Al-Qur’an
karim turun kepada Nabi yang Ummi
(tidak bisa baca tulis)
karena itu perhatian Nabi
hanyalah dituangkan untuk sekedar menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat
menguasai Al-Qur’an yang diturunkan.
Setelah itu membacakan kepada orang-orang dengan begitu tenang, agar mereka pun
dapat menghafalnya serta
memantapkannya.
Dengan
demikian ada tiga (3) faktor yang menyebabkan Al-Qur’an tidak dibukukan dimasa Rasul dan sahabat.
Pertama,
kondisinya tidak membutuhkan karena kemampuan mereka yang besar untuk memahami
Al-Qur’an dan Rasul dapat menjelaskan maksudnya. Kedua, para sahabat sedikit sekali
yang pandai menulis. Ketiga, adanya
larangan Rasul untuk menuliskan
Al-Qur’an. Semuanya ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak
tertulisnya ilmu ini baik dimasa Nabi maupun di zaman sahabat.[1]
Sejak
Nabi melaksanakan fungsi dakwah secara aktif, di kota Mekkah, telah didirikan
lembaga pendidikan di mana Nabi memberikan pelajaran tentang ajaran Islam
secara menyeluruh dirumah-rumah dan masjid-masjid. Di dalam masjid-masjid
berlangsung proses belajar-mengajar berkelompok dalam “HALAQAH” dengan
masing-masing gurunya terdiri dari para sahabat Nabi. Kegiatan pembelajaran
tersebut dapat berlangsung dengan baik, hingga pada akhirnya setiap wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dicatat dan dilafalkan oleh para sahabat yang pandai membaca dan
menulis.[2]
Hal ini ada dua (2) cara Nabi memberikan Pembelajaran serta pemeliharaan Al-Qur’an dari kemusnahan, antara lain
adalah: Pertama, Menyimpannya ke dalam “Dada Manusia” atau menghafalkannya.
Kedua, Merekamnya secara tertulis diatas berbagai jenis bahan untuk menulis.
Sejumlah
hadits menjelaskan berbagai upaya Nabi dalam merangsang penghafalan wahyu-wahyu
yang telah diterimanya. Salah satunya yang diriwayatkan oleh Utsman ibn Affan
bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Yang terbaik diantara kamu adalah mereka yang mempelajari Al-Qur’an dan kemudian
mengajarkann ya”.[3]
Pada
setiap kali Rasulullah saw menerima wahyu yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an
Beliau membacanya di depan para
Sahabat, kemudian para Sahabat menghafalkan ayat–ayat tersebut sampai
hafal di luar kepala. Namun demikian beliau menyuruh Kuttab (penulis wahyu)
untuk menuliskan ayat- ayat yang baru
diterimanya itu. Tulisan yang ditulis oleh
para penulis wahyu disimpan dirumah Rasul. Di samping itu mereka juga menulis untuk
mereka sendiri. Adapun caranya mereka menuliskannya pada pelepah-pelepah kurma,
kepingan batu, kulit/daun kayu, tulang binatang, dan sebagainya.
Al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa Arab, bacaannya telah diperkenankan dengan tujuh macam
huruf, dengan semuanya dengan lidah bangsa Arab yang fasih dikala itu, bahasa
Arab yang paling baik. Oleh sebab itu Nabi Muhammad saw bersabda, yang artinya:
“Hendaklah
kamu baca Al-Qur’an dengan lidah Arab dan suaranya, dan jauhilah lidah kedua ahli kitab Yahudi-Nasrani dan orang-orang yang durhaka.” (Riwayat
At-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Jabir r.a).[4]
Maka
hal ini ada kaitannya besar dari para sahabat yang hafal Al-Qur'an ketika
pemberian metode pembelajaran Al-Qur'an pada zaman Nabi.
Di
dalam pembelajaran serta pemeliharaannya Al-Qur’an di masa Nabi Muhammad saw
adalah perekaman dalam bentuk tertulis
unit-unit wahyu yang diterima Nabi. Laporan paling awal tentang penyalinan
Al-Qur’an secara tertulis bisa ditemukan dalam kisah Umar ibn Khaththab masuk
Islam, empat tahun menjelang hijrahnya Nabi ke Madinah. Sebagaimana yang
diungkapkan Schwally, adalah tidak logis jika
Nabi Muhammad saw
sejak masa paling
awal tidak menaruh perhatian pada perekaman secara tertulis
wahyu-wahyu yang diterimanya.
Sebagaimana
diterangkan di dalam Al-Qur’an
surat Luqman (31) dengan ayat 27:
“Dan seandainya
pohon-pohon di bumi
menjadi pena dan laut
(menjadi tinta), lalu ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya
(dituliskan) kalimat Allah...”
Dengan
jelas menyiratkan makna bahwa tinta dan pena digunakan ketika itu untuk
menuliskan wahyu. Di riwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman Affan bahwa apabila
diturunkan kepada Nabi suatu wahyu,
ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya,
kemudian bersabda:
“Letakkanlah
ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu”.[5]
Maka,
jika membaca Al-Qur’an itu harus dengan lidah bahasa dan lagu bangsa Arab, maka
sudah barang tentu menulis Al-Qur’an itu harus dengan huruf Arab. Karena jika
Al-Qur’an ditulis dengan huruf selain huruf Arab, misalnya dengan huruf latin, tentu
akan ada beberapa perubahan bacaannya, yang tidak sesuai lagi dengan asalnya. Demikianlah,
tidak dapat disangkal lagi, bahwa Al-Qur’an itu harus ditulis dengan huruf Arab.[6]
[1] H. Ramli
Abdul Wahid, Ulumul
Qur’an edisi revisi,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 15.
[2] H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar
Ulumul Qur’an, Bina Ilmu, Jakarta, 1993,
hal. 15
[3] Taufik Adnan
Amal, Rekonstruksi Sejarah
Al-Qur'an, dengan kata
pengantar M. Quraish Shihab,
FKBA, Yogyakarta, 2001, hal. 129
[4] H. Munawir Chalil, Al-Qur’an
Dari Masa ke Masa, Ramadhani, Semarang,
1985, hal. 34-35.
[5] Taufik Adnan
Amal, Rekonstruksi Sejarah
Al-Qur'an, dengan kata
pengantar M. Quraish Shihab,
FKBA, Yogyakarta, 2001, hal. 130-132
[6] H. Munawir Chalil, Al-Qur’an
Dari Masa ke Masa, Ramadhani, Semarang,
1985, hal. 35-36.
No comments:
Post a Comment