TAJDIDUN NIKAH


Menurut bahasa tajdid adalah pembaharuan yang merupakan bentuk dari jaddada-yujaddidu yang artinya memperbaharui.[1] Dalam kata tajdid mengandung arti yaitu membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali, atau memperbaikinya sebagaimana yang diharapkan.

Menurut istilah tajdid adalah mempunyai dua makna yaitu;

Pertama, apabila dilihat dari segi sasarannya, dasarnya, landasan dan sumber yang tidak berubah-ubah, maka tajdid bermakna mengembalikan segala sesuatu kepada aslinya.

Kedua, tajdid bermakna modernisasi, apabila sasarannya mengenai hal-hal yang tidak mempunyai sandaran, dasar, landasan dan sumber yang tidak berubah-ubah untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta ruang dan waktu.[2]

Menurut Masjfuk Zuhdi kata tajdid itu mengandung suatu pengertian yang luas, sebab di dalam kata ini terdapat tiga unsur yang saling berhubungan yaitu;

Pertama, al-i’adah artinya mengembalikan masalah-masalah agama terutama yang bersifat khilafiah kepada sumber agama ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Kedua, al-ibanah yang artinya purifikasi atau pemurnian agama Islam dari segala macam bentuk bid’ah dan khurafah serta pembebasan berfikir (liberalisasi) ajaran agama Islam dari fanatik mazhab, aliran, ideologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama Islam.

Ketiga, al-ihya’ artinya menghidupkan kembali, menggerakkan, memajukan dan memperbaharui pemikiran dan melaksanakan ajaran Islam.[3]

Hal ini berbeda dengan yang diungkapkan oleh Harun Nasution yang lebih menekankan kepada penyesuaian pemahaman agama Islam sesuai dengan perkembangan baru yang ditimbulkan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[4]

Kata perkawinan itu berasal dari bahasa Arab yaitu nikah, yang berarti pengumpulan atau bergabungnya sesuatu dengan sesuatu yang lain.[5] Menurut istilah nikah adalah suatu akad yang suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadikan sebab sahnya status sebagai suami istri, dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, mawaddah, penuh kasih dan sayang, kebajikan dan saling menyantuni.[6]

Menurut ulama Hanafiah, perkawinan adalah akad yang memberikan faedah untuk memiliki kebahagiaan bagi seorang lelaki untuk bersetubuh dengan perempuan sehingga bisa memperoleh kebahagiaan.[7]

Hal tersebut sejalan dengan pemikiran ulama Syafi’iah dan Hanabilah yang memberikan suatu pengertian perkawinan adalah merupakan suatu akad yang menggunakan lafal nakaha atau zawwaja atau perkataan lain yang mempunyai makna sama dengan salah satu kata tersebut dengan tujuan untuk memperoleh suatu kebahagiaan.[8]

Menurut Ibrahim al-Bajuri yang merupakan salah satu pakar dalam fikih beliau juga memberikan pengertian tentang nikah adalah akad yang mengandung sebagian rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan.[9]

Menurut Mahmud Yunus, perkawinan adalah akad antara calon suami dan istri untuk memenuhi hajat hidupnya yang diatur oleh syara’.[10]

Senada dengan hal ini, Slamet Abidin juga memberikan sumbangan dalam memberikan pemaknaan pada istilah pernikahan yaitu suatu akad antara seorang pria dengan wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk menghalalkan percampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.[11]

Menurut Abu Ishrah, bahwa nikah atau zawaj ialah;

Akad yang memberi faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita serta mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.[12]

Dari beberapa penjelasan tentang pengertian tajdid dan nikah yang telah disebutkan maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa  tajdidun  nikah adalah pembaharuan terhadap akad nikah. Arti secara luas yaitu pembaharuan, perbaikan terhadap suatu akad yang nantinya akan menghalalkan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dan perempuan yang akhirnya akan mewujudkan tujuan dari pernikahan yaitu adanya keluarga yang hidup dengan penuh kasih sayang dan saling tolong menolong, serta sejahtera dan bahagia.




[1] Husain Al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Lengkap, Surabaya: YAPI, 1997, hlm. 43.
[2] Abdul Manan,  Reformasi Hukum Islam di Indonesia,  Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 147.
[3] Ibid, hlm. 148.
[4] Harun Nasution, Pembaharuan Hukum Islam, Pemikiran dan Gerakan,  Jakarta: Bulan Bintang, 1986, hlm.11-12.
[5] Muhammad Baqir Al-Habsyi,  Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama’, Bandung: Mizan, 2002, hlm. 3.
[6] Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001, hlm. 188.
[7] Abdurrahman al-Jaziri, al-fiqh ala al-Madhahib al-Arba’ah,  Baerut: Dharul fikri,t.th,hlm. 5-6.
[8] Ibid, hlm. 5-6.
[9] Ibrahim al-Bajuri, Khasyiyah Syeh Ibrahim al-Bajuri,  juz II, Baerut, Darul Kitab al-Ulumiyah, t.th., hlm. 170.
[10] Abdul Hadi, Fiqih Munakahat, Semarang: Duta Grafika, 1989, hlm. 3.
[11] Aminuddin, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm. 12.
[12] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Ilmu Fiqih Jilid II, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1984/1988, hlm. 49.

No comments:

Post a Comment