Sumber
pengajaran Al-Qur’an pada waktu itu adalah para Sahabat, dan mereka pula yang
bertanggung jawab untuk mengajarkannya, memberi penjelasan serta pengertian tentang
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an kepada orang-orang yang baru masuk Islam.
Al-Qur’an
secara lengkap dan sempurna umumnya telah dipelajari dan dihafal oleh para Sahabat.
Di samping itu, Al-Qur’an masih dalam bentuk tulisan yang berserakan yang ditulis oleh
para Sahabat atas perintah Nabi Muhammad
saw selama masa penurunan Al-Qur’an, jadi belum berupa Mushaf.[1]
Para sahabat memiliki cara tersendiri dalam
mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya. Setelah mereka mempelajari ayat, biasanya
mereka tidak melanjutkan pada ayat
selanjutnya sehingga mereka mengamalkannya. Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. ia
berkata,
“Apabila
kami mempelajari sepuluh (10) ayat Al-Qur'an dari Nabi saw, kami tidak melanjutkannya
dengan ayat setelahnya sehingga kami mengamalkannya”.
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami. Ia berkata,
“Kami berbicara
dengan orang yang
membacakan kepada kami
dari sahabat Nabi saw, mereka biasa membacakan sepuluh (10) ayat lainnya
sampai mereka tahu ilmu dan pengamalannya”.
Di
kala ummat Islam telah berhijrah ke Madinah, saat Islam telah tersebar ke
kabilah-kabilah ‘Arab, mulailah Sahabat yang dapat menghafal Al-Qur’an pergi ke
kampung-kampung, ke dusun-dusun, menemui qabilah-qabilah yang telah Islam untuk
mengajarkan Al-Qur’an. Kemudian kepada
tiap-tiap mereka yang telah
mempelajari, diminta mengajari teman-temannya yang belum mengetahui.
Sahabat-sahabat yang mengajarkan itu pergi ke qabilah-qabilah yang lain untuk menebarkan
Al-Qur’an seterusnya.
Para
sahabat selalu bersegera dalam kebaikan dengan belajar Al-Qur'an dan
mengajarkan serta membacakannya kepada manusia. Mereka menjadikan
pedoman kebaikan yang digariskan Rasulullah saw. Ath-Thabarani meriwayatkan dari Abi Umamah
r.a. bahwa seseorang datang kepada Nabi saw. Dan berkata,
“Aku
membeli sesuatu dari Bani Fulan dan aku mendapat untung yang banyak.” Beliaupun
bersabda, “Maukah kutunjukkan keuntungan
yang lebih banyak?” Ia menjawab, “benarkah?” beliau bersabda, “yaitu orang
yang belajar sepuluh (10) ayat Al-Qur'an.” Maka ia pun lantas bersegera
mempelajari sepuluh ayat Al-Qur’an. Lalu datang lagi kepada Nabi saw. Untuk menceritakannya.”
(HR. Ath-Thabrani )[2]
Demikian
cara para Sahabat mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an dikala Nabi masih hidup
dan setelah wafatnya. Guru–guru Al-Qur’an dimasa
itu dinamai “Qurra”
(jama’ Qari = Ahli
Baca dan Ahli faham, pandai
menyebut lafad, cakap
menerangkan makna dan pengertian)
Pada
masa Rasulullah saw dan para Sahabat masih hidup pengajaran Al-Qur’an dengan
cara hafalan, dan tidak dengan membaca dan menulis. Hal ini disebabkan karena
mempunyai daya hafalan yang kuat, di samping
karena alat-alat tulis waktu
itu belum ada
bahkan ketika pemerintahan Islam dipegang oleh
Khalifah Umar Ibn
Khattab beliau sangat mengutamakan hafalan ayat-ayat Al-Qur’an, bukan membaca
dari tulisan lembaran-lembaran Al-Qur’an, sebagaimana ungkapan Hasbi
Ash-Shiddiqi bahwa ‘beliau itu selalu
mengumpulkan Kafilah-Kafilah Arab untuk diperiksa hafalannya, siapa saja yang
tidak menghafal barang sedikit dari padanya di dera.
Abud
Darda’ pada tiap-tiap beliau shalat Shubuh di jami’ Bani Umayyah di Damascus, berkerumun
(berkumpul) manusia disekelilingnya untuk mempelajari Al-Qur’an.
