Mendengarkan
musik dalam perspektif sufi memiliki derajat yang berbeda-beda. Al-Junaid[1] berpendapat, terdapat tiga
tingkatan pendengar musik, yaitu: awam, zāhid dan ‘ārif.
Derajat
pertama (awam) diharamkan mengikuti as-samā’ karena mereka belum bersih
dari dorongan hawa nafsu.
Drajat
kedua (zāhid) dimubahkan dalam mendengar musik (as-samā‘), karena
orang zāhid berhasil melakukan mujāhadah.
Kemudian
derajat ketiga (‘ārif) sangat dianjurkan untuk melakukan as-samā’.
Namun pendapat ini sedikit berbeda dengan pendapat Abū Bakr al-Kattani, di mana
ia membagi tingkatan pendengar musik ke dalam lima tingkatan, yaitu: awām,
murīd, ‘auliyā’, ‘ārifīn dan ahli haqiīqah.[2]
Seyyed
Hossein Nasr berpendapat bahwa derajat sufi dalam mendengar musik spiritual
tergantung dengan bagaimana cara yang digunakan oleh orang yang mendengarkan.
Dari sudut pandang ini, musik spiritual dibagi menjadi tiga jenis, yaitu;
Pertama
musik bagi kaum awam, di mana kaum awam ini mendengar melalui sifat dasar, dan
ini adalah kemiskinan.
Kedua
adalah musik bagi kaum elit (khawāsh); yang mendengar musik dengan hati,
sehingga mereka berada dalam pencarian.
Ketiga
adalah musik bagi kalangan elitnya elit (khawāsh al-khawāsh); yang
mendengarkan musik dengan jiwa sehingga mereka berada dalam cinta.[3]
Para
ahli ma‘rifat memiliki bermacam-macam cara dalam mendengarakan musik spiritual:
ada yang menggunakan bantuan tingkatan spiritual (maqām); ada yang
dengan bantuan keadaan spiritual (hāl); lainnya lagi dengan penyingkapan
spiuritual (mukāsyafah); dan sebagiannya lagi dengan bantuan penyaksian
spiritual (musyāhadah). Mereka yang mendengarkan menurut maqām, maka
mereka berada dalam celaan.
Apabila
mereka mendengar menurut hāl, mereka tengah kembali. Bagi mereka yang mendengar
menurut mukāsyafah, maka ia berada dalam persatuan (wişāl). Dan jika
mereka mendengar sesuai dengan musyāhadah, mereka tenggelam dalam keindahan
Tuhan.[4]
[1] Abū al-Qain ibn Muhammad (w.
292 H/910 M), berkaitan dengan keadaan para sufi yang mAbūk cinta, ia mengatakan:
“keadaan mabuk adalah permainan anak kecil, sedangkan ketenangan hati merupakan
peperangan yang mematikan bagi orang dewasa”. Cyril Glasse, “al-Junayd” dalam
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. Ghufron A Masudi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. 195
[2] Abdul Muhaya, Bersufi Melalui
Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad Al-Gazāli, (Yogyakarta: Gama
Media, 2003), hlm. 48
[3] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas
dan Seni Islam, terj. Drs Sutejo, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 174
[4] Ibid., hlm. 172
No comments:
Post a Comment