Para
ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengakui lembaga tabanni
(pengangkatan anak) yang mempunyai akibat hukum seperti yang telah dilakukan
masyarakat jahiliyah, artinya terlepasnya hukum kekerabatan antara ayah kandung
dengan anaknya dan berpindahnya ia kedalam hukum kekerabatan orang tua
angkatnya.
Hukum
Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan tabanni dalam arti pemungutan dan
pemeliharaan anak, artinya hukum kekerabatan tetap berada diluar lingkungan
keluarga orang tua angkatnya, dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat
hukum apa-apa. Ia tetap anak angkat dan kerabat orang tua kandungnya, berikut
dengan segala konsekuensi hukumnya.
Larangan
tabanni dengan cara memasukkan hukum kekerabatan ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnya dibatalkan oleh Allah dalam surah al-Ahzab ayat 4-5 yang
berbunyi:
ما
جعل الله لرجل من قلبين في جوفه و ما جعل أزواجكم الئي تطهرون منهن أمهتكن و ما
جعل أدعيائكم أبنائكم ذلكم قولكم بأفواهكم و الله يقول الحق و هو يهدي السبيل
ادعوهم لآبآئهم هو أقسط عند الله فإن لم تعلموا آبآئهم فإخونكم في الدين و موليكم و
ليس عليكم جناح فيما أخطئتم به و لكن ما تعمدت قلوبكم و كان الله غفورا رحيما
“Allah
sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan
Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian
itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi
Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat
ini juga diperkuat oleh sabda Nabi Muhammad SAW ketika ayat tersebut turun,
yang berbunyi:
أيما
امرأة أدخلت على قوم من ليس منهم فليست من الله في شيئ و لن يدخلها الله الجنة و
أيما رجل جحد ولده و هو ينظر اليه احتجب الله عنه يوم القيامة و فضحه على رؤوس
الأولين و الأخرين
“Perempuan
mana saja yang menasabkan (anaknya) kepada orang (kaum) yang bukan nasabnya,
maka Allah akan mengabaikannya dan sekali-kali tidak akan dimasukkan ke dalam
surga, dan laki-laki mana pun yang mengingkari anaknya, sedang dia
mengetahuinya, maka Allah menghalangi baginya (surga) dihari kiamat dan
kejelekannya ditampakkan di atas kepala orang-orang yang pertama dan
orang-orang yang terakhir.”(HR. Abu Daud, an-Nasa’i, al-Hakim, Ibnu Majah
dan Ibnu Hibban)[1]
Para
ulama fiqh juga menyatakan bahwa hukum Islam melarang praktik tabanni yang
memilki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh hukum
Barat/hukum sekuler dan praktik masyarakat jahiliyah; yaitu pengangkatan anak
yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat memilki hak waris
sama dengan hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap
anak angkat. Hukum Islam hanya mengakui tabanni dalam pengertian beralihnya
kewajiban untuk memberi nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara dan lain-lain,
dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.
Hukum
Islam telah menggariskan bahwa hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua
angkat adalah hubungan anak asuh dan orang tua asuh yang diperluas dan sama
sekali tidak menimbulkan hubungan nasab. Akibat yuridis dari tabanni dalam
hukum Islam hanyalah tercipta hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab
sebagai sesama manusia berdasarkan firman Allah dalam surah al-Insan ayat 8
yang artinya: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang
miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” Allah juga memerintahkan Rasulullah
SAW untuk menikahi janda Zaid bin Haritsah anak angkat sebagai justifikasi
tidak adanya hubungan nasab dan tidak adanya mawâni’ al-nikâh antara anak
angkat dan orang tua angkatnya.[2]
Asmu’i
mengutip pendapatnya Allusy dari tafsirnya Ruh al-Ma'anî yang menyatakan bahwa secara tekstual ayat yang menyatakan
keharaman memanggil anak kepada yang bukan anaknya dan bapak kepada yang bukan
bapaknya adalah dalam konteks masa Jahiliyyah, yaitu adanya kesengajaan
memanggil bapak kepada selain bapaknya. Adapun jika tidak dengan maksud
demikian seperti untuk maksud kasih sayang, seperti orang mengatakan : Duhai anakku!”, seperti yang biasa terjadi
tidak
termasuk yang dilarang (diharamkan) Pendapat tersebut juga senada dengan pendapat
Ibnu Katsir.[3]
[1] Abû Daud Sulaiman bin
al-Asy‘ats al-Sijistani, Sunan Abû Daud (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), Juz II, 258.
[2] Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum
Pengangkatan Anak Menurut Islam, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2008), 45.
[3] Asmu‘i Syarkowi, Lembaga
Pengangkatan Anak dalam Kewenangan Pengadilan Agama www.badilag.net
No comments:
Post a Comment