PERWALIAN TERHADAP ANAK ANGKAT


Istilah perwalian berasal dari bahasa arab waliya, wilâyah atau walâyah. Kata wilâyah atau walâyah[1] mempunyai makna etimologis lebih dari satu, di antaranya adalah pertolongan (an-nusrah), cinta, kekuasaan atau kemampuan (as-sulthân),[2] atau juga bermakna kekuasaan seseorang terhadap pekerjaan.[3]

Berdasarkan pengertian etimologis tersebut, maka perwalian dapat dipahami sebagai sebuah kekuasan seseorang atas dasar cinta kasih untuk memberikan pertolongan atas ketidakmampuan seseorang.

Sedangkan dalam istilah fuqaha, ialah kekuasaan/otoritas yang syar’iyyah yang dimilki oleh seseorang untuk melakukan sebuah tindakan terhadap urusan orang lain tanpa harus terikat pada izin orang lain.[4] Maka, perwalian ini diberikan oleh seseorang kepada orang lain untuk bertindak atasnya dalam mengurusi urusan-urusannya karena masih belum mampu melakukannya.

Perwalian terbagi dalam tiga kelompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (al-walâyah ‘ala al-nafsi), perwalian terhadap harta (al-walâyah ‘ala al-mal), serta perwalian terhadap jiwa dan harta (al-walâyah ‘ala al-nafsi wa al-mâl ma’an).[5]

Perwalian yang tergolong ke dalam al-walâyah ‘ala al-nafsi, yaitu perwalian dalam nikah dan perwalian yang berhubungan dengan pengawasan dan pemeliharaan serta pendidikan terhadap anak (keluarga). Perwalian dalam bentuk ini disebut juga dengan hadlânah dan kafâlah.[6]

Pada dasarnya perwalian dalam golongan pertama ini berada di tangan ayah, atau kakek dan para wali lainnya, yaitu ashâbah laki-laki dari orang-orang yang menerima warisan dan harus mahram dengan anak perempuan tersebut. Jika tidak ada ashabah yang mahram dengan perempuan itu, maka qadlî yang memberikan putusan demi maslahahnya anak tersebut.

Dalam perkawinan, perwalian seorang budak berada di tangan tuannya. Perwalian dalam wala’, dalam pemerdekaan yaitu berada di tangan orang yang memerdekakan, sedangkan untuk maula al-muwâlah berada di tangan orang-orang yang melakukan perjanjian dengannya. Penguasa juga dapat menjadi wali dari seorang budak, orang dimerdekakan, dan juga orang yang tidak ada walinya.

Perwalian atas harta (al-walâyah ‘ala al-mâl) adalah perwalian yang berhubungan dengan ihwal pengelolaan kekayaan tertentu dalam hal pengembangan, pemeliharan (pengawasan) dan pembelanjaan.[7] Menurut ulama Hanafi perwalian atas harta ini berada di tangan ayah, kemudian orang yang mendapatkan wasiat, kemudian kakek. Perwalian ayah dan kakek adalah perwalian yang tetap karena keduanya tidak membutuhkan penetapan dari pengadilan.

Sedangkan perwalian yang berada di tangan orang yang diberikan wasiat merupakan perwalian ikhtiyâriyah yang membutuhkan pada penetapan pengadilan. Menurut ulama Syafi’i perwalian atas harta berada di tangan ayah kemudian kakeknya, berbeda dengan ulama Maliki dan Hanbali yang menyatakan perwalian berada di tangan ayah kemudian orang yang mendapatkan wasiat.[8] Sedangkan perwalian jiwa dan harta (al-walâyah ‘ala al-nafsi wa al-mâl) hanya berada di tangan ayah dan kakek.




[1] Al-walâyah dengan harkat fathah merupakan pecahan dari masdar, sedang al-wilâyah dengan harkat kasrah merupakan pecahan isim.
[2] Maktabah Syamilah, Lisân al- Arab, Juz 15, 405.
[3] Muhmmad Amin al-Ghazali, Huqûq al-Awlâd (t.t.: tp.: 1998), 138.
[4] Ibid
[5] Muhammad Amin Summa, 2004, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 135.
[6] Ahmad Farraj Husein, Ahkâm al-Usrat fî al-Islâm (t.t.: t.p., 1998), 268.
[7] Amin Summa, Op. cit., 136.
[8] Muhmmad Amin al-Ghazalî, Op. cit., 146.

No comments:

Post a Comment