HUKUM SENI MUSIK MENURUT IMAM AL-GHOZALI


Ada beberapa perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum seni musik. Menurut Imam al Ghozali dan segolongan ulama berpendapat bahwa mendengar nyanyian dan musik termasuk jumlah yang diperbolehkan dari segi mendengar suara yang merdu, berirama serta dimengerti maksudnya.

Adapun pendapat Abu Hanifah berkata bahwa mendengarkan nyanyian termasuk hal yang akan menyebabkan manusia disiksa. Ini adalah pendapat seluruh mazhab Kufiyyun, Sofyan ats Tsauri, Hamid, dan Syabi’i.

Tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hal tersebut, begitu pula halnya dengan para ulama Basrah. Mereka membenci nyanyian dan musik. Seperti pendapat Syekh Imaduddin bin Katsir Asy-Syafi’i mengatakan bahwa mempergunakan alat musik dan mendengarkannya adalah perbuatan haram.[1]

Di dalam kitab Ihya Ullumuddin diterangkan hal-hal yang berkaitan dengan hukum seni musik dan segala ragamnya. Nyanyian itu sendiri itu berasal dari kata al Ghina sebagaimana lafadz  kisaa berarti suara yang dilantunkan, atau berarti sesuatu yang  didengarkan. Seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantara alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indra pendengaran.

Al Farra menulis, “Bernyanyi dan syair apapun yang kamu katakan sesungguhnya lagu dan syair ini merupakan alat musik.[2] Ketahuilah bahwa perkataan yang berpendapat bahwa mendengar nyanyian dan memainkan alat musik itu haram, artinya bahwa Allah SWT menyiksa karenanya dan ini adalah sesuatu yang tidak dapat diketahui dengan akal semata tetapi dengan mendengar dalil. Mengetahui hukum agama itu terbatas pada nash dan qiyas kepada yang ada nash. Kalau tidak ada nash di dalamnya dan tidak lurus padanya qiyas kepada yang ada nashnya. Niscaya batallah perkataan mengharamkannya dan tinggallah sebagai perbuatan yang tidak ada larangan padanya, seperti perbuatan-perbuatan lain yang diperbolehkan.

Menurut Imam Al Ghozali tidak ada nash maupun qiyas yang menunjukkan bahwa mendengar nyanyian itu haram dan nash/qiyas semuanya menunjukkan atas diperbolehkan mendengar nyanyian dan musik. Maka sesungguhnya pada nyanyian itu ada mendengar suara yang merdu dan suara merdu itu terbagi atas yang berirama dan yang tidak berirama. Adapun mendengar suara yang bagus dari segi  bahwa ia adalah suara yang merdu maka tidaklah seyogyanya diharamkan tetapi ia diperbolehkan berdasarkan nash dan qiyas.[3]

Adapun nash maka ia menunjukan atas diperbolehkan mendengar suara bagus sebagai anugerah Allah SWT kepada hambanya dengannya ketika Allah SWT berfirman:

يزيد في الخلق ما يشاء

Dia (Allah) menambah pada makhluknya apa yang dia kehendaki”. (Qs. Fathir : 1)[4]

Maka dikatakan bahwa itu (apa yang dikehendaki) adalah suara yang merdu dan di dalam hadits terdapat:

ما بعث الله نبيا إلا حسن الصوت

Tidaklah Allah SWT mengutus seorang nabi melainkan bagus suaranya”.[5]

Menurut hemat penulis lagu dan musik itu tidak haram kecuali dengan adanya nash yang shahih dan jelas karena hanya Allah saja yang berhak untuk menghalalkan dan mengharamkan. Selama kita belum mendapatkan keterangan dari Allah SWT, baik dalam kitabnya atau hadits Rasulnya yang menetapkan hukum dengan qath’i tentang halal dan haram, maka kita tetap dalam satu pendirian bahwa lagu dan musik pada asalnya boleh dan jika kita menghalalkan atau mengharamkannya berarti kita telah menyandarkan kepada Allah SWT suatu perkataan tanpa didasari ilmu, ini merupakan satu di antara langkah-langkah setan. Sebagaimana firman Allah:

إنما يأمركم بالسوء و الفحشاء و ان تقولوا على الله ما لا تعلمون

“Sesungguhnya setan akan menyuruh kepada perbuatan jelek dan keji, dan setan akan menyuruh kepada kalian untuk mengatakan kepada Allah SWT apa-apa yang kalian tidak ketahui”. (QS. Al Baqarah : 169)[6]

Maka demikian pula suara-suara yang diperoleh dengan panca indera pendengaran terbagi menjadi: 

Pertama, suara-suara yang merdu seperti suara burung murai dan bunyi serunai. Dan Rasulullah SAW bersabda di dalam memuji Abu Musa al Asy’ari,

لقد أعطى مزمارا من مزامر آل داود

Sesungguhnya dia telah diberi serunai dari serunai-serunai keluarga Daud”.

