METODE PENGAJARAN AL-QUR’AN DI ZAMAN TABI’IN

                                                                     
Sahabat-sahabat Nabi terdiri dari beberapa golongan, yang dimana tiap-tiap golongan itu mempunyai lahjah/dialek (bunyi suara, atau sebutan) yang berlainan satu sama lainnya. kemudahan, Allah swt Yang Maha Bijaksana menurunkan Al-Qur'an mempunyai beberapa (macam) lahjah/dialek. Lahjah/dialek yang biasa dipakai di tanah Arab, ada tujuh. Di samping itu ada beberapa lahjah/dialek lagi.

Sahabat-sahabat Nabi menerima Al-Qur'an dari Nabi menurut lahjah/dialek bahasa golongannya. Dan masing-masing mereka meriwayatkan Al-Qur'an menurut lahjah/dialek mereka sendiri.[1]

Para  Sahabat  berpencar ke berbagai kota dan daerah, inipun atas  dasar perintah dari Nabi Muhammad saw. dengan membawa dan mengajarkan cara baca Al-Qur'an yang mereka ketahui sehingga cara baca Al-Qur'an menjadi  populer dikota atau daerah tempat mereka mengajarkannya. Terjadilah perbedaan cara baca Al-Qur'an dari suatu kota ke kota yang lain. Kemudian, para Tabi'in menerima  cara  baca Al-Qur'an tertentu dari Sahabat tertentu.[2] 

Seperti biasanya Sahabat Nabi menyampaikan pembelajaran Al-Qur'an dengan beberapa macam metodenya kepada para Tabi'in melalui beberapa hal. Semisal; sistem bagaimana Al-Qur'an itu dapat dihafal oleh kalangan para Tabi'in, sistem tadarrus yang harus dikhatamkan dalam 2 bulan, 1 bulan, 10 hari, 1 minggu, bahkan ada yang satu hari, mentashhihkan hafalannya, tajwidnya, memberikan pemahaman kandungan ayat-ayat yang telah diturunkan itu. 

Sedangkan mengenai pembelajaran terhadap tulis Al-Qur'an, para Tabi'in masih mengikuti bentuk tulisan Mushaf Al Imam, karena Mushaf itu ditulis oleh Sahabat Rasulullah saw sendiri yang menerima Al-Qur'an  langsung  dari Nabi Muhammad saw. Di samping itu penulisan Mushaf Al Imam adalah tanpa titik dan baris.[3]

Abul Aswad Ad Dualy (seorang  dari  ketua-ketua Tabi'in) memberi  baris  huruf  penghabisan dari kalimah saja dengan memakai titik diatas sebagai baris diatas dan titik di bawah sebagai tanda baris di bawah dan titik di samping sebagai tanda didepan dan dua titik sebagai tanda baris dua.[4]

Dengan meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para Sahabat dan  Tabi'in yang mengajarkan Al-Qur'an diberbagai kota menyebabkan  timbulnya  berbagai macam qira’at. Perbedaan  antara satu qira'at dan lainnya bertambah besar sehingga sebagian riwayatnya sudah tidak dapat lagi dipertanggung  jawabkan. Maka hal ini para ulama menulis qira'at ini dan sebagainya menjadi masyhur sehingga lahirlah istilah qira'at tujuh, qira'at sepuluh, dan qira'at empat belas.




[1] ibid, hal. 74
[2] H.  Ramli  Abdul  Wahid,  Ulumul  Qur’an    edisi  revisi,  PT  Raja  Grafindo  Persada,  Jakarta, 2002, hal. 139
[3] R.H.A. Soenarjo, SH., Al-Qur'an dan terjemahnya  edisi revisi,  Mahkota Surabaya, 1989, hal. 74
[4] T.M.  Hasbi  Ash  Shiddieqy,  Sejarah  dan  Pengantar  Ilmu-ilmu  Al-Qur'an  dan  Tafsir,  PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, hal. 90

No comments:

Post a Comment