Kata
wasiat diambil dari kata (وصّى – يوصّي – وصيّة) yang berarti menyanpaikan kepada atau berwasiat. Secara
terminologis, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa
barang, piutang mapun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat
setelah orang yang berwasiat wafat. Sebagian ahli fiqih mendefinisikan wasiat
sebagai pemberian hak kepemilikan secara sukarela yang dilakukan setelah ia
wafat.[1]
Adapun
dasar hukum disyariatkannya wasiat adalah kitabullah, sunnah, dan ijma ulama.
Ayat-ayat yang menjelaskan dasar hukum wasiat adalah firman Allah yang
berbunyi:
كتب
عليكم اذا حضر احدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للولدين و الأقربين بالممروف حقا
على المتقين
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
(al-Baqarah: 180)
يا
أيها الذين آمنوا شهدة بينكم اذا حضر أحدكم الموت حين الوصية اثنان ذوا عدل منكم
او آخران من غيركم
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian,
sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua
orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu....”
(al-Maidah: 106)
Sebagaimana
juga dalam Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang
menjelaskan tentang wasiat ini adalah:
عن
ابن عمر قال قال النبي صلى الله عليه و سلم ما حق امرئ له شيئ يوصي فيه يبيت
ليلتين إلا و وصيته مكتوبة عنده
“Diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: Hak
bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah
bermalam selama dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal
kebajikannya.”[2]
Hadis
ini menjelaskan bahwa wasiat yang tertulis dan selalu berada di sisi orang yang
berwasiat merupakan suatu bentuk kehati-hatian, sebab kemungkinan orang yang
berwasiat wafat secara mendadak.
Keberadaan
wasiat dalam sistem hukum keluarga Islam, terutama dihubungkan dengan hukum
kewarisan tentu memiliki kedudukan yang sangat penting. Urgensi wasiat semakin
terasa keberadaannya dalam rangka mengawal dan menjamin kesejahteraan keluarga
atau bahkan masyarakat.
Dengan
hukum waris, ahli waris –terutama dzawil furûdl- terlindungi bagian warisnya,
sementara dengan wasiat, ahli waris di luar dzawil furûdl, khususnya dzawil
arhâm dan bahkan di luar itu sangat dimungkinkan mendapatkan bagian dari harta
si mayit. Kecuali itu, melalui wasiat, hak pribadi (perdata) seseorang untuk menyalurkan
sebagian hartanya kepada orang (pihak) lain yang dia inginkan, tidak menjadi
terhalang meskipun berbarengan dengan itu dia harus merelakan bagian harta yang
lainnya untuk diberikan kepada ahli waris yang telah ditentukan Allah SWT.
Sehubungan dengan arti penting dari kedudukan wasiat dalam hukum keluarga Islam
di tengah-tengah keluarga muslim, ini mudah dimengerti jika beberapa Negara Islam
yang memasukkan diktum “wasiat wajibah” dalam undang-undang kewarisannya, salah
satunya Republik Arab Mesir dengan Undang-Undang No. 71 tahun 1946.[3]
Wasiat
wajibah[4] adalah suatu wasiat yang
diperuntukkan kepada para ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian
harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’.
Misalnya, berwasiat kepada ibu atau ayah yang beragama non-Islam, karena
perbedaan agama menjadi penghalang bagi seseorang untuk menerima warisan; atau
cucu yang tidak mendapatkan harta warisan disebabkan terhalang oleh keberadaan
paman mereka, anak angkat yang tidak termasuk ahli waris tetapi jasa dan
keberadaannya sangat berarti bagi si mayit.[5]
Teoritisi
hukum Islam (klasik dan kontemporer) -termasuk Ibn Hazm yang mengatakan wajib-
berbeda pendapat dalam menetapkan hukum wasiat wajib. Jumhur ulama berbendapat
bahwa sifatnya hanya dianjurkan, bukan wajib, dengan tujuan untuk membantu
meringankan orang yang bersangkutan dalam meringankan kesulitan hidup.
Wasiat
wajibah dibatasi sepertiga harta dengan syarat bagian tersebut sama dengan yang
seharusnya diterima oleh ashabul furûdl secara kewarisan seandainya ia masih
hidup. Ketentuan ini ditetapkan berdasarkan penafsiran terhadap kata “al-khair”
yang terdapat dalam ayat wasiat surah al-Baqarah ayat 180. Juga, ketentuan sepertiga
ini didukung dengan hadis Nabi SAW yang yang diriwayatkan Bukhari, yang
berbunyi:
عن
سعد بن ابي وقاص رضي الله عنه قال جاء النبي صلى الله عليه و سلم يعودني و انا
بمكة و هو يكره ان يموت احدنا بالأرض التي هاجر منها فقال يرحم الله عز و جل ابن
عفراء قلت يا رسول الله صلى الله عليه و سلم بمالي كله قال لا قلت فبالشطر قال لا
قلت فبالثلث قال الثلث و الثلث كثير انك ان تدع ورثتك أغنياء خير من ان تدعهم عالة
يتكففون الناس في أيديهم
“Dari
Sa’ad bin Abi Waqqash r.a., dia berkata: aku bertanya kepada Rasulullah SAW,
katanya: “Ya Rasulullah ! Aku (termasuk) orang yang berhartakekayaan, dan tidak
ada orang yang akan mewarisi hartaku ini selain anak perempuanku satu-satunya.
Adakah boleh aku sedekahkan 2/3 dari hartaku itu?” Rasul menjawab: “tidak
(jangan) !”, aku bertanya lagi: “ataukah aku sedekahkan separuhnya?” Rasul
menjawab: “Jangan ! “aku bertanya lagi: “adakah aku sedekahkan sepertiganya?”
Rasul menjawab: “sepertiga (saja), dan sepertiga itu sudah cukup banyak.
Sungguh jika engkau tinggalkan ahli warismu itu dalam keadaan kaya, jauh lebih
baik daripada engkau tinggalkan ahli warismu itu dalam keadaan fakir yang akan menjadi
beban orang lain (apalagi sampah masyarakat)”. (HR. Muttafaq Alaih)[6]
Asas
pembatasan maksimal dalam wasiat yang ditetapkan hukum Islam bermaksud untuk
melindungi ahli waris dari kemungkinan tidak memperoleh harta warisan karena
diwasiatkan si mati kepada orang lain. Batas maksimal wasiat yang dimaksudkan
adalah 1/3 dari harta yang ditinggalkan.
[1] Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah,
diterjemahkan Nor Hasanuddin (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), Juz. 4, 467.
[2] Bukhârî, 1992, Al-Bukhârî,
Beirut: Dar al-Fikr, Juz II, 149.
[3] Muhammad Amin Summa, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), 133.
[4] Konsep “wasiat wajibah” diinspirasikan
dari pendapat Ibn Hazm, yang dalam pendapatnya mengatakan bahwa penguasa wajib
mengeluarkan sebagian dari peninggalan seseorang yang meninggal dunia sebagai
wasiat darinya meskipun ia tidak berwasiat sebelumnya, dilandasi dengan suatu
pemikiran bahwa penguasa punya kewajiban untuk menjamin hak-hak rakyatnya yang
belum terlaksanakan. Kiranya tidak keliru bila ada yang menyebut bahwa Ibnu
Hazm dianggap sebagai tokoh yang melahirkan konsep wasiat wajibah.
[5] Andi Syamsu Alam dan M.
Fauzan, 2008, Hukum Pengangkatan Anak Menurut Islam, Cet. 1, Jakarta: Kencana,
79.
[6] Bukhârî, Op. cit., 150.
No comments:
Post a Comment