Menunjukkan dengan berdasarkan pengertian yang dipahami dari hadits tersebut bahwa Allah SWT memuji suara yang bagus, dan seandainya dikatakan bahwa demikian itu diperbolehkan dengan syarat ada pada Al Qur’an, niscaya harus diharamkan mendengarkan suara burung murai karena ia tidak bagian dari Al Qur’an.

Menurut hemat penulis apabila boleh mendengar suara yang tidak ada pengertiannya, maka mengapa tidak boleh mendengar suara yang dipahami hikmah dan pengertian-pengertiannya yang benar dan sesungguhnya sebagian syair mengandung hikmah. Dan ini menunjukkan kepada suara dari segi bahwa ia adalah suara yang bagus. 

Kedua, adalah pandangan pada suara bagus yang berirama karena sesungguhnya irama (not) itu di belakang kebagusan dan suara yang berirama dipandang dari tempat keluarnya terbagi menjadi bermacam-macam. Adakalanya ia keluar dari benda padat seperti suara serunai, gitar dan memukul kentongan, beduk dan lainnya.  Dan adakalanya manusia atau lainnya seperti suara burung murai, merpati dan lain-lain.[7]

Dan asal suara adalah dari kerongkongan hewan dan sesungguhnya serunai diletakan di atas suara kerongkongan, hal itu adalah penyerupaan suara yang dibuat manusia dengan suara yang diciptakan Allah SWT. Maka seyogyanya diqiyaskan kepada suara burung murai. Suara-suara yang keluar dari tubuh-tubuh lainnya dengan hasil usaha manusia seperti yang keluar dari kerongkongannya atau dari suling dan tambur, terbang dan lain-lain. Dan tidak dikecualikan dari alat-alat ini selain alat-alat permainan, gitar dan serunai yang dilarang oleh agama bukan karena kelezatannya.

Dan tidak ada dari perkara yang  haram melainkan ada batas yang mengelilinginya dan hukum haram merata kepada batasnya supaya menjadi batas atas perkara yang haram. Penjagaan baginya dan peringatan yang mencegah disekelilingnya sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

إن لكل ملك حمى و حمى الله محارمه

Sesungguhnya setiap raja memiliki daerah larangan dan daerah larangan Allah adalah segala yang diharamkan”.

Ketiga, adalah yang berirama dan yang dapat dimengerti yaitu syair, demikian itu tidak keluar dari kerongkongan manusia maka dipastikan hal itu diperbolehkan karena ia tidak boleh selain bahwa ia adalah sesuatu yang dapat dimengerti.[8]

Para sahabat Nabi SAW dalam menafsirkan kandungan Al Qur’an juga sering mengutip syair sebagai keterangan. Sebagian besar imam terkemuka juga adalah penyair, seperti Imam Abdullah ibn Mubarak, Imam Muhammad Idris asy Syafi’i. Bahkan ada di antaranya yang melantunkan dan menyusun syair dengan sangat indah seperti yang diceritakan oleh Ali K.W. sebab, memang ada banyak dari karangan sahabat.[9]

Rasulullah SAW bersabda:

أن من الشعر الحكمة

Sesungguhnya dari syair ada hikmah”.[10]

Keempat dalam hal ini meliputi lagu dan musik. Imam al Ghozali dalam Ihya Ullumuddin menulis:

Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya atau oleh suara musik dan getaran nadanya maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobatinya”.[11]

Menurut hemat penulis sikap Imam al Ghozali tentang nyanyian dan musik, perdebatannya yang maudhu di bidang fiqih terhadap alasan-alasan ulama yang mengharamkan orang mendengarkan nyanyian dan memainkan alat musik, jawabannya yang memuaskan, dukungannya atas dalil-dalil mereka yang membolehkan, dan pembatasannya dengan beberapa penghalang yang merintangi ihwal bolehnya mendengarkan nyanyian dan memainkan alat musik sehingga beralih ke hukum haram, dipandang sebagai sikap paling adil dan mencerminkan keberadaan syari’at Islam yang berdiri di tengah-tengah toleran dan corak untuk semua ruang dan waktu.

Di sini Imam al Ghozali menambahkan pada hukum ini beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam mendengarkan musik dan nyanyian:

1. Bahwa tidak setiap nyanyian itu hukumnya mubah (boleh) pokok pembicaraannya harus sesuai dengan sopan santun Islam dan pengajarannya.

