Istilah
perwaliaan berasal dari bahasa arab dari kata dasar, waliya, wilayah atau walayah. Dalam literatur
fiqih Islam disebut dengan al-walayah (alwilayah) secara etimologis, wali mempunyai
beberapa arti. Diantaranya adalah cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah), juga berarti kekuasaan/otoritas seperti dalam ungkapan al-wali, yakni
orang yang mempunyai kekuasaan.
Hakikat dari al-walayah (al-wilayah) adalah “tawally al-amri” (mengurus/mengusai
sesuatu).[1]
Adapun
yang di maksud dengan perwalian dalam terminologi para fuqaha (pakar hukum islam) seperti di
formulasikan oleh Wahbah Al-zuhayli ialah “Kekuasaan/otoritas (yang dimiliki)
seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan tanpa harus bergantung (terikat) atas seizin orang lain.
Dalam
literatul–literatul fiqih klasik dan kontemporer, kata al-wilayah digunakan
sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi sesorang yang belum
cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali bagi anak yatim, dan
orang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah al-wilayah juga dapat berarti hak
untuk menikahkan seorang wanita di mana hak itu dipegang oleh wali nikah.[2] Adapun yang di maksud
dengan perwalian di sini adalah perwalian terhadap jiwa seseorang wanita dalam
hal perkawinanya.
Masalah
perwalian dalam arti perkawinan, mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita itu
tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dan tidak pula mengawinkan wanita lainya karena akad perkawinan tidak di anggap sah apabila tanpa seorang
wali,[3] pendapat ini dikemukakan
oleh Imam Maliki dan Imam Safi’i
bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali, dan wali merupakan
syarat sahnya pernikahan.[4]
Menurut
madzhab Hanafi, wali tidak merupakan syarat untuk sahnya suatu pernikahan,
tetapi sunah saja hukumnya boleh ada wali dan boleh tidak ada wali, yang
terpenting adalah harus ada izin dari orang tua pada saat akan menikah baik
pria maupun wanita.
Sedangkan
menurut Undang-undang Nomor 1 tahun
1974, tidak jelas mengatur tentang wali nikah, teapi di syaratkan harus ada
izin dari orang tua bagi yang akan
melangsungkan pernikahan dan
apabila belum berumur 21 (dua
puluh satu) tahun disebutkan bahwa: perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai.[5]
Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah konsep perwalian dalam perkawinan, di atur dalam pasal 14 dan pasal 19-23.[6] Selanjutnya akan dikutip di bawah ini:
Pasal
14:
Untuk
melaksankan perkawinan harus ada:
a.
Calon suami
b.
Calon isteri
c.
Wali nikah
d.
Dua orang saksi dan
e.
Ijab kabul.
Pasal
19:
“Wali
nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi calon mempelai
wanita yang bertindak untuk menikahkanya.”
Pasal
20:
(1)
“Yang bertindak sebagai
wali nikah ialah
seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum islam
islam yakni muslim,
aqil dan baligh.”
(2)
Wali nikah terdiri dari
a.
Wali nasab
b.
Wali hakim
Pasal
23:
(1) “Wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin mungkin menghadirkanya
atau tidak tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.”
(2) “Dalam hal
wali adlal atau
enggan maka wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah
ada putusan pengadilan Agama tentang
wali tersebut.”
Di
Negara Indonesia yang kebanyakan menganut Madzhab Syafi’i wali merupakan syarat
sahnya pernikahan, jadi apabila pernikah tanpa
wali, maka pernikahanya tidak sah, dan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) wali dalam pernikahan merupakan
rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai
wanita yang bertindak menikahkanya (Pasal 19 KHI), wanita yang menikah tanpa
wali berarti pernikahanya tidak sah.[7]
[1] Muhammad Amin
Summa, Hukum Keluarga
Islam di dunia
Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004 hlm 134
[2] Ibid hlm 35
[3] Dedy Junaidi, Bimbingan
Perkawinan, Jakarta : Akademi Pressindo, 2003, hlm. 104
[4] Slamet Abidin-Aminudin, Fiqih
Munakahat, Bandung : Pustaka Setia,
1999, hlm. 82
[5] M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradialn Agama, dan zakat
menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm 12
[6] Ratna Batara
Munti dan Hindun
anisah, Posisi Perempuan
dalam Hukum Islam
di Indonesia, yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2005, hlm 61
[7] Zainudin Ali, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm 15
No comments:
Post a Comment