Ada
berbagai gambaran dan penjelasan mengenai tingkatan spiritualitas yang dialami
oleh para sufi dalam perjalanan menuju persatuan dengan Tuhan, namun secara
ringkas tingkatan-tingkatan tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan utama.
1. “Penyusutan” (qabd), di mana dalam
tingkatan ini aspek tertentu dari jiwa manusia harus mati. Tingkatan ini
berhubungan dengan kezuhudan dan kesalehan serta manifestasi atau teofani (tajalli)
Nama-Nama Tuhan.
2. “Perluasan” (basţ), yaitu
aspek dari jiwa manusia mengalami perluasan sehingga melampaui batas-batasnya
sendiri hingga alam semesta berada di pelukannya. Tingkatan ini diiringi rasa
gembira dan ekstase serta merupakan manifestasi dari Nama-Nama Tuhan.
3. Persatuan dengan Yang Maha Benar (wişāl
bi al-Haqq). Pada tingkatan ini para ahli ma‘rifat telah melewati seluruh
tingkatan (maqām) lainnya dan dapat merenungkan Wajah Kekasih.[1]
Ibn
Ajibah,[2] seorang sufi dari tarekat
Syażiliyah, merangkum ajaran-ajaran spiritual dari beberapa guru sufi dengan
menggambarkan empat tingkatan yang berurutan dari sebuah pendekatan untuk
mencapai ekstase dalam menggunakan as-samā‘.
1. Tawajjud (mencari ekstase). Yaitu
orang yang telah bersumpah menolak dunia secara total, kemudian ia menari,
bergerak ritmis dan sebagainya secara metodis, meniru tampilan emosi ekstase (wajd)
mensimulasikan ekstase dan mengulang gerakan-gerakannya untuk merespon
panggilan batin.[3]
2. Wajd (ekstase emosi), yaitu dalam diri seseorang mendengar apa
yang menimpa hati dan menguasainya secara tiba-tiba tanpa orang harus mengupayakannya,
bisa berupa hasrat yang menggairahkan dan menggelisahkan, atau satu kecemasan
yang menakutkan.[4]
3. Wijdan (ekstase pertemuan).
Tingkatan ini dicapai ketika seseorang telah merasakan indahnya kehadiran
yang semakin lama dan sering disertai dengan
mabuk dan pingsan.[5]
4. Wujūd puncak dari ritual
ini, dan Ibn Ajibah mengatakan:
“Ketika
pertemuan ini selesai sampai rasa pingsan dan segala halangan lenyap, dan
segala pengetahuan dan meditasi tersucikan, terjadilah ekstasi (wujūd),
satu saat yang disinggung oleh al-Junaid dalam sya’ir berikut :
“Ekstasiku
adalah ketika aku memindah diriku dari eksistensi melalui anugerah dari Dia
yang menunjukkan padaku kehadiran.”[6]
No comments:
Post a Comment