2.  Cara penyajiannya juga mempunyai peranan penting, isi syair boleh tidak haram dan tidak tercela tetapi cara biduan atau biduanita menyanyi dengan ungkapan yang tidak enak sengaja menimbulkan rangsangan dan mengalihkan dari wilayah yang dihalalkan ke wilayah yang diharamkan.

3. Nyanyian dan musik tidak boleh dibarengi dengan sesuatu yang diharamkan seperti minuman, bersolek, serta bercampur aduk dan berkelakar tanpa batas antara pria  dan wanita, karena inilah yang biasa terjadi di tempat-tempat pertunjukan musik sejak dahulu.[12]

4. Nyanyian dan musik sebagaimana semua dibolehkan diisyaratkan tidak berlebih-lebihan dalam segala hal dan yang demikian itu mengindikasikan adanya kekosongan pikiran dan hati dari berbagai kewajiban besar dan cita-cita mulia.

Dari penjelasan di atas, ada beberapa hal yang untuk setiap orang yang mendengarkan ataupun memainkan harus menjadi guru dan penasehat bagi dirinya sendiri. Jika sebuah jenis lagu dan musik tertentu merangsang naluri atau mendorong timbulnya malapetaka pada dirinya sendiri maka pendengar itu wajib segera menjauhinya.[13]

Di atas telah dijelaskan status hukum mendengarkan dan memainkan alat musik, adapun hukum yang haram jawabannya, Wallahu’alam. Mendengarkan sesuatu hukumnya mubah bila orang tersebut hanya sekedar mendengarkan, tetapi bila ia ikut duduk di tempat-tempat hiburan sambil mendengarkan suara penyanyi laki-laki maupun perempuan, maka mendengarkan dalam hal demikian hukumnya juga haram karena kita telah dilarang duduk bersama orang-orang yang melakukan maksiat ini.[14] Sesuai dengan firman Allah SWT:

فلا تقعدوا معهم حتى يحوضوا في حديث غيره

Janganlah kamu duduk bersama mereka sampai kepada pembicaraan yang lain…..( An Nisa :140 )[15]

Setelah mengadakan pembahasan yang mendetail Imam al Ghozali berkata: “Maka jelaslah bahwa tidak ada illat yang kuat tentang keharaman lagu dan musik, tapi hanya disandarkan pada kesenangan dan keindahan yang baik saja. Bahkan diqiyaskan atas penjelasan semua yang baik-baik kecuali mengandung fasad”.[16] Allah SWT:

قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده و الطيبت من الرزق

“Katakanlah siapakah yang mengharamkan hiasan Allah SWT yang telah Allah SWT berikan kepada  hambanya dan kebaikan-kebaikan dari rizki“. (QS. Al Ar’af: 32)[17]

Menurut hemat penulis pendapat Imam al Ghozali lebih sesuai untuk keadaan zaman sekarang di mana musik telah sedemikian merasuknya ke dalam kehidupan masyarakat dan fenomena lagu dan musik senantiasa menyertai kehidupan baik yang berhubungan baik dengan masalah duniawi maupun agama dan secara fitrahpun manusia membutuhkannya.




[1] Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Bila nyanyian Dianggap Halal, Cendekia:Jakarta, Cet. Ke 1, 2002, Hlm. 41
[2] Yusuf Al Qardhawy, Fiqih Musik Dan Lagu, Mujahid press: Bandung, Cet. Ke 1, 2001, Hlm. 29
[3] Imam Al Ghazali,  Ihya Ulumuddin,  Juz II, Darul Ihya al Kutub al Arabiyah, kairo, Hlm. 268
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Toha Putra: Semarang, 1996, Hlm. 346
[5] Imam Al-Ghozali, Op. Cit, Hlm 268.
[6] Departemen Agama RI, Op. Cit., Hlm. 20
[7] Imam Al-Ghozali, Op. Cit., Hlm. 269
[8] Ibid,  Hlm. 270
[9] Yusuf Al Qardhawy,  Seni Dan Islam, Pustaka Hidayah, Bandung, Cet. I, 2001, Hlm.33
[10] Imam Al Ghazali, Op. Cit. Hlm. 270
[11] Ibid  Hlm. 273
[12] Ibid,  Hlm. 270
[13] Ibid., Hlm. 302
[14] Abdurrahman al Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, Gema Insani Press: Jakarta, Cet. Ke 1, 1991, Hlm. 67
[15] Departemen Agama RI, Op. Cit., Hlm. 80
[16] Imam Al Ghazali, Op. Cit, Hlm. 268
[17] Departemen Agama RI, Op.Cit, Hlm. 122

2 comments: