semacam ini adalah wajar.
Dalam sebuah komunitas budaya, posisi perempuan lemah dan menjadi subordinasi
kaum laki-laki, karena perempuan sebagai isteri harus benar-benar suci
dan mempunyai tanda kesucian sebelum pernikahan. Oleh karena itu seoarang
perempuan seharusnya atau sebaiknya ia tidak memiliki organ yang mudah
terangasang sehingga tidak mudah tergoda dan tergelincir dalam kenistaan yang
merusak dirinya dan kesuciaannya.
Disamping
itu sebagai seorang isteri juga harus siap melayani kebutuhan seksual seorang
suami kapan saja dan dimana saja yang ia minta sementara ia sendiri tidak dianjurkan meminta kepada suaminya apalagi
menuntut kepuasan dengan kenikmatan seksual secara optimal, perempuan juga
harus siap menerima perlakuan poligami dari suaminya yang menuntut kesiapan
psikologi agar tidak agresif dalam kehidupan seksual untuk tujuan itu setiap
komponen budaya harus mengkondisikan perempuan agar siap menerima beban
sebagaimana disebutkan di atas, diantaranya dengan mendukung praktek khitan perempuan yang akan mengarah
pada kepasifan seksualnya yang diharapkan oleh mereka, dan dengan ini kaum
perempuan mendapat predikat kemulyaan dari sebuah komunitas tradisi budaya.[21]
Dari
pernyataan tersebut penulis menganggap bahwa kebijakan beliau dalam menetapkan
hukum, khususnya khitan bagi perempuan adalah sangat tidak berdasar dan kurang
memperhatikan nilai-nilai keadilan. Pada pembahasan sebelumnya kami telah
mengemukakan bahwasanya clitoris merupakan salah satu organ tubuh yang
terbentuk oleh jaringan-jaringan erektil yang sangat peka terhadap
rangsangan. Organ ini (clitoris) terletak diantara dua lipatan yaitu
lipatan preputium dan lipatan frenulum yang terdiri dari dua corpus
yaitu corpus cavernosa yang terletak berdampingan satu sama lain dan
memanjang untuk melekat pada periosterum dari corpus ossis pubis. Clitoris
merupakan bangunan yang dapat disetarakan dengan penis yang ada pada seorang
pria.[22]
Dalam
menginterpretasikan peranan clitoris, Sarvey mengatakan bahwa dengan rangsangan
seksual penuh, wanita pada umumnya mampu mencapai orgasme berulang-ulang
sebanyak enam kali orgasme yang dicapai dengan rangsangan intra vagina, namun
apabila seorang wanita dapat mengontrol ketegangan seksualnya dan
mempertahankan perangsangan yang lama itu seorang wanita mungkin dapat mencapai
orgasme lebih dari lima puluh kali selama satu jam selama dirangsang daerah clitoris-nya.[23]
Dari
beberapa uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa clitoris adalah salah
satu organ tubuh yang sangat penting dan berpengaruh sekali terhadap kebutuhan
hidup wanita khususnya kebutuhan biologis. Dalam al-Qur’an disebutkan:
“Dan
tidaklah kami menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya
dengan main-main” (QS. Al Anbiya’ 16)[24]
Dari
ayat tersebut di atas kita melihat bahwasanya Allah menciptakan langit dan bumi
dan semua yang tekandung di dalamnya adalah dengan maksud dan tujuan yang
mengandung hikmah.
[1] Ahmad Syauqi Al Fanjari,
Nilai-nilai kesehatan dalam Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hlm. 176
[2] Ristiani Musyarofah, Khitan
Perempuan antara Tradisi dan Ajaran Agama,Yogyakarta: Pusat Study Kependudukan
dan Kebijakan UGM bekerja sama dengan Ford Foundation, 2003, hlm. 27
[3] Untuk lebih jelasnya mengenai
organ kelamin wanita, lihat dalam Evelin Pearce, Anatomi and Psicoligiy for
Nourses, terj. Sri Yuliani Handoyo, Anatomi dan Psikologi Untuk Perawat,
Jakarta:PT Gramedia Karya Utama, 2002, hlm.257-258.
[4] Derek Laulin, Jones, Every
Women, Jakarta: Pustaka Dela Pratasa, 1997, hlm. 5.
[5] Ristiani Musyarofah, op. cit, hlm. 48.
[6] Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan Tejemahnya,
Jakarta: PT. Bumi Restu, 1978, hlm. 51
[7] Ibid, hlm. 420
[8] Ristiani Musyarofah, op.cit,
hlm. 3.
[9] Ibid.
[10] Muhammad bin Ali bin
Muhahammad As Syaukani , Nailul Authar , juz I
Bairut : Dar Al Fikr, t.th, hlm. 135.
[11] Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, Juz
I, Bairut: Dar al-Fikr, t.th, hlm. 33
[12] Mahmud Syaltut, al-Fatawa,
Bairut: Dar al-Qolam, t.th, hlm. 333
[13] Fathurrahman Jamil, Filsafat
Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 79
[14] Mahmud syaltut, op.cit, hlm.
334
[15] Ibid, hlm. 332
[16] Ibid, hlm. 334
[17] Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islam
wa Adillatuhu, Juz III, Bairut: Dar al-Fikr, t.th, hlm. 642
[18] Husain Muhammad, Fiqh
Perempuan refleks Kyai Atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LkiS, 2001,
hlm. 48
[19] Sayid Sabiq, op. cit, hlm. 33
[20] Husain Muhammad, op.cit, hlm.
49
[21] Ibid, hlm. 48
[22] Cilvia Verallis, Anatomi and
Applied to Obstretres (terj. A. Hartono), Jakarta: EGC, 1997, hlm. 110
[23] Munawar Ahmad Anees, Islam And
Biological Futures, Etic, Gender An Tecnologi, (Terj. Rahmani Astuti) Bandung:
Mizan 1992, hlm. 70.
[24] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 497
No comments:
Post a Comment