Mereka disuruh duduk bershaf-shaf, tiap
satu shaf 10
orang, dipimpin oleh
seorang ‘Arif (pemimpin shaf) sedang Abud Darda’ berdiri tegak di Mihrab
memperhatikan bacaan- bacaan itu. Bila seseorang diantara pelajar-pelajar tiada mengetahui lagi, bertanyalah
ia kepada pemimpin shafnya. Jika pemimpin
tiada mengetahui barulah Abud Darda’ menerangkan. Pada suatu hari Abud Darda’ menghitung jumlah muridnya, ternyata muridnya berjumlah
1600 orang lebih.[3]
Islam
semakin luas keseluruh penjuru bumi. Pada masa Khalifah Utsman terjadi perbedaan
dalam pembacaan Al-Qur’an. Karena adanya perbedaan Lahjah (dialek) khalifah Utsman
ibn Affan membentuklah suatu panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an,
yakni menyalin dari lembaran-lembaran yang tersebut menjadi buku.
Al-Qur'an
yang telah dibukukan
itu dinamai dengan
“Al Mushaf” dan oleh panitia ditulis 5 buah Al Mushaf. Empat buah diantaranya
dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah, Kufah, agar di tempat-tempat itu disalin pula
dari masing-masing Mushaf itu, dan
satu buah ditinggal di Madinah, Untuk
Khalifah Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan : “Mushaf Al-Imam”.
Dengan
demikian, maka pembukuan Al-Qur'an dimasa khalifah Utsman bin Affan itu
faedahnya yang terutama adalah :
1) Menyatukan kaum muslimin pada satu
macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya.
2) Menyatukan bacaan, dan kendatipun
masih ada berlainan bacaan, tetapi bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan Mushaf-mushaf
Utsman. Sedangkan bacaan-bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushaf-mushaf
Utsman tidak diperbolehkan lagi.
3)
Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut sebagai yang
kelihatan pada Mushaf-mushaf yang sekarang.[4]
Karena
Al-Qur’an saat itu ditulis tanpa titik dan harakat, maka banyak orang yang kesulitan
dalam membacanya. Sehingga ketika Gubernur Basrah “Ziad
Ibn Sumaiyah” berkuasa, ia memerintahkan kepada Abu Aswad Ad Dualy (Ahli
Nahwu) agar menciptakan suatu cara untuk menghindari suatu kesalahan dalam
membacanya.
Pada
mulanya Abul Aswad menolak, namun akhirnya menyanggupi dan hasilnya
lahirlah tanda–tanda A (fatkha) dengan titik di atas huruf dan lain–lain. Kemudian tanda–tanda itu dibubuhkan kedalam teks Al-Qur’an oleh kedua muridnya yakni Nashar ibn ‘Ashim atas perintah Al Hallaj, yang kemudian disempurnakan oleh Al-Kholil Ibn Ahmad.
Al
Khalil mengubah sistem baris Abul Aswad dengan menjadikan alif yang dibaringkan
di atas huruf tanda baris di atas dan yang di
bawah huruf tanda baris di bawah, dan Waw tanpa baris didepan. Beliau jugalah yang membuat tanda Mad (panjang
pembacaan) dan tasydid (tanda huruf ganda).
Sesudah
itu barulah penghafal Al-Qur’an membuat tanda-tanda ayat, tanda-tanda
waqaf (berhenti) dan ibtida’ (mulat) serta menerangkan di pangkal-pangkal surat nama surat
dan tempat – tempat turunnya, di Makkah atau di Madinah dan menyebut bilangan
ayatnya.
Menurut
riwayat sebagian tarikh, pekerjaan–pekerjaan ini dikerjakan atas kemauan Al
Ma’mun. Ada diriwayatkan, bahwa yang mula–mula
memberi titik dan baris,
ialah Al Hasan Al Bishry dengan suruhan Abdil Malik ibn Marwan. Abdil Malik
ibn Marwan memerintahkan
kepada Al Hallaj sewaktu berada
di Wasith, lalu Al Hallaj menyuruh Al Hasan dan Yahya ibn Ya’mura, murid Abul Aswad Ad
Dualy. Demikianlah terus-menerus raja-raja Islam dan ulama-ulamanya memperbagus
tulisan Al-Qur’an, hingga sampailah kepada masa pencetakannya.[5]
[1] Zuhairini dkk,
Sejarah Pendidikan Islam, Proyek IAIN,
Jakarta, 1994, hal. 76
[2] Lihat
Majma’uz Zawaid VII: 65,
dalam Akhmad Khalil Jum’ah, Al-Qur'an Dalam Pandangan Sahabat Nabi, Gema Insani Press, Jakarta, 1999, hal. 39-40.
[3] T.M. Hasbi
Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu-ilmu
Al-Qur'an dan Tafsir,
PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, hal. 72.
[4] R.H.A.
Soenarjo, SH., Al-Qur'an dan terjemahnya
edisi revisi, Mahkota Surabaya,
1989, hal. 21-22
[5] T.M. Hasbi
Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu-ilmu
Al-Qur'an dan Tafsir,
PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, hal. 71-72
No comments:
Post a Comment