Peminangan
merupakan langkah awal menuju kearah perjodohan antara seorang pria dan seorang
wanita. Islam mensyaritkannya agar masing-masing calon mempelai dapat saling
mengenal dan memahami pribadi mereka.
Pada
prinsipnya apabila peminangan telah dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang
wanita, belum berakibat hukum. Pada prinsipnya peminangan belum berakibat
hukum, maka di antara mereka yang telah bertunangan, tetap dilarang untuk berkhalwat (bersepi-sepi) sampai dengan mereka
melangsungkan akad perkawinan.[1]
Apabila
bersepi-sepi disertai dengan
mahrom, maka dibolehkan,
karena adanya mahrom dapat menghindarkan mereka terjadinya maksiat. Riwayat Jabir, menyatakan Nabi Saw. bersabda: “barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah mereka bersepi-sepi dengan
perempuan yang tidak disertai mahramnya, karena pihak ketiganya adalah syaitan”.
Tidak
jelas penyebabnya, tampaknya ada anggapan sebagian masyarakat seakan-akan apabila
mereka sudah bertunangan, ibaratnya sudah
ada jaminan mereka menjadi suami isteri. Oleh karena itu hal ini patut mendapat
perhatian semua pihak. Bukan mustahil karena longgarnya norma-norma etika
sebagian masyarakat, terlebih yang telah bertunangan, akan menimbulkan penyesalan
di kemudian hari, apabila mereka
terjebak ke dalam perzinaan.[2]
Dalam
kaitan peminangan ini, dalam masyarakat terdapat kebiasaan pada waktu upacara tunangan, calon mempelai laki-laki memberikan sesuatu pemberian seperti perhiasan
atau cendera hati lainnya sebagai kesungguhan niatnya
untuk melanjutkannya ke jenjang perkawinan. Pemberian ini harus dibedakan dengan mahar. Mahar adalah pemberian yang di ucapkan dalam akad nikah. Sementara pemberian
ini, termasuk dalam pengertian hadiah atau hibah.
Akibat
yang ditimbulkan oleh pemberian hadiah, berbeda dengan pemberian dalam bentuk mahar. Apabila
peminangan tersebut berlanjut ke jenjang perkawinan memang tidak menimbulkan masalah,
tetapi jika tidak, diperlukan penjelasan tentang status pemberian itu.
Apabila
pemberian tersebut sebagai hadiah atau hibah, jika peminangan tidak
dilanjutkan dengan perkawinan,
maka si pemberi tidak dapat menuntut kembalinya pemberian itu. Persoalan sekarang, bagaimana apabila
hal tersebut terjadi. Sebaiknya petunjuk Rasulullah saw dipedomani, akan tetapi
apabila ternyata timbul masalah, maka musyawarah untuk mencari perdamaian adalah alternatife
yang harus ditempuh, karena damailah pilihan yang Qur’ani.
Sepanjang
perdamaian tersebut tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau yang
mengharamkan yang halal. Dengan demikian, dapat diambil kompromi antara tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga
tetap terbina kerukunan dan saling menghargai satu sama lain.[3]
No comments:
Post a